, , ,

Menjaga Hutan di Bukit Pensimoni

Dusun Cerekang. Begitu nama daerah di Desa Manurung, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan, ini.  Sepintas tak ada yang istimewa di dusun dengan 400 jiwa ini. Mayoritas masyarakat hidup sebagai nelayan. Namun, kearifan lokal mereka menjaga hutanlah yang mengagumkan. Di sana, ada Bukit Pensimoni, dengan hutan terjaga baik turun menurun hingga sumber air bersih melimpah dan alampun terpelihara.

Pensimoni adalah hutan ‘keramat’ yang dipercaya sebagai tempat pertama Batara Guru (Tomanurung, manusia pertama yang turun dari langit mengisi dunia) menapakkan kaki di bumi. Hutan itu begitu terjaga, tak dapat dimasuki siapapun, bahkan untuk menunjuk saja dianggap sebagai perwujudan sikap sombong dan angkuh (madoraka).

Secara tata kelola pemerintahan modern, Cerekang dipimpin kepala dusun. Secara sosial dan budaya, kampung ini dipimpin dua orang imam– perempuan dan laki-laki- bergelar Pua’. Pua’ berarti perwujudan orang-orang bersih dan terpilih. Pua’ secara tradisi mengikat seluruh elemen kegiatan manusia Cerekang. Proses pemilihan secara musyawarah dan spiritual (melalui mimpi) semua tokoh masyarakat di kampung, yang dianggap sebagai hasil hubungan dari dewata.

Pembagian peran Pua’ pun diatur sedemikian baik. Pua’ laki-laki mengurusi hubungan manusia dengan pencipta. Pua’ perempuan mengurus masalah adat yang berhubungan dengan bumi.

Pada 2010, Pua’ Laki-laki meninggal dunia dan pengganti belum ditemukan hingga kini. Saat ini, Cerekang hanya dipimpin Pua’ perempuan. Namanya Sahe,  70 tahun.

Dusun Cerekang, perkampungan nelayan yang menjaga hutan dengan kearifan lokal yang turun menurun. Foto: Eko Rusdianto
Dusun Cerekang, perkampungan nelayan yang menjaga hutan dengan kearifan lokal yang turun menurun. Foto: Eko Rusdianto

Senin pagi, 25 Agustus 2014, saya menemui Pua.’  Dia sedang bersantai di ruang tamu. Dia menggunakan kursi roda, tangan kanan tak dapat bergerak dengan bebas, bahasa pun sudah mulai sulit dicerna karena serangan stroke beberapa tahun lalu.

Mengapa orang Cerekang tak boleh memasuki hutan di Pensimoni? “Tidak boleh. Tidak boleh. Itu pesan dari dulu,” kata Pua’.

Iwan Sumantri, Arkeolog dari Universitas Hasanuddin mengatakan, jika posisi Cerekang masa lalu merupakan hidden centre atau pusat tersembunyi yang mengatur kerajaan Luwu dari sisi spiritual. “Jadi posisi Cerekang menjadi sangat penting. Hutan dan sungai dikeramatkan sebagai cara mereka menjaga hutan,” katanya.

Bagi masyarakat di Cerekang, bukit Pensimoni adalah tempat yang suci dan tak boleh dijangkau tanpa ritual dan izin dari Pua’. Bahkan warga Cerekang yang pernah menengok isi hutan itu bisa dihitung jari.

Di Cerekang, ada delapan titik hutan adat, selain Pensimoni, ada Lengkong (muara pertemuan Sungai Cerekang, Lakawali, dan Ussu) atau Bukit Sangiang Serri yang dipercaya sebagai tempat bermula tanaman padi. Hutan-hutan ini tetap lestari dan tak boleh digarap.

Laporan The Origin of Complex Society in South Sulawesi (Oxis) oleh Iwan Sumantri, David Bullbeck (Australia National University), dan Bagyo Prasetyo (Pusat Penelitian Arkeologi Nasional) tahun 1998 yang dirangkum dalam buku Kedatuan Luwu  menuliskan, kemampuan masyarakat Cerekang menjaga hutan melalui tetabuan hingga sekarang alam terjaga tetap baik. “Saya kira selama orang Cerekang masih memegang kepercayaan, hutan itu tetap lestari,” kata Iwan.

Muchsind Daeng Manakka, tokoh masyarakat Cerekang mengatakan, dalam hutan di Pensimoni, hanya ada pohon dan tanaman lain, meskipun dipercaya sebagai penanda pijakan Batara Guru. Pensimoni merupakan tanah pertama di dunia. “Kami percaya inilah pusat dunia pertama kali.”

Kapal-kapal nelayan yang sandar di tepian sungai usai melaut. Foto: Eko Rusdianto
Kapal-kapal nelayan yang sandar di tepian sungai usai melaut. Foto: Eko Rusdianto

Ketika saya mengunjungi, Muchsind baru selesai menjaring ikan di laut dan menyandarkan perahu. Agustus adalah musim kerapu. Dia mendapatkan beberapa ekor untuk kebutuhan keluarga, selebihnya dijual. Rumahnya berdiri di sisi Sungai Cerekang dan bersebelahan dengan Bukit Pensimoni. Keteguhan dan kearifan menjaga hutan terlihat. Kepalanya selalu menunduk setiap bercerita tentang hutan.

“Kami bekerja sebagai nelayan. Penghasilan itu sudah cukup, kenapa harus mencari lebih banyak? kata Muchsind.

Nelayan melaut dua hari sekali. Setiap Agustus-September musim kerapu. “Per ekor dijual Rp35.000,” katanya.

Hutan Pensimoni, terjaga tetapi belum terjamin aman. Awal 2000-an, ketika perdagangan kayu ilegal marak, Pensimoni tak lepas dari jarahan. Penjarah menyusup melalui bagian belakang bukit, mereka menebang kayu berukuran besar mengangkut dan menarik dengan kerbau atau alat berat. Tak terhitung konflik antara masyarakat Cerekang dan perambah berujung pertikaian.

Andaipun kelak, kata Pua’, orang-orang Cerekang miskin dan harus menebang pohon dipastikan akan memilih tempat lain.

Sekitar dua kilometer dari Cerekang, beberapa bukit terlihat gundul, pohon besar dan rimbun mulai berganti menjadi sawit. Muncul kekhawatiran serupa ‘menular’ di Pensimoni.

Untuk itu, kepala Desa Maurung, Irwan Jafar akhir tahun ini akan sosialisasi pembuatan peraturan desa mengenai hak hutan adat dan ulayat. Dia berharap, setelah sosialisasi hutan adat, pemerintah kabupaten akan merespon dan menetapkan Pensimoni serta tujuh titik hutan adat lain dalam perda.  “Hutan bagi kami adalah segalanya. Kami tentu tak ingin melihat masa mendatang Pensimoni menjadi perkebunan.”

Rumah adat penduduk tampak asri, berdampingan dengan alam yang tetap terjaga. Foto: Eko Rusdianto
Rumah adat penduduk tampak asri, berdampingan dengan alam yang tetap terjaga. Foto: Eko Rusdianto

Sungai perwujudan dunia bawah 

Catatan lain dari laporan Oxis menuliskan jika perkembangan kerajaan Luwu di Cerekang dimulai sejak abad 12-13. Pensimoni menjadi tempat pengapalan hasil hutan, seperti damar dan biji besi dari daerah Matano. Kapal-kapal perdagangan menyusuri Sungai Cerekang, hingga ke hulu.

Namun, tak ada literatur pasti kapan Pensimoni dan sungai menjadi bagian sakral dari masyarakat Cerekang. Dalam kosmologi penciptaan manusia oleh masyarakat Cerekang (Kerajaan Luwu), dikenal tiga dunia. Dunia atas yang dihuni para Dewa, dunia tengah (bumi) dan dunia bawah dari air. Batara Guru anak dari Patotoe (Dewa Penentu Takdir) dari dunia atas yang menikah dengan We Nyili Timong dari dunia bawah. Dua keturunan ini bertemu di wilayah Cerekang. “Batara Guru turun di Pensimoni dan We Nyili Timong muncul dari dalam air di Lengkong,” kata Muchsind.

Bertahannya tradisi kepercayaan lisan secara turun temurun oleh masyarakat Cerekang menjadikan alam tertata baik. Hutan lebat akan menjaga cadangan air melimpah. Di sungai yang dihuni buaya–dianggap representasi penghuni dunia bawah–tak terusik. “Buaya itu bahasa sekarang, kami bilang nenek. Saya mandi di sungai ini, kadang-kadang berpapasan dengan nenek. Manusia dan nenek tak pernah saling mengganggu,” ucap Muchsind.

Posisi air (sungai) sebagai perwujudan negeri dunia bawah sama dengan hutan yang tak boleh dikotori. Tak dibenarkan membuang hajat dan sampah di aliran sungai. Jika hendak mandi dan menggunakan sabun pun harus naik ke daratan.

Dalam kisah yang tertulis di epik I La Galigo, saat Sawerigading memimpin penduduk bumi, dia menebang pohon walenrenge (pohon kehidupan) untuk keperluan pembuatan perahu untuk berlayar ke negeri Tiongkok menjemput calon istri, We Cudai. Dia membuat kekacauan tiada tara. Pohon yang dipercaya tumbuh di dekat Cerekang itu, ‘marah’ menenggelamkan beberapa kampung, membelah gunung hingga menyebabkan banjir bah.

Tak hanya itu, binatang-binatang yang bernaung di bawah pohon walenrenge ikut bersedih, sarang dan telur burung menjadi pecah. Tak ada lagi tempat perlindungan. “Iya, saya kira itu juga pelajaran dan makna supaya tidak gampang tebang pohon,” kata Muchsind.

Warga Cerekang mendayuh sampan. Sampan, sebagai salah satu alat transportasi di sana. Foto: Eko Rusdianto
Warga Cerekang mendayuh sampan. Sampan, sebagai salah satu alat transportasi di sana. Foto: Eko Rusdianto
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,