Ranjau Peninggalan Perang Dunia II Ancam Petani Rumput Laut

Ranjau laut peninggalan perang dunia ke dua yang masih aktif dan sulit terpantau terus mengintai nyawa petani budi daya rumput laut (algae) di sepanjang Pantai Amal, Kelurahan Pantai Amal, Tarakan Timur, Kota Tarakan, Kalimantan Utara.

Komandan Pangkalan Angkatan Laut (Danlanal) Tarakan Letkol Laut (P) Aries Cahyono menjelaskan, budi daya rumput laut yang berada di kawasan ranjau laut sangat berbahaya dilakukan. Pihaknya bersama Pemerintah Kota Tarakan akan melakukan sosialisasi ke masyarakat terkait ranjau laut yang sebenarnya diperuntukan kapal perang.

Aries belum memastikan kapan operasi khusus penyisiran dilakukan, namun pengarahan kepada petani akan diberikan dalam waktu dekat. Upaya perlindungan dan anitisipasi sudah disusun, tinggal eksekusi saja.

Meski demikian, belum semua petani rumput laut mengetahui bahaya ranjau yang mengancam nyawa mereka seperti yang diutarakan Syamsul. “Saya belum pernah dengar ada ranjau di Pantai Amal. Jangan-jangan hanya menakuti kami agar pindah,” ujarnya.

Bagi Syamsul, bukan bahaya ranjau yang ia takutkan melainkan turunnya harga rumput laut kering. Sejak 2010, Syamsul beserta petani lainnya memang telah mengembangkan usaha rumput laut yang awalnya dilakukan sebagai pekerjaan sampingan.

Saat ini “kebun” rumput lautnya mencapai 10 ribu tali dengan panjang masing-masing tali sekitar 15 depa atau setara 15 meter. Setiap 30 centimeter tali diikatkan tiga rumpun bibit rumput laut yang akan membesar dan dapat dipanen dalam waktu tiga bulan.

Jika setiap petani rumput laut memiliki 10 ribu tali yang ditanam, bisa dipastikan akan menghasilkan sedikitnya 10 ton rumput basah yang dikeringkan akan menjadi 8 ton. Penanaman dilakukan disepanjang garis pantai Amal hingga membentang ke lautan. Bahkan, tali-tali ini telah mencapai Pantai Pulau Bunyu yang jaraknya puluhan kilometer dari Pantai Amal.

Menurut Syamsul, ada tiga jenis rumput laut yang dikembangkan dan dibedakan berdasarkan warnanya yaitu cokelat, merah, dan hijau. Jenis berwarna cokelat dan merah memiliki pertumbuhan yang cepat sedangkan hijau lambat.

Biasanya, rumput laut yang dijual warga pantai Amal setiap minggunya mencapai tujuh ton atau sekitar 30 ton per bulannya. Harganya berkisar Rp12-15 ribu perkilogram yang terbilang bagus karena awalnya hanya Rp7 ribu.

“Kami hanya bisa membudidayakan rumput laut. Mudah-mudahan ranjau yang dikatakan itu tidak ada ataupun sudah tidak aktif lagi,” harapnya.

Pantai Amal yang berhadapan langsung dengan laut Sulawesi merupakan tempat favorit pendaratan tentara Jepang maupun Australia kala perang dunia ke dua. Tidak mengherankan bila ranjau laut banyak ditebar oleh Belanda kemudian Jepang saat berhasil merebut Tarakan.

Pulau Tarakan yang memiliki kandungan minyak kelas wahid ini pernah menjadi incaran tiga negara sekaligus: Belanda, Jepang, dan Australia.

Di sepanjang Pantai Amal, para pembudi daya rumput laut menggantungkan hidupnya.  Namun, mereka diresahkan adanya ranjau laut yang masih aktif. Foto: Sofyan
Di sepanjang Pantai Amal, para pembudi daya rumput laut menggantungkan hidupnya. Namun, mereka diresahkan adanya ranjau laut yang masih aktif. Foto: Sofyan

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,