,

Doa Kemerdekaan Warga Rembang : Lestarinya Sumber Mata Air

Bendera merah putih berkibar di atas tenda, bambu-bambu runcing di cat warna merah dan putih menghiasi tenda-tenda dan pinggiran jalan tapak pabrik semen. Itulah suasana di tenda-tenda perjuanan warga Desa Tegaldowo dan Desa Timbrangan, Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang yang menolak keberadaan pabrik PT Semen Indonesia.

Minggu sore itu, 17 Agustus 2014,  puluhan orang yang didominasi kaum perempuan sudah berkumpul di tenda perjuangan. Mereka mengenakan kebaya dan kain panjang. Masing-masing dari mereka bergantian memasang tusuk sanggul terbuat dari bambu berwarna merah putih untuk merayakan hari kemerdekaan.

Merdeka, merdeka. Tolak Pabrik Semen. Tolak.

Pekikan-pekikan warga terdengar lantang. Mereka saling bersahutan. Merayakan kemerdekaan Republik Indonesia ke-69 pada 17 Agustus 2014 kemarin.
“Tepat pada hari ini juga 62 hari ibu-ibu menduduki tenda perjuangan untuk terus menyampaikan penolakan mereka terhadap pendirian pabrik semen dan pertambangan,” kata Aan Hidayah, selaku pemdamping warga.

Joko Prianto, warga Tegaldowo kepada Mongabay mengatakan, warga punya cara sendiri untuk merayakan hari kemerdekaan. Mereka melakukan syukuran di lokasi sumber mata air dan memohon doa atas perjuangan warga hingga dua bulan ini terus bersatu menolak hadirnya pabrik semen.

Aksi warga Rembang untuk penyelamatan mata air. Foto : Tommy Apriando
Aksi warga Rembang untuk penyelamatan mata air. Foto : Tommy Apriando

“Hadirnya pabrik semen akan merusak sumber mata air, terutama cekungan air tanah (CAT) Watuputih yang dilindungi. Kami sudah sejahtera dengan bertani dan beternak, kami tidak butuh pabrik semen,” kata Joko Prianto yang akrab dipanggil Prin.

Sore itu, meski angin berhembus cukup kencang.Ibu-ibu berjajar dan berbaris, mereka berkumpul sambil membawa beberapa hasil bumi. Kopi hitam, nasi putih, daging ayam dan beberapa hasil bumi lain dijadikan warga sebagai persembahan pada ritual syukuran mereka di sumber mata air pantiran dan mata air mbah demang.

“Harapan kita semua disini agar sumber mata air terus terjaga hingga anak cucu kita kelak. Agar pabrik semen batal. Kita juga bersyukur atas hasil bumi yang kita dapat sampai hari ini,” kata Joko yang memimmpin ritual syukuran warga.

Setelah berdoa, Sukinah mewakili kemudian menancapkan tiang bendera merah putih sambil memekikkan kata-kata semangat diikuti warga lainnya.

“Merdeka! Tolak Pabrik Semen!”, teriaknya.

Acara dilanjutkan dengan berkumpul di depan tenda, untuk berdoa dan dilanjutkan makan malam bersama yang diolah dari hasil bumi.

Aksi Seni Kemerdekaan

Malam berlanjut dengan aksi seni untuk memperingati kemerdekaan. Lesung penumbuk padi bergantian dipukul oleh ibu-ibu secara bergantian. Sembari menentukan ketukan, secara bergantian pukulan mereka ke lesung menjadi irama pengiring nyanyian ibu-ibu nembang lagu. Lagu berbahasa Jawa tentang menjaga dan mensyukuri pemberian alam. Mereka nyanyikan bersama-sama. Seorang perempuan membuat irama musik dengan cara menampih beras di tampah.

Usai penampilan ibu-ibu, anak-anak membacakan puisi tentang doa perjuangan mereka. Ditutup dengan penampilan teater dari warga dengan menggunakan wayang kardus dan aksi kesenian lainnya.

Ming Lukiarti, dari Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) Rembang selaku pembawa acara mengapresiasi penampilan para perempuan yang didukung oleh suami mereka untuk berjuang menolak keberadaan pabrik semen.

“Kita semua harus ketahui bersama bahwa tanah yang ada di bumi ini bukanlah milik kita. Namun, titipan tuhan untuk anak cucu kita nanti. Untuk itu kita wajib menjaga dan memperjuangkannya agar tetap lestari,” kata Ming Lukiarti.

Dalam kesempatan itu, Murtini, warga Desa Timbrangan bercerita dia pernah pingsan karena harus berhadapan dengan tindakan represif yang dilakukan aparat kepolisian pada aksi tanggal 16 Juli 2014.

“Sampai kapanpun saya akan tetap menolak pabrik semen, tidak takut terhadap apapun. Kami ingin memperjuangkan hak kami untuk mempertahankan lingkungan yang lebih baik,  lahan pertanian kami tidak terganggu sumber airnya karena adanya pertambangan. Tolak pabrik semen,” kata Murtini.

Sementara itu, Zainal Arifin dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang mengatakan dalam sambutannya bahwa mereka yang menjadi kuasa hukum warga akan mengajukan menggugat keberadaan pabrik semen. Mereka sedang melakukan finalisasi draft gugatan untuk diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jawa Tengah.

“Kita akan menggugat ijin lingkungan yang dikeluarkan oleh gubernur yang menjabat ketika itu yakni Bibit Waluyo dan saat ini menjabat yaitu Ganjar Pranowo,” katanya. Dia mengatakan tidak ada alasan bagi Gubernur Ganjar Pranowo untuk membatalkan ijin pabrik semen.

LBH Semarang bersama Walhi, jaringan pengacara Pilnet dan jaringan lainnya akan mewakili warga untuk melawan gubernur Jawa Tengah dan pabrik semen Indonesia.

Tenda Perjuangan Warga Rembang menolak keberadaan pabrik PT Semen Indonesia. Foto : Tommy Apriando
Tenda Perjuangan Warga Rembang menolak keberadaan pabrik PT Semen Indonesia. Foto : Tommy Apriando

Dia mengatakan bahwa PTUN itu bukan satu-satunya cara untuk memperjuangkan batalnya pabrik semen beroperasi. Salah satu hal yang kuat untuk terus memperjuangkan sumber mata air dan Gunung Bokong adalah dukungan dan doa kita semua yang masih terus menolak pabrik semen.

“Jadi PTUN hanya salah satu cara hukum yang akan kita lakukan. Saya percaya yang bisa usir pabrik ya masyarakat sendiri.  Yang penting masyarakat solid, jangan terprovokasi,” kata Zainal.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,