Elang Sitaan Menumpuk, Terjadi Antrian Panjang Pelepasliaran. Kenapa?

Dalam kurun sepuluh tahun terakhir ini, ancaman terhadap kelangsungan populasi elang di alam semakin tidak terkendali. Perburuan dan perdagangan ilegal jenis burung yang menjadi top predator ini meningkat seiring maraknya falconry alias penghobi pemelihara elang di Indonesia. Mereka tidak jarang pula membentuk kelompok mengatasnamakan penyayang binatang ataupun bahkan menggunakan kedok konservasi elang.

Berbagai upaya penertiban telah dilakukan oleh pemerintah melalui Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), atas bantuan berbagai LSM konservasi. Salah satu bentuk penyelamatannya adalah melalui penyitaan dari individu yang memelihara elang secara ilegal ataupun melalui operasi pasar gelap.

Namun, upaya penyitaan ini ternyata menimbulkan dampak baru. Menumpuknya satwa hasil sitaan merupakan masalah yang harus segera ditangani melalui rehabilitasi dan mengupayakan pelepasliaran kembali di alam.

Setidaknya terdapat 169 ekor elang hasil sitaan yang saat ini sedang menjalani proses rehabilitasi. Elang-elang tersebut tersebar di beberapa Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) di antaranya di PPS Cikananga terdapat 42 ekor, di PPS Gadog ada 24 ekor, di PPS Kotok Kepulauan Seribu  ada 61 ekor dan di BBKSDA Jawa Timur ada 6 ekor. Jenis-jenis elang tersebut umumnya adalah elang jawa, elang brontok, elang ular, elang bondol dan elang laut perut putih.

Zaini Rachman, pemerhati konservasi elang yang juga Koordinator Raptor Indonesia, kepada kepada Mongabay di sela-sela acara Pelatihan Manajemen Penyelamatan dan Rehabilitasi Elang di Indonesia, di PPS Cikananga, Sukabumi (08/08/2014) mengatakan semua elang tersebut merupakan jenis yang sering diperdagangkan secara ilegal di pasar-pasar burung ataupun di jaringan perdagangan ilegal.

“Seluruh elang-elang hasil sitaan tersebut menunggu untuk dapat kembali ke habitat alaminya dan membutuhkan proses yang tidak sederhana untuk dapat dinyatakan layak dilepasliarkan,” jelasnya.

Perlu Proses Rehabilitasi

Permasalahan pelik yang muncul pasca penyitaan adalah proses yang harus dijalani untuk merehabilitasi elang tersebut agar layak dilepasliarkan kembali ke alam. Hampir seluruh elang hasil sitaan telah kehilangan naluri berburu akibat terlalu lama dipelihara.

Gunawan, salah satu aktivis Perkumpulan Suaka Elang yang sudah berpengalaman dalam kegiatan rehabilitasi dan pelepasliaran elang di Indonesia, menyatakan bahwa individu elang perlu membutuhkan 6 bulan hingga 2 tahun untuk rehabilitasi hingga layak dilepasliarkan.

“Rehabilitasi bukan merupakan proses yang mudah dan murah. Perlu tahapan-tahapan yang harus dijalani oleh elang tersebut sebelum dilepasliarkan kembali ke alam. Kadangkala kondisi elang tersebut sudah sangat memprihatinkan seperti kehilangan keliarannya, terserang virus ataupun mengalami patah tulang sehingga tidak layak untuk dilepasliarkan. Faktor non teknis yang juga sangat mempengaruhi antara lain pendanaan,” jelasnya.

Relawan sedang melakukan morfometri dan pemasangan cincin pada elang yang akan dilepasliarkan. Foto : Fransiska Noni
Relawan sedang melakukan morfometri dan pemasangan cincin pada elang yang akan dilepasliarkan. Foto : Fransisca Noni

Suaka Elang sendiri sudah melepasliarkan sebanyak 16 individu elang, baik di Pulau Jawa maupun Sumatera sejak tahun 2009. Jenis-jenis yang dilepasliarkan antara lain elang jawa, elang brontok dan elang ular.

Sesuai panduan pelepasliaran satwa yang diterbitkan oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN), beberapa tahapan harus dijalani oleh satwa yang akan dilepasliarkan. Pertama kali dilakukan pemeriksaan kesehatan oleh dokter hewan untuk mengetahui kondisi kesehatan satwa tersebut serta mencegah penyebaran penyakit yang berbahaya baik untuk elang tersebut maupun satwa di habitat aslinya. Tahap kedua adalah penempatan dalam kandang rehabilitasi yang bertujuan untuk memulihkan naluri alamiahnya seperti berburu dan belajar terbang.

Setelah elang tersebut dinyatakan lolos masa rehabilitasi yang meliputi lolos penilaian medis dan juga penilaian perilaku, tahap selanjutnya adalah mempersiapkan lokasi pelepasliaran. Kriteria lokasi pelepasliaran harus memenuhi persyaratan antara lain kesesuaian habitat, kepadatan populasi jenis yang sama dengan yang akan dilepasliarkan tidak boleh terlalui tinggi, serta keamanan lokasi dari perburuan. Elang yang akan dilepasliarkan juga harus menjalani masa habituasi di lokasi pelepasliaran terlebih dahulu untuk mengenal lingkungannya sebelum dilepasliarkan.

Pasca pelepasliaran, elang yang dilepasliarkan tersebut masih harus dimonitor untuk memastikan elang tersebut dapat survive di habitat barunya. Hal-hal yang perlu dipantau adalah pergerakannya, perilaku seperti berburu, bertengger, interaksi dengan elang lain. Khusus untuk perilaku berburu, jenis satwa buruan perlu dicatat dan dilaporkan.

Fahrudin Surahmat, relawan Suaka Elang yang selama ini aktif terlibat dalam kegiatan monitoring pasca pelepasliaran, menyampaikan bahwa monitoring tersebut dilakukan secara bertahap. Pemantauan intensif dilakukan dalam 2 minggu pertama kemudian dilakukan pemantauan secara berkala hingga 2 tahun.

“Kita biasa mengikuti pergerakan elang secara intensif selama 2 minggu pertama. Periode tersebut sangat kritis karena elang yang dilepasliarkan masih harus beradaptasi dengan lingkungan. Kami harus memastikan elang tersebut dapat berburu satwa mangsa dan beradaptasi dengan lingkungan baru,” katanya.

Pusat Rehabilitasi Elang Perlu Ditambah

Adanya penumpukan elang sitaan yang ditampung di berbagai PPS tidak diimbangi oleh fasilitas rehabilitasi yang mencukupi. Saat ini, fasilitas rehabilitasi yang terdapat di Indonesia hanya dapat menampung sejumlah 90-an individu saja.

Berkenaan dengan hal tersebut, Raptor Indonesia dan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Barat atas dukungan Pertamina berencana membangun pusat rehabilitasi elang di kawasan Cagar Alam Kamojang, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Menurut Zaini Rahman, fasilitas tersebut akan dibangun di atas lahan seluas 11 hektar dan akan dapat menampung sejumlah 45 individu.

“Dengan dibangunnya pusat rehabilitasi di Kamojang ini, diharapkan dapat mengurangi penumpukan satwa sitaan sehingga kegiatan rehabilitasi  dan pelepasliaran dapat berjalan lancar. Lebih lanjut, kegiatan penegakan hukum dapat lebih ditingkatkan lagi,” pungkasnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,