,

Nasib Bekantan Kian Terancam, Ini Dia Pemicunya

Siapa yang tak kenal dengan bekantan? Populasi monyet hidung panjang ini susut tajam dari tahun ke tahun. International Union for Conservation of Nature (IUCN) mencatat, pada 1987 jumlah satwa dengan nama Latin Nasalis larvatus ini mencapai 260 ribu ekor dan tersebar di kantong-kantong habitat di Pulau Kalimantan. Belakangan, Mangrove Forest Balikpapan merilis data terbaru 2008. Populasi bekantan diperkirakan tersisa 25 ribu ekor. Mengapa? Begini kisahnya.

Jarum jam perlahan merayap menuju angka 10. Suasana pagi di Pasar Baru Ketapang, Kalimantan Barat berjalan seperti biasa. Warga hilir-mudik membawa kesibukannya sendiri-sendiri. Di sebuah kedai kopi, sekelompok anak muda tampak sedang berkumpul. Mereka terlibat obrolan ringan sambil menikmati secangkir kopi dan penganan ringan.

Di sana ada Jana (nama samaran). Dia seorang pemburu. Hampir setiap akhir pekan lelaki 32 tahun ini akan menghabiskan waktunya di kawasan hutan Pawan. Babi hutan menjadi sasaran utama perburuan. Namun, jika nasib kurang beruntung, bekantan pun jadi sasaran. “Biasanya, dalam sekali berburu bisa dapat dua bentang,” kata Jana di Ketapang, Minggu (10/8/2014).

Bagi orang Ketapang, bentang adalah sebutan bagi bekantan. Umumnya pemburu tidak menempatkan satwa ini sebagai terget utama buruan. Namun demikian, bukan berarti luput dari bidikan sang pemburu. Bahkan, jika nasib lagi apes di hutan, maka apapun satwa yang bisa dikonsumsi atau dijual akan menjadi sasaran muntahan timah panas.

Hal ini juga berlaku bagi Iga (nama samaran), pemburu lainnya dari Desa Matan, Kecamatan Matan, Kabupaten Kayong Utara. Sejatinya, Iga bekerja sebagai seorang penoreh karet. Namun, hasil kebun dianggap tak cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Maka, berburu adalah alternatif untuk menambah pundi-pundi ekonomi.

Dalam menjalankan aktivitas perburuannya, pria 34 tahun ini tak sendirian. Dia berhimpun dalam satu kelompok sesama pemburu. Biasanya terdiri dari enam sampai delapan orang. Hasil buruan pun dibagi secara adil. “Biasanya setiap menyusuri sungai sepanjang malam, bisa dapat tiga sampai lima ekor bentang,” ungkap Iga ketika ditemui di Desa Matan, Sabtu (9/8/2014).

Di Ketapang, perburuan terhadap bekantan terus terjadi. Di sepanjang aliran Sungai Pawan, Kuala Tolak dan Pematang Gadung, tidak sedikit nasib bekantan berakhir tragis. Perburuan menjadi salah satu sebabnya. Ancaman paling besar terjadi di bantaran Sungai Pawan dan Sungai Kepuluk di Pesaguan. Di situ, bekantan diburu untuk dikonsumsi.

Sedangkan di Kabupaten Kayong Utara, ancaman datang akibat maraknya pembangunan di sepanjang akses jalan yang menghubungkan Kayong Utara dengan Ketapang. Akses jalan ini lebih dikenal sebagai jalur satwa. Di Dusun Melinsum, Desa Sejahtera, Kayong Utara, nasib bekantan sering kali berakhir tragis.

Seekor bekantan sedang duduk di tangkai sebuah pohon dengan ekor menjuntai ke bawah. Satwa ini masih menjadi sasaran pemburu di Kabupaten Ketapang dan Kayong Utara, Kalbar. Foto: Abdurahman Alqadrie (KBK)
Seekor bekantan sedang duduk di tangkai sebuah pohon dengan ekor menjuntai ke bawah. Satwa ini masih menjadi sasaran pemburu di Kabupaten Ketapang dan Kayong Utara, Kalbar. Foto: Abdurahman Alqadrie (KBK)

Ancaman lainnya, kawasan hutan di sekitar bantaran sungai juga kian tergerus. Sejumlah perusahaan perkebunan dan pertambangan mengelilingi DAS Pawan, DAS Kepuluk, Sungai Perawas, dan Batu Barat hingga Matan Jaya.

Ketua Ketapang Biodiversity Keeping (KBK) Abdurahman Alqadrie, mengatakan ancaman terhadap bekantan di sekitar Desa Pematang Gadung, Kecamatan Matan Hilir Selatan, Ketapang, memang terus berlanjut. “Kita prihatin dengan nasib satwa asli Kalimantan itu,” katanya di Ketapang.

Menurut Doi, sapaan akrab Abdurahman, penyelamatan satwa ini bisa dilakukan dengan berbagai strategi. Di antaranya melalui perhatian serius para pihak berkompeten terhadap satwa ini. “Saya kira ini sudah menjadi keharusan bagi semua pihak. Jika tidak, dalam waktu dekat bekantan bisa punah,” jelasnya.

Hal yang sama juga dikemukakan Tito P. Indrawan, Direktur Humas Yayasan Palung. “Baik Ketapang maupun Kayong Utara, keduanya adalah daerah aliran sungai. Di situ, banyak kawasan yang hilang akibat pembukaan lahan secara massif. Ini juga berdampak pada berkurangnya pakan bekantan seperti pucuk daun. Apalagi, perburuan masih terjadi sampai sekarang,” katanya.

Oleh karenanya, kata Tito, perlu kepedulian bersama untuk menekan laju keterancaman bekantan dan habitatnya. Salah satu bukti nyata keterancaman bekantan dapat terlihat dari ketersediaan pakan mereka berupa daun, buah, pucuk, dan bunga untuk pohon-pohon tertentu yang kian menipis.

Bekantan biasanya memperoleh makanan dari pohon nyatoh/ketiau atau dalam bahasa latinnya Palaquium, spp atau Ganua, spp, kayu malau/Diospiros, spp, pohon rasau, jenis Pandanus, spp yang sudah semakin kian menipis di hutan rawa sekitar sungai.

Pemerintah Indonesia telah memasukkan bekantan sebagai satwa dilindungi dan mengelompokkannya ke dalam status endangered (terancam punah). Bekantan juga masuk dalam daftar CITES sebagai Apendix I atau tidak boleh diperdagangkan baik secara nasional maupun international. Sungguh pun demikian, satwa ini tak surut tertekan ancaman.

Bekantan menghabiskan waktu sepanjang hari di bantaran sungai, di Desa Pematang Gadung, Kecamatan Matan Hilir Selatan, Kabupaten Ketapang, Kalbar. Foto: Abdurahman Alqadrie (KBK)
Bekantan menghabiskan waktu sepanjang hari di bantaran sungai, di Desa Pematang Gadung, Kecamatan Matan Hilir Selatan, Kabupaten Ketapang, Kalbar. Foto: Abdurahman Alqadrie (KBK)

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,