,

Mengerikan, Warga Bener Meriah Tewas Diinjak Gajah

Konflik antara manusia dengan satwa kembali merebak. Kali ini, Firman, warga Kabupaten Bener Meriah, Aceh, korbannya. Lelaki berusia 35 tahun ini menemui ajal akibat diserang seekor gajah liar di Desa Blang Rakal, Kecamatan Pintu Rime Gayo, Bener Meriah.

Firman yang saat itu hendak ke kebun dengan mengendarai sepeda motor, tiba-tiba diserang gajah di tengah jalan. Kejadian ini disaksikan langsung oleh Masteh (50) yang juga hendak ke kebun bersama korban. “Selain menginjak kepala dan tubuh, korban juga diseret sejauh 20 meter,” tutur Munira, warga Blang Rakal yang sekaligus tetangga dekat koban, Jumat (8/8/14).

Munira mengatakan, beberapa bulan terakhir, kebun masyarakat di Kecamatan Pintu Rime Gayo dan beberapa daerah di Kabupaten Bener Meriah sering didatangi gajah liar. Masyarakat berulang kali melaporkan kepada pemerintah kabupaten, namun hingga saat ini belum ditanggapi. “Padahal, sudah ada yang jadi korban,” tuturnya.

Anggota Aceh Green Community Bener Meriah Sri Wahyuni, membenarkan kejadian tersebut. Dirinya menyebut ini merupakan konflik antara gajah dan manusia yang kembali menelan korban.

Menurut Sri Wahyuni, hutan di Kabupaten Bener Meriah yang berbatasan dengan Kabupaten Bireuen, seperti Timang Gajah, Pintu Rime Gayo dan beberapa kecamatan lainnya, telah ditebang dan ditanami kelapa sawit. “Daerah tersebut merupakan lintasan gajah yang seharusnya tidak boleh di rusak,” ujarnya.

Selain hutan rusak, parahnya, untuk mengantisipasi agar gajah tidak merusak kebun sawit, beberapa pemilik kebun memasang kabel yang dialiri listrik. “Karena lintasannya terhalang, gajah masuk ke kebun masyarakat dan menyerang juga,” tambah Sri Wahyuni.

Kepala Desa Karang Ampar, Kecamatan Ketol, Aceh Tengah, Saleh Kadri, menyebutkan pada 1 Mei 2014, gajah turun ke areal perkebunan penduduk dan merusak perkebunan warga. Tidak hanya tanaman keras, kawanan gajah juga merusak padi masyarakat. Diperkirakan, jumlahnya mencapai 20 ekor.

Menurut Saleh, warga telah melakukan berbagai upaya untuk menghalau gajah agar menjauh dari perkebunan dan permukiman. “Kami telah membunyikan petasan, memukul pentungan, dan membunyikan meriam bambu. Meskipun diusir, kawanan gajah itu kembali lagi,” ujarnya.

Di Kabupaten Aceh Barat, terjadi hal yang sama. Puluhan hektar perkebunan milik warga di Kecamatan Pante Ceureumen dan Kecamatan Meureubo dalam beberapa bulan terakhir di rusak kawanan gajah.

Tidak hanya merusak tanaman. Di dua kecamatan itu, kawanan gajah juga melukai tiga warga dan menewaskan satu orang dengan menginjaknya. “Konflik dengan gajah sangat meresahkan warga. Apapun yang ditanam di kebun, akan dirusak. Kami tidak tahu harus berbuat apa, terlebih sudah ada korban jiwa,” ujar Munadir, warga Pante Ceureumen, Kabupaten Aceh Barat.

Tidak hanya merenggut korban jiwa, konflik ini juga menyebabkan dua ekor gajah jantan liar mati di kawasan hutan Desa Teuping Panah, Kecamatan Kaway XVI, Kabupaten Aceh Barat. Saat ditemukan 5 April lalu, gajah jantan tersebut kepalanya terpotong dan gadingnya hilang.

Wahdi Azmi, Ketua Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI) menyebutkan, konflik satwa liar dengan manusia sepanjang sejarahnya selalu menggunakan pisau konservasi. “Akibatnya,  penanganan yang dibuat pemerintah atau aktivis lingkungan tidak berkembang karena sulit dimengerti masyarakat,” sebutnya.

Bila gajah sumatera diharapkan tetap ada dan penambahan alokasi lahan untuk pengembangan perkebunan juga dilakukan, strategi yang dilakukan tidak memisahkan antara manusia dan gajah. Cara yang harus ditempuh adalah dengan penyesuain pola interaksi antara manusia dan gajah melalui pemilihan jenis komoditi tidak disukai gajah.

“Untuk menyelamatkan gajah, warga, dan perkebunan, jangan tangani dengan pola konservasi. Tapi, bagaimana manusia dan gajah dapat hidup di lahan yang sama,” sambung Wahdi.

Masyarat Aceh, secara empiris telah lama mengetahui komoditi pertanian dan perkebunan yang tidak hanya secara klimatologi, agronomi, dan ekonomi terbukti sesuai. Tapi juga, cocok dengan keberadaan gajah liar di sekitarnya. Lada merupakan salah satu komoditi yang sesuai dikembangkan di Aceh dan tidak bermasalah dengan gajah liar. Begitu juga  kopi yang terus dikembangkan yang  tak berisiko tinggi terhadap gangguan gajah.

“Kita berharap, pemerintah daerah peka dan menindaklanjutinya dengan kebijakan yang berpihak pada keharmonisan hubungan antara manusia dan alam sekitarnya. Termasuk gajah,” ucap Wahdi.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,