,

Lebih 22 Ribu Hektar Hutan TNGL Rusak, Mengapa?

Hasil pendataan Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), hingga awal Agustus 2014 kerusakan hutan di Sumatera Utara (Sumut) yang masuk TNGL lebih 22.000 hektar.

Data TNGL, pada 2012, luas kerusakan hutan 21.000 hektar, 2013-Agustus 2014, bertambah 1.000 hektar, hingga total 22.000 hektar. Andi Basyrul, kepala Balai TNGL, kepada Mongabay di Medan, mengatakan, kerusakan hutan di Sumut lebih parah dari Aceh. Kedua provinsi ini masuk TNGL. Di Sumut, wilayah hutan TNGL seluas 213.000 hektar, sudah rusak cukup parah 22.000 hektar.

Terparah, di Kabupaten Langkat. Catatan mereka, pada 2012, kerusakan hutan tertinggi di Sumut dengan penyebab utama alih fungsi lahan ilegal, dan menjadi perkebunan sawit. Menurut dia, meskipun sudah menyurati dan melaporkan ke Kementerian Kehutanan, namun tetap nihil.

Khusus di Langkat, mereka sudah melakukan berbagai cara penanganan konflik lahan. Bahkan, sudah memaparkan di hadapan gubernur dan instansi di Sumut, termasuk Polda, dan jajaran Kodam I/BB.

Mereka melakukan berbagai operasi penindakan, namun semua mundur. Alasannya, karena akan dihadapkan pelanggaran hak azasi manusia (HAM).

Balai juga pernah menindak tegas perambah hutan. Namun, para perambah bermain pada isu pelanggaran HAM. Balai TNGL berurusan dengan Komnas HAM karena dianggap melanggar HAM.

“Khusus kerusakan hutan TNGL di Sumut, yang belum saya laporkan itu kepada Tuhan dan malaikat. Yang lain mental, mundur dan gak berani bersikap.”

Dia mempertanyakan isu HAM dan penegakan hukum yang dijadikan alat berlindung bagi perambah hutan. “Apakah HAM membela para penjahat kehutanan yang bersembunyi di balik masyarakat adat?”

Sedang  penelitian Rudi Putra, penerima The Goldman Environmental Prize juga  menemukan fakta sejumlah kawasan hutan di Sumut yang masuk Kawasan Ekosistem Leuser rusak parah. KEL di Sumut, yakni Deli Serdang, Dairi, Langkat, Karo, dan sebagian di PakPak Barat.

Dari penelitian bersama tim, khusus di Sumut, terparah kerusakan hutan di Langkat, dengan luas 200.000 hektar lebih, sisanya 100.000 hektar, di Karo, dan Dairi dengan luas 40%. “Ini akibat perambahan dan alih fungsi hutan.”

Harimau ini hanya bisa mengaum di Medan Zoo karena hutan tempat tinggalnya dirusak dan beralih fungsi menjadi perkebunan sawit. Foto: Ayat S Karokaro
Harimau ini hanya bisa mengaum di Medan Zoo karena hutan tempat tinggalnya dirusak dan beralih fungsi menjadi perkebunan sawit. Foto: Ayat S Karokaro

Menurut Rudi, perambahan hutan menjadi alih fungsi lahan menjadi perkebunan sawit. Pemilik sawit yang merambah hutan itu, pemodal besar, dan sebagian masyarakat. “Nasib hutan di Langkat sangat menghawatirkan.”

Dulu, kawasan hutan di kabupaten yang berdekatan dengan wilayah hutan Aceh Tamiang ini lebat dan rimbun. Saat ini, menyedihkan dan habis menjadi perkebunan sawit. Jadi hasil perhitungan, 200.000 hektar hutan di Langkat, hancur. Sisanya, 100.000 hektar rusak parah.

Hasil penelitian beberapa tahun lalu, di hutan Langkat dan sejumlah wilayah lain ditemukan ada 40 gajah, orangutan Sumatera dan harimau Sumatera masih hidup.

Apa yang dikatakan Basyrul tentang perambah hutan berlindung di balik masyarakat adat, ditepis Saurlin P Siagian, pendiri Hutan Rakyat Institute. Dia mengatakan, secara historis hutan di Indonesia sebagian besar ditetapkan menjadi hutan negara. Hingga, penunjukan hutan negara inilah yang menjadi faktor penghancuran hutan.

Ketika diklaim menjadi hutan negara, disitu terjadi penghancuran massif, karena investasi masuk memakai mekanisme hukum negara, dengan mendapat izin HPH dan lain-lain. “Penegakan hukum lemah, itulah dimanfaatkan penjahat kehutanan, katanya, di Medan, Rabu (20/8/14).

Malah, hutan adat tidak rusak karena ada masyarakat yang menjaga. Justru jika masyarakat adat sulit masuk ke wilayah mereka karena diklaim pihak lain, kontrol akan lemah. Dalam kondisi ini,  kehancuran hutan bisa terjadi. Jadi, salah besar kalau perambahan  hutan dengan memanfaatkan masyarakat adat.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,