,

Tangkapan Ikan Mulai Berkurang di Ogan Ilir, Sumsel. Kenapa? (Bagian dua)

Mang Ujang dan keluarganya, saat ini tidak lagi mengandalkan pendapatan dari menangkap ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sejak tahun 2000, mereka telah menanam karet seperti warga lainnya. Dari lahan seluas dua hektar, dia dapat menyadap getah karet sekitar 80 kilogram per pekan. Jika harga bagus, penghasilannya sekitar Rp3,2 juta per bulan. Penghasilan ini sangat jauh dibandingkan dari mencari ikan.

Penghasilan ini sama seperti menangkap ikan beberapa tahun lalu. Tapi dari menangkap ikan penghasilannya sangat kecil. Apalagi masyarakat saat ini lebih banyak mengkonsumsi ikan air tawar yang sudah dibudidaya seperti lele dan patin.

Tidak ada angka yang jelas luas kebun karet di Dusun Srikembang. Tapi luas kebun karet di Kecamatan Muarakuang sekitar 5.253 hektar. Sementara, untuk di Kabupaten Ogan Ilir luas perkebunannya tahun 2011 mencapai 39.966, 8 hektar.

Sebelum berkebun karet, sebagian besar warga di Srikembang yang berjumlah 2.000 jiwa, maupun warga lainnya di Muarakuang, mencari ikan, menanam padi, sayuran, serta buah tahunan seperti durian dan rambutan.

Perkebunan karet di Sumatra Selatan

Perkebunan dalam skala besar di Sumatra Selatan dimulai sejak penjajahan Belanda. Perkebunan saat itu seperti teh dan tembakau di Pagaralam, karet di Rejang Lebong, serta kopi di Pagaralam dan Lahat. Sedangkan perkebunan rakyat untuk menghasilkan buah, misalnya duku, durian, dan rambutan.

Perkebunan karet merupakan perkebunan paling menonjol di Sumatra Selatan  awal abad ke-20. Sebab, kebutuhan karet sangat tinggi di pasar international sejalan perkembangan industri.

Menurut Dr. Tirta Jaya Jenahar dalam artikelnya “Sejarah Perkembangan Karet di Indonesia” tanaman karet dikenal di Sumatra Selatan sejak 1902, yang dibawa oleh perusahaan asing.

Perusahaan Harrison and Crossfield Company merupakan perusahaan pertama yang mulai menanam karet di Sumatra Selatan, kemudian Perusahaan Sociente Financiere des Caoutchoues dari Belgia tahun 1909 dan diikuti perusahaan Amerika Serikat yang bernama Hollands Amerikaanse Plantage Maatschappij (HAPM) tahun 1910-1991.

Harga karet yang membumbung pada 1910 dan 1911 menambah semangat para pengusaha perkebunan untuk mengembangkan usahanya. Walaupun demikian, pada 1920-1921 terjadi depresi perekonomian dunia yang membuat harga karet merosot. Namun, di tahun 1922 dan 1926 terjadi ledakan harga lagi karena kurangnya produksi karet dunia sementara industri mobil di Amerika Serikat meningkatkan jumlah permintaan karet.

Pemerintah Hindia Belanda waktu itu tidak membuat peraturan tentang pembukaan dan pengusahaan perkebunan karet rakyat. Akibatnya, lahan karet di Indonesia meluas tak terkendali sehingga kapasitas produksi karet berlebihan. Harga karet pun sulit dipertahankan pada angka yang wajar. Kecenderungan yang terjadi adalah semakin menurunnya harga karet di pasaran.

Beberapa kali pemerintah Hindia Belanda merencanakan untuk melakukan pembatasan atau restriksi terhadap karet rakyat. Pada 7 Mei 1934 diadakan persetujuan antara Pemerintah Prancis, Britania Raya, Irlandia Utara, British Indie, Belanda dan Siam tentang pembatasan memproduksi karet dan ekspornya. Persetujuan ini diumumkan dalam Stbl. 1934 No. 51 yang selanjutnya diadakan perubahan dengan Stbl. 1936 No. 472 dan 1937 No. 432.

Pada kenyataannya, Pemerintah Hindia Belanda tidak berhasil melakukan restriksi karet di luar Jawa, maka Pemerintah Hindia Belanda melakukan pembatasan ekspor karet dengan pajak ekspor. Pajak ini mengakibatkan produksi menjadi turun dan menurunkan harga yang diterima ditingkat petani.

Kemudian, tahun 1937-1942 diberlakukanlah kupon karet yang berfungsi sebagai surat izin ekspor karet yang diberikan kepada petani pemilik karet, bukan kepada eksportir. Dengan sistem kupon ini petani karet dapat menjual karetnya ke luar negeri misalnya Singapura. Apabila petani karet tersebut tidak berkeinginan menjual karetnya langsung ke luar negeri maka dapat menjual kuponnya kepada petani lain atau kepada pedagang atau eksportir.

Sistem kupon tersebut merupakan jaminan sosial bagi pemilik karet karena walaupun pohon karetnya tidak disadap, pemilik karet tetap menerima kupon yang bisa dijual atau diuangkan. Sistem kupon ini dimaksudkan pula untuk membatasi produksi (rubber restric-tion), karena bagi petani yang terpenting terpenuhinya kebutuhan ekonomi rumah tangganya dari hasil penjualan kupon yang diterimanya walaupun pohon karetnya tidak disadap.

Tahun 1944, Pemerintah Jepang yang berkuasa waktu itu membuat peraturan larangan perluasan kebun karet rakyat. Produksi karet rakyat yang akan diekspor dikenai pajak tinggi yaitu sebesar 50 persen dari nilai keseluruhan. Kebijaksanaan tersebut berdampak menekan pada perkebunan karet rakyat.

Saat ini, perkebunan karet terus bertahan di Sumatra Selatan. Bahkan terus meluas lahannya. Berdasarkan data yang dikumpulkan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatra Selatan kebun karet di Sumatra Selatan seluas 662.686 hektar. Perkebunan rakyat seluas 614.021 hektar, perkebunan swasta seluas 24.007 hektar, dan perkebunan milik negara sebesar 21.741 hektar. Produksi karet dari luas perkebunan tersebut sekitar 840.000 ton per tahun.

Pembakaran lahan untuk perkebunan karet di Ogan Ilir yang dilakukan pada musim kemarau. Foto Taufik Wijaya
Pembakaran lahan untuk perkebunan karet di Ogan Ilir yang dilakukan pada musim kemarau. Foto: Taufik Wijaya

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,