,

Kayu Eboni Terbatas, Mampukah Perajin Kecil Bertahan?

Jalan Trans Sulawesi di Kelurahan Ranononcu, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, berganti rupa. Dulu, sebelum konflik horizontal 1998 merebak, puluhan kios berisi berbagai souvenir cantik dari kayu eboni terpajang. Kini, semuanya berubah. Hampir 15 tahun sudah Ranononcu kosong, ditinggalkan penghuninya yang kebanyakan dari Pulau Jawa.

Ranononcu saat itu, merupakan pusat pembuatan souvenir atau cindera mata yang bahannya dari kayu eboni atau dikenal denga nama kayu hitam Sulawesi. Kayu hitam yang tebal dan keras itu disulap menjadi replika kapal pinisi, gantungan kunci, sendok garpu, asbak, kemudi kapal, papan nama, dan lain sebagainya. Selain dijual di Poso, souvenir ini juga dipasarkan di Palu, yang merupakan ibukota Provinsi Sulawesi Tengah.

“Sekarang, di Ranononcu tinggal satu atau dua orang saja. So (sudah) tidak seramai dulu sekitar 20 kios. Sekarang so kosong. Dorang (mereka) so kasih tinggal saat ada kerusuhan,” kata Hennry Fernando (36), warga Poso.

Menurutnya, para perajin Ranononcu itu pindah ke dekat jembatan Poso di Kelurahan Gebang Rejo, tepatnya di Jalan Pulau Kalimantan. Ada juga yang hijrah ke Palu.

Kayu hitam sulawesi (Diospyros celebica) merupakan tumbuhan endemik Sulawesi. Di hutan Sulawesi Tengah, utamanya berada di Kabupaten Donggala, Parigi Moutong, dan Poso. Kayu berkualitas ekspor itu terus diburu. Ekspor dimulai abad ke-18 dengan pasar utamanya Jepang, Eropa, dan Amerika. Puncaknya, pada 1973 dengan jumlah sekitar 26.000 meter kubik.

Tingginya permintaan pasar luar dengan harga yang menggiurkan, menyebabkan kayu hitam ini menjadi incaran. Pembalakan liar terjadi. Berkubik-kubik diseludupkan ke luar negeri dengan tujuan Malaysia melalui jalur laut. Karena sering diburu, tegakkan pohon ini mulai sulit ditemukan.

Akibatnya, pabrik-pabrik besar di Palu tutup, diantaranya PT. Wana Jaya dan PT. Leang Yang Group. Dampak ini pun berpengaruh pada perajin kecil yang mendapatkan bahan baku dari sisa limbah perusahaan tersebut.

‎Tempat penjualan souvenir kayu eboni di Jalan Pulau Kalimantan, Gebang Rejo Poso.  Foto: Erna Dwi Lidiawati
‎Tempat penjualan souvenir kayu eboni di Jalan Pulau Kalimantan, Gebang Rejo Poso. Foto: Erna Dwi Lidiawati

Made Muliawan (45), pedagang souvenir eboni di Jalan Jendral Sudirman, Palu, mengakui jika para perajin kecil saat ini kekurangan bahan baku. “Kalau mereka drop barang ke saya, mereka selalu mengatakan sulit untuk mendapatkan bahan baku,” kata Made yang sudah 12 tahun berkecimpung di dunai kayu hitam ini.

Made merupakan pedagang souvenir kayu hitam yang masih bertahan hingga sekarang. Menurutnya dulu ada sekitar 100-an toko yang menjual souvenir kayu hitam. Sekarang tinggal setengahnya. Dia mengaku pernah merasakan masa-masa kejayaan saat  pasokan bahan baku masih ada pada 2005-2007.

Sebelum berdagang souvenir, Made menjual mebel kayu hitam. Dalam sebulan ia bisa menjual 20 set kursi. Harga satu set kursi sebesar enam hingga tujuh juta rupiah. Kini, harganya jauh lebih tinggi yakni mencapai Rp15 juta hingga Rp20 juta per set.

Made mengaku tetap bertahan dalam bisnis ini. Alasannya sederhana, eboni merupakan ikon Sulawesi Tengah, sayang jika hilang.

Dinas Kehutanan Sulawesi Tengah melalui Bidang Bina Usaha Hasil Hutan (BUHH) tidak bisa berbuat banyak. Kondisi ini tergantung Kementerian Kehutanan. “ Kabupaten Poso telah mengajukan proposal ke Kementerian Kehutanan untuk kebutuhan ini,” jelas Syafiuddin Natsir, Kepala Bidang BUHH.

“Saya rasa kementerian mengerti. Dengan syarat, semua produk eboni yang keluar dari Poso berbentuk barang jadi karena untuk kebutuhan perajin kecil dan harus ada yang menjamin,” katanya.

Kayu dengan julukan emas hitam ini terancam hilang. IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources) menetapkan statusnya rentan (Vulnerable) dan CITES memasukkannya dalam Apendiks II yang artinya bila terus diperdagangkan tanpa pengaturan akan mengakibatkan kepunahan.

‎Made Muliawan (45) pedagang souvenir kayu eboni di Palu yang masih bertahan. Foto: Erna Dwi Lidiawati
‎Made Muliawan (45) pedagang souvenir kayu eboni di Palu yang masih bertahan. Foto: Erna Dwi Lidiawati

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,