,

Tebang Sawit Perusahaan, Warga Ketungau Hulu Dibui

Konflik warga dengan perusahaan perkebunan sawit kembali terjadi. Di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, seorang warga Ketungau Hulu ditahan polisi lantaran menebangi pohon sawit milik PT. Duta Agro Prima.

Yustinus, demikian warga Ketungau Hulu itu, terpaksa mendekam di balik jeruji besi setelah dilaporkan Coorporate Social Responsibility (CSR) PT. Duta Agro Prima, Yoseph Benjamin 14 Juli 2014 lalu. Yustinus dilaporkan karena menebang sawit perusahaan tersebut.

Kasat Reskrim Polres Sintang, Alber Manurung mengatakan Yustinus mulai ditahan tanggal 20 Juli 2014 di Polsek Senaning, Kecamatan Ketungau Hulu. Selanjutnya dipindahkan ke Polres Sintang. Sebelum dilaporkan ke polisi, Yustinus diketahui sudah dua kali menebang tanaman kelapa sawit. “Pertama dilakukan tahun 2013 lalu bersama bapaknya. Waktu itu perusahaan tidak memperkarakan pelaku ke ranah hukum. Aksi yang sama kembali dilakukan tahun 2014, sawit yang ditebang jumlahnya sekitar 400-an batang,” beber Alber.

Diduga, korban nekat menebang sawit karena menuntut ganti rugi lahan kepada pihak perusahaan. “Pelaku protes karena lahannya belum diganti rugi, makanya ia mengulang aksinya tahun ini. Kita upayakan mediasi antara kedua belah pihak karena kasus ini berpotensi menyulut konflik lebih besar,” sambung dia.

Alber menjelaskan, konflik antara warga dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit kerap terjadi di Sintang. Namun dia tidak merinci kasus-kasus dimaksud. “Kasus antara masyarakat dengan perusahaan memang cukup banyak, setelah diupayakan mediasi biasanya laporan dicabut,” kata Alber.

Dikonfirmasi terpisah, pihak perusahaan yang enggan namanya dipublikasikan mengatakan akan mencari jalan keluar terbaik untuk menyelesaikan masalah tersebut. “Jalan kekeluargaan tetap kami tempuh. Dalam waktu dekat, kami akan mengadakan pertemuan dengan kuasa hukum. Soal kemungkinan mencabut laporan, harus menunggu hasil pertemuan terlebih dahulu,” katanya.

Awalnya, kata dia, perusahaan sudah berupaya mencegah agar kasus ini tidak masuk ranah hukum, cukup melalui mekanisme hukum adat daerah setempat. Perusahaan juga sudah meminta pihak adat menyelesaikan kasus ini, namun permintaan itu tidak direspon pelaku.

Kuasa hukum Yustinus, Maria Magdalena mengungkapkan kliennya melakukan tindakan tersebut kerena PT. DAP sudah mencaplok lahan milik Yustinus. Sebelumnya, Yustinus sudah menanam ratusan batang karet.  “Memang benar Yustinus menebangi sawit milik perusahaan. Tapi, tindakan itu dilakukan karena perusahaan menanam sawit di atas lahan miliknya,” katanya.

Sejauh ini, pihaknya sedang berupaya melakukan mediasi dan berkoordinasi dengan perusahaan. Pihaknya tetap mengupayakan penyelesaian secara kekeluargaan. Langkah ini sama seperti awal ketika kasus tersebut mencuat. Kuasa hukum masih menunggu respon perusahaan terkait permintaan itu. Dan, sampai sekarang belum ada kejelasan kapan mediasi dilaksanakan.

Bila perusahaan ngotot tetap mambawa kasus Yustinus ke meja hijau, Maria balik mengancam akan memperkarakan perusahaan ke jalur yang sama. “Karena, pihak perusahaan sudah merusak tanaman karet milik klien kami,” tegasnya.

Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sintang, Fransiskus Ancis mengatakan masuknya investasi kerap bersinggungan dengan masyarakat adat. “Ini fakta yang tak bisa dibantah, masalah yang muncul kadang terkait adat maupun hukum negara,” bebernya.

Untuk mencegah konflik, AMAN selalu mendorong supaya semua pihak menyiapkan diri sebelum investasi masuk ke suatu daerah. “Kesiapan masyarakat adat harus diperhatikan, hak mereka harus dilindungi, kewajiban perusahaan harus dijalankan. Dan paling penting, perusahaan harus transparan dengan masyarakat,” tegasnya.

61 kasus konflik investasi

Kasus Yustinus yang berkonflik dengan perusahaan, menambah panjang kasus konflik investasi di Bumi Senentang. Berdasarkan catatan AMAN, selama periode 2012-2013, ada 60 kasus investasi yang terjadi di Sintang. “Yustinus ini kasus pertama tahun 2014. Artinya, ada 61 kasus konflik investasi di Sintang sejak 2012-2014,” bebernya.

Dari sejumlah kasus itu, dampak hukum yang diterima masyarakat berbeda-beda. Ada yang mendapat putusan tetap oleh pengadilan, ada pula yang diproses sebatas wajib lapor. Namun, sebagian besar kasus seperti ini kerap tidak jelas. Artinya, ketika masyarakat dilaporkan, diproses, kemudian wajib lapor ke kepolisian, statusnya tidak jelas. Mereka tidak tahu kasusnya P21 atau tidak, karena wajib lapor terus menerus. Ini yang agak aneh, karena tanpa ada tahapan dalam proses hukum, mereka kerap diminta wajib lapor.

Di mata Ancis, peran pemerintah untuk menyelesaikan konflik investasi yang kerap muncul, dinilai sangat krusial. Ketika investor hadir, sejatinya pemerintah menjalankan regulasi yang ada. Contohnya penjelasan soal HGU, ketika ditanya BPN, mereka mengarahkan ke bupati. Ketika bupati ditanya, mereka mengarahkan sebaliknya. “Padahal, tidak mungkin BPN mengeluarkan HGU tanpa rekomendasi bupati. Contoh lainnya, soal jangka waktu HGU yang tidak pernah dijelaskan secara tuntas ke masyarakat,” urai Ancis.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,