Presiden Baru Diminta Konsolidasikan Kewenangan Kementerian Pengelola Sumber Daya Alam. Kenapa?

Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla pemenang pilpres 2014. Meski, pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa tengah mengajukan gugatan terhadap penetapan pemenang pilpres ke Mahkamah Konstitusi, pasangan Jokowi-Jusuf Kalla sedang bersiap untuk membentuk kabinetnya.

Dengan membentuk tim transisi, Jokowi-JK tengah menggodok dan menerima masukan tentang nama-nama yang akan dicalonkan jadi menteri. Untuk memberi wacana dan masukan terhadap pembentukan kabinet tersebut,  Indonesia Climate Change Center (ICCC) mengadakan dialog bertema “Sains Bicara Indonesia Masa Depan dan Tata Kelolanya” yang membicarakan mengenai arsitektur kabinet baru, yang berlangsung di Kantor Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), Jakarta pada Kamis kemarin (14/08/2014).

Staf Khusus Presiden Bidang Perubahan Iklim, Agus Purnomo dalam acara tersebut mengatakan semua pihak punya concern yang sama agar Presiden Terpilih membentuk kabinet yang efektif dan efisien untuk menjalankan amanat pembangunan.

“Kita punya common concern. Kita berharap kabinet ke depan lebih efektif dalam bekerja. Hal itu hanya bisa dilakukan dengan mengkonsolidasikan kewenangan, “ kata Agus Purnomo yang lebih akrab dipanggil Pungki.

Dia menjelaskan selama hampir 50 tahun, jumlah kementerian dan lembaga pemerintah terus bertambah, dan makin bertambah ketika desentralisasi atau otonomi daerah diberlakukan. Desentralisasi kewenangan pemerintah pusat ke pemerintah kabupaten dan kotamadya menimbulkan fragmentasi kewenangan (otoritas) yang tersebar di 40 kementerian dan ratusan lembaga non kementerian, termasuk lebih dari 550 pemerintah daerah.

“Dengan bertambahnya UU dan peraturan pelaksanaannya, banyak upaya strategis tersandera oleh centang perentang kewenangan dan adanya konflik di antara aturan-aturan yang berlaku, termasuk ‘kebingungan interpretasi aturan’ oleh aparat birokrasi yang seringkali dilatarbelakangi oleh kongkalikong dengan kekuatan ekonomi pasar,” katanya. Gemuknya postur kabinet, membuat keputusan dan kebijakan strategis pemerintah akan sulit diimplementasikan.

Kementerian saat ini mencapai 39, dimana 34 merupakan kementerian portfolio dan 5 merupakan kementerian non portofolio (menteri koordinator dan menteri negara). Jumlah 34 kementerian portofolio ini adalah jumlah maksimal yang ditentukan Undang-Undang dan telah diterapkan semenjak tiga kabinet terakhir di era setelah reformasi.  Adapun lembaga negara yang dimiliki Indonesia mencapai 28 Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) dan 129 Lembaga Non Struktural (LNS).

Oleh karena itu, postur kabinet harus dirampingkan dengan melakukan konsolidasi kewenangan untuk menjamin pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan, terutama terkait isu lingkungan hidup dan perubahan iklim. Pungki menjelaskan konsolidasi kewenangan ini bertujuan untuk (a) meningkatkan efektivitas pengelolaan sumber daya alam, (b) penyempurnaan koordinasi penataan ruang, (c) pelestarian lingkungan dan (d) penanganan perubahan iklim.

Kabinet yang efektif itu, kata Pungki, hanya bisa dilakukan dengan merombak struktur kabinet menjadi lebih ramping dengan mengkonsolidasikan kewenangan kementerian yang tugas dan fungsi pokoknya serumpun, misalnya kewenangan pada sektor pengelolaan sumber daya alam.

Dia menjelaskan posisi wakil menteri perlu tetap ada untuk membantu kerja seorang menteri bila terjadi perampingan kabinet. Wakil menteri bisa dirangkap jabatan dengan kepala badan,misalnya wakil menteri kesehatan merupakan Kepala Badan POM. “Ini akan menghemat anggaran negara, tidak ada biaya anggaran tambahan.  Dan akan sinergi yang lebih kuat di dalam kementerian itu,” katanya.

Permasalahan Tata Ruang dan Konservasi Alam

Kekacauan penataan ruang telah mengakibatkan kerusakan lingkungan dan konflik horisontal di banyak kawasan hutan. Ruang (lahan) di Indonesia terbagi ke dalam kawasan hutan, seluas 109 juta hektar, yang dikelola Kementerian Kehutanan, lalu kawasan yang bukan hutan (Area Penggunaan Lain), seluas 80-an juta hektar dikelola oleh ratusan Kabupaten, Walikota dan  Propinsi, dengan sertifikasi penguasaan lahan oleh BPN. Lebih dari separuh kawasan APL dikelola oleh swasta (perusahaan dan perorangan), BUMN, TNI dan Polri, dalam berbagai  bentuk pemanfataan (budi daya).

Pembersihan lahan hutan oleh salah satu perusahaan penyuplai APP di Taman Nasional Bukit Tigapuluh di Jambi. Greenpeace bersama perwakilan DPR, dan Kepolisian langsung menjadi sakti kerusakan besar hutan gambut Indonesia di Sumatera. Foto: Greenpeace
Pembersihan lahan hutan oleh salah satu perusahaan penyuplai APP di Taman Nasional Bukit Tigapuluh di Jambi. Greenpeace bersama perwakilan DPR, dan Kepolisian langsung menjadi sakti kerusakan besar hutan gambut Indonesia di Sumatera. Foto: Greenpeace

Meskipun Tata Ruang Indonesia dibagi kedalam beberapa tingkat, mulai dari Tata Ruang Nasional, Propinsi dan Kabupaten, akan tetapi perizinan pemanfaatannya terkotak-kotak di sejumlah kementerian dan ratusan pemerintah daerah,  sehingga pembangunan di Indonesia terhambat oleh proses perizinan yang bertele-tele, kolutif dan tidak transparan.

Untuk melakukan konsolidasi kewenangan penataan ruang, Direktorat Jenderal Tata Ruang Kementerian Pekerjaan Umum, Badan Planologi Kementerian Kehutanan, Deputi Bidang Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup, Badan Pertanahan Nasional, Badan Koordinasi Tata Ruang, dan beberapa unit eselon dua Bappenas, perlu digabung menjadi sebuah Kementerian baru yang memiliki kewenangan menata ruang dari awal proses sampai terbitnya sertifikat untuk berbagai jenis konsesi dan kepemilikan lahan.

Kementerian Pelestarian  Lingkungan, Tata Ruang dan Perubahan Iklim akan melakukan integrasi vertikal semua proses  penataan ruang dari tingkat nasional sampai ke lapangan.

Konsolidasi kewenangan tata ruang dibawah satu atap ini akan memudahkan penyelesaian sengketa penguasaan lahan, mempercepat pelaksanaan reformasi agraria, rehabilitasi lahan kritis, membuka peluang pembiayaan pelestarian lingkungan, mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Selain itu, konsolidasi ini akan mempercepat proses perizinan dan menekan biaya pengadaan lahan pembangunan PLT Panas Bumi, perluasan bandara dan pelabuhan, jaringan listrik, perlintasan kereta api dan jalan raya.

Pelestarian lingkungan perlu digabung dengan penataan ruang sehingga tejadi check and balances antara keinginan pemanfaatan sumber daya alam dengan kebutuhan pelestarian lingkungan atau pewujudan pembangunan berkelanjutan.

Direktorat Jenderal PHKA Kementerian Kehutanan, Deputi Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan unit konservasi di Kementerian Kelautan dan Perikanan, Deputi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Bappenas digabung kedalam Kementerian baru yang bertugas melakukan Pelestarian Lingkungan, Tata Ruang dan Perubahan Iklim.

Konsolidasi penugasan konservasi alam ini akan meningkatkan efektifitas pemerintah dalam menjaga keanekaragaman hayati dan keberlanjutan sumber air bersih sebagai penopang kehidupan 245 juta jiwa penduduk Indonesia. Alokasi pemanfaatan ruang yang tepat dapat diberlakukan dengan mempertimbangkan kerusakan lingkungan yang sudah terjadi dan kemampuan alam mendukung kegiatan pemanfaatan / budi daya di permukaannya.

Menteri Pelestarian Lingkungan, Tata Ruang dan Perubahan Iklim dengan tiga wakil menteri yaitu Wamen Pelestarian Air dan Keanekaragaman Hayati / Kepala BP REDD, Wamen Tata Ruang dan Reforma Agraria / Kepala BPN dan Wamen Pengendalian Pencemaran dan Emisi GRK / Kepala BMKG.

Penambahan tugas Perubahan Iklim di dalam portofolio diatas dimaksudkan untuk meningkatkan akuntabilitas komitmen pengurangan emisi, dan pelaksanaan penelitian ilmiah untuk mendukung  komitmen Indonesia yang akan disampaikan pada pertemuan UNFCCC di Paris bulan Desember 2015.

Selain itu, sumber emisi gas rumah kaca Indonesia yang paling besar adalah perubahan tata ruang yang terjadi di kawasan hutan dan lahan gambut, terutama bila kejadian kebakaran lahan dan hutan terus meningkat.

Kementerian Pengelolaan Sumber Daya Alam 

Pungki menjelaskan pengelolaan (budi daya) lahan, hutan, sungai, danau, rawa, pantai, laut dan pulau-pulau kecil juga perlu disatuatapkan agar terbangun konsistensi dan keterpaduan. Pembagian tugas diantara Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian dan Kementerian Kelautan dan Perikan adalah warisan evolusi birokrasi yang berakibat kelembaman (inersia) dalam merespon peluang budi daya lahan dan kawasan perairan Indonesia.

Yang diusulkan adalah pembentukan Kementerian Budi Daya Lahan, Hutan, Sungai dan Lautan dengan tiga orang wakil menteri yang bertugas untuk mengelola Budi Daya Hutan; Budi Daya Lahan Basah dan Sungai; serta Budi Daya Pesisir, Laut dan Pulau Kecil.

Nelayan tradisional Sersang Bedagai mengeluhkan ikan mulai jarang hingga hasil tangkapan minim karena masih beroperasi pukat harimau dan apung. Foto: Ayat S Karokaro
Nelayan tradisional Sersang Bedagai mengeluhkan ikan mulai jarang hingga hasil tangkapan minim karena masih beroperasi pukat harimau dan apung. Foto: Ayat S Karokaro

Usulan ini berarti penggabungan sebagian besar unit Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan, menjadi Kementerian Budi Daya Lahan, Hutan, Sungai dan Lautan.

Menteri Budi Daya Lahan, Hutan, Sungai dan Lautan, akan dibantu oleh tiga wakil menteri yaitu Wamen Sumber Daya Hutan, Wamen Sumber Daya Lahan Basah dan Sungai, Wamen Sumber Daya Pesisir, Laut dan Pulau Kecil

Usulan Postur Kabinet Baru

Pada acara dialog tersebut, Ketua Tim Pengkajian Arsitektur Kabinet 2014-2019 Lembaga Administrasi Negara (LAN), Anwar Sanusi memaparkan hasil kajiannya. LAN menawarkan tiga opsi postur kabinet baru yaitu opsi ideal kabinet yang terdiri dari 20 kementerian dan 1 kantor kepresidenan, opsi moderat kabinet yang terdiri dari 24 kementerian dan 1 kantor kepresidenan, dan opsi soft kabinet dengan 24 kementerian, 2 menteri koordinator dan 1 kantor kepresidenan.

Opsi ideal kabinet terdiri dari (1) menteri keuangan, (2) menteri hukum dan imigrasi, (3) menteri pertahanan, (4) menteri agama,  (5) menteri luar negeri, (6) menteri kesehatan dan kesejahteraan rakyat,  (7) menteri pendidikan, kebudayaan, pemuda dan olahraga, (8) menteri pendidikan tinggi dan iptek, (9) menteri energi dan sumber daya alam, (10) menteri pertanian (termasuk perkebunan, perikanan dan peternakan), (11) menteri kehutanan dan lingkungan hidup, (12) menteri transportasi, (13) menteri pekerjaan umum dan pemukiman. Ditambah kementerian portofolio atau kementerian negara yaitu (14) menteri ketenagakerjaan dan transmigrasi, (15) menteri komunikasi dan informasi, (16) menteri perindustrian, perdagangan, koperasi dan UKM, (17) menteri pariwisata dan ekonomi kreatif, (18) menteri BUMN, (19) menteri maritim dan (20) menteri dalam negeri.

Sedangkan opsi moderat kabinet, dengan memecah menteri kehutanan dan lingkungan hidup menjadi (19) menteri kehutanan dan (20) menteri lingkungan hidup, serta memecah menteri pekerjaan umum dan pemukiman menjadi (21) menteri pekerjaan umum dan (22) menteri perumahan rakyat. Juga memecah menteri kesehatan dan kesejahteraan rakyat menjadi (23) menteri kesehatan dan (24) menteri kesejahteraan rakyat.

Untuk opsi soft kabinet, terdiri dari 24 kementerian dan menambahkan 2 menteri koordinator yaitu menko antar sektor kementerian, dan menko pengelolaan manajemen pemerintahan.

Dan satu kantor kepresidenan merupakan gabungan dari menteri sekretaris negara dan sekretariat kabinet, kementerian pemberdayaan aparatur negara dan reformasi birokrasi, serta fungsi dari beberapa lembaga, menjadi (1) sekretaris negara, (2) urusan pembangunan nasional (perencanaan dan anggaran), (3) urusan reformasi administrasi, (4) urusan pengawasan, dan (5) urusan desentralisasi dan otonomi daerah.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , ,