Peneliti: Sebagian Besar Kota di Dunia Tertekan Penuhi Pasokan Air

Kota-kota besar dunia akan mengalami tekanan tinggi untuk penuhi pasokan air bersih akibat bertambahnya masyarakat urban yang tinggal di kawasan perkotaan.

Hasil penelitian yang telah dipublikasikan Global Environmental Change 2 Juni lalu menunjukkan  bahwa kota-kota besar dunia telah menggerakkan sekitar 504 miliar liter air dengan jarak tempuh 27.000 kilometer per harinya. Jumlah ini setara untuk mengisi 200.000 kolam renang ukuran olimpiade. Walaupun hanya menempati satu persen permukaan bumi namun kota-kota besar dunia ini telah mengambil air dari DAS yang mencakup 41% dari luas permukaan bumi.

Penelitian yang sama dilakukan oleh ilmuwan di Socio-environmental Synthesis Center dan dipimpin langsung oleh ilmuwan senior The Nature Conservancy (TNC) Rob McDonald. Penelitian ini berhasil memetakan sumber-sumber infrastruktur air di 500 kota besar dunia. Uniknya, para ilmuwan ini menggunakan model komputer untuk memperkirakan penggunaan air berdasarkan jumlah penduduk dan jenis industri di masing-masing kota.

Hasilnya, kota yang menggunakan minimal 40 persen sumber air tawar dari yang dimiliki kota tersebut didefinisikan sebagai kota dalam tekanan air atau water stressed cities. Sepuluh kota besar dunia yang masuk ke dalam kategori water stressed cities ini adalah Tokyo, New Delhi, Mexico City, Shanghai, Beijing, Kolkata, Karachi, Los Angeles, Rio de Janeiro, dan Moscow.

Sebelumnya diperkirakan bahwa pasokan air tersebut berasal dari daerah aliran sungai (DAS) yang ada di sekitar kota tersebut. Kenyataannya, banyak kota yang menggantungkan pasokan airnya dari sumber yang jauh. Berdasarkan penelitian tersebut, hanya 12 persen kota yang menggantungkan airnya dari DAS yang ada, selebihnya kota-kota besar yang ada di Tiongkok, Asia Tengah, dan Meksiko itu bergantung pada sumber air yang jaraknya hingga 100 kilometer.

“Kota itu seperti akar tanaman, dapat menjangkau jarak yang panjang guna memenuhi kebutuhan airnya,”ungkap McDonald. Ia menambahkan, kota-kota yang tidak didukung sumber air yang memadai sedang berpacu membangun infrastruktur air guna memenuhi permintaan penduduknya yang terus bertambah.

Ada empat fakta menarik yang ditemukan dari penelitian ini. Pertama, 78% masyarakat yang tinggal di kota-kota besar –dihuni sekitar 1,21 miliar jiwa- menggantungkan hidupnya pada sumber air terbuka seperti sungai dan danau. Sisanya, 20% bergantung pada sumber air tanah dan 2% pada sumber air desalinasi, air yang kadar garam berlebihnya telah dihilangkan. Kedua, infrastruktur air kawasan urban di kota-kota besar menyalurkan air sebanyak 668 miliar liter setiap harinya. Dari angka tersebut, 504 miliar liternya berasal dari berbagai sumber air yang dialirkan dari jarak 27.000 km setiap harinya.

Ketiga, penggunaan lahan di hulu berdampak terhadap kualitas air tawar dan kuantitas sumber-sumber air di permukaannya. Keempat, hampir seperempat kota besar yang berada dalam tekanan pasokan air merupakan sumber perekonomian dunia senilai 4,8 triliun dolar Amerika. Nilai ekonomi yang begitu besar ini memperlihatkan pentingnya mengelola sumber daya secara berkelanjutan yang tidak hanya penting bagi masyarakat tetapi juga perekonomian dunia.

Country Director TNC Indonesia Rizal Algamar menilai penelitian seperti ini layak diperhatikan oleh para pembuat kebijakan di Indonesia. Tidak hanya tingkat kota, tetapi juga level nasional. Menurut Rizal, kota-kota besar Indonesia yang dihuni jutaan jiwa manusia seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Medan harus menyesuaikan perkembangan kawasan urban dengan pasokan air yang seimbang. “Keselarasan ini akan memperkuat ketahanan nasional yang mendukung pertumbuhan ekonomi, ”ujarnya.

Khusus Jakarta, seperti yang dilansir dari Investor Daily, bahwa tahun 2025 nanti, Jakarta dan sekitarnya akan mengalami krisis air bersih. Berdasarkan pantauan pakar tata air Universitas Indonesia Firdaus Ali, kebutuhan ideal air untuk Jakarta saat ini 29,6 meter kubik per detik (m3/detik) dengan asumsi penduduk Jakarta kurang dari sepuluh juta. Namun, tahun 2025 saat penduduk Jakarta diperkirakan 14,6 juta jiwa kebutuhan air harus menjadi 41,3 m3/detik. Saat ini, produksi air bersih yang dihasilkan dua operator air bersih mitra PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum),  PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT Aetra Air Jakarta, hanya 18,7 m3/detik. Tahun 2011 saja, produksi air bersih di Jakarta baru mencapai 527 juta meter kubik.

Berdasarkan catatan Dewan Sumber Air DKI Jakarta, kebutuhan air bersih untuk Jakarta diperkirakan sekitar satu miliar meter kubik per tahun. Rinciannya adalah, 630 juta meter kubik dari air tanah dan 370 juta meter kubik dari pasokan perusahaan air minum.

Sebenarnya, Jakarta memiliki kelimpahan air sebanyak 6,5 miliar meter kubik per tahunnya, hanya saja baru 3,3 persen yang bisa dikelola. Sisanya yang sebanyak 96,7 persen air bersih dipasok dari daerah penyangganya yaitu Waduk Ir. H. Djuanda (Jatiluhur), Purwakarta dan dari Kabupaten Tangerang. Ketergantungan Jakarta terhadap pasokan air dari wilayah sekitarnya tentu saja harus segera diatasi.

Hasil penelitian yang telah dipublikasikan ini cukup beralasan. Pasalnya, hasil penelitian yang dilakukan oleh Aarhus University di Denmark, Vermont Law School dan CNA Corporation di AS, yang dilansir dari ScienceDaily akhir Juli, lebih tegas mengatakan bahwa tahun 2040 nanti, seluruh dunia diprediksi akan kekurangan air.  Ini berdasarkan studi kasus yang terjadi di Prancis, Amerika Serikat, China dan India.

Penelitian yang telah dilakukan selama tiga tahun ini menunjukkan bahwa air yang digunakan sebagai pembangkit listrik di seluruh dunia ini tidak akan mampu mencukupi kebutuhan tersebut di tahun 2040 andai tidak ada energi yang menggantikannya. Air sangat dibutuhkan sebagai pembangkit tenaga listrik karena memiliki siklus pendingin. Anehnya, hingga kini tidak ada data yang menunjukkan berapa banyak air yang telah digunakan untuk membangkitkan listrik di seluruh dunia.

Satu-satunya sistem energi yang tidak membutuhkan pendingin adalah angin dan matahari. Rekomendasi utama penelitian ini adalah menggantikan sistem air dengan angin atau energi surya yang dinilai lebih berkelanjutan.

Profesor Benjamin Sovacool dari Aarhus University menyatakan bahwa sudah saatnya kita memutuskan penggunaan air di masa depan. Menurutnya, kita tidak akan memiliki cukup air andai terus digunakan untuk pembangkit listrik maupun untuk dikonsumsi sebagai air minum.

Sovacool melanjutkan bahwa krisis air akan dimulai tahun 2020 ketika banyak daerah di dunia yang mulai kesulitan mengakses akses air bersih. Diperkirakan, sekitar 30-40 persen daerah yang akan mengalami kelangkaan air, dan perubahan iklim membuat kondisinya lebih buruk.

Jadi, hematlah air.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,