Cities On Volcanoes ke-8 : Hidup Harmoni bersama Gunung Api

Universitas Gajah Mada, Badan Geologi Kementerian ESDM, Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta dan Pemerintah Kabupaten Sleman bekerjasama menyelenggarakan konferensi internasional Cities on Volcanoes (CoV). CoV merupakan konferensi bergengsi kegunungapian tingkat dunia yang digelar setiap dua tahun sekali. CoV 8 diselenggarakan di  Yogyakarta, bertempat di Graha Saba Pramana, Universitas Gajah Mada sejak tanggal 9 September 2014 hingga 13 September 2014.

“Penyelenggaran CoV di UGM ini tercatat sebagai partisipan terbesar dan terbanyak sepanjang CoV dilaksanakan sejak tahun 1995,” kata Wakil Rektor Bidang Kerjasama dan Alumni UGM, Prof. Dwikorita Karnawati.

UGM yang mengedepankan riset, ilmu pengetahuan dan pendidikan, lanjut Dwikorita, bertekad untuk membangun pendidikan yang tepat, berbasis riset dan teknologi tentang kegungapian dan penanggulangan bencana.

“Oleh karenanya, di acara ini kami berkesempatan menularkan pengalaman yang telah dilakukan universitas dengan multidisiplinnya dalam mengatasi bencana,” kata Dwikorita yang juga dosen jurusan Geologi UGM.

Berdasarkan catatan panitia pelaksana, CoV 8 diikuti oleh peserta dari 39 negara. Peserta yang terdiri atas para peneliti/akedemisi bidang kegunungapian dan mitigasi bencana, pemerintah, praktisi, tokoh masyarakat dan budayawan. Indonesia pada tahun ini dipilih sebagai tuan rumah CoV 8 karena Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki gunung api terbanyak di dunia.

Sampai saat ini, sekitar 129 gunung api telah terpetakan di Kepulauan Indonesia dan masih ada gunung api di bawah laut yang belum teridentifikasi dan ada sekitar 4 juta orang yang tinggal di sekitar gunung api di Indonesia.

Dr. Surono dan ketiga narasumber lainnya berbicara pada siaran pers pembukaan CoV9 di Yogyakarta, 9 September 2014. Photo : Tommy Apriando
Dr. Surono dan ketiga narasumber lainnya berbicara pada siaran pers pembukaan CoV9 di Yogyakarta, 9 September 2014. Photo : Tommy Apriando

Dr. Surono selaku Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM kepada wartawan mengatakan, dalam CoV ini tidak hanya bicara tentang kegunungapiannya saja, namun juga ke penanggulangannya juga. Di pertemuan ini akan berbagi pengalaman dan hasil riset penanggulangan becana.

“Di sesi Indonesia, para relawan yang punya pengalaman dalam penanggulangan bencana di Indonesia akan berbagai pengalaman dengan peserta dari berbagai negara,” kata Dr. Surono yang akrab disapa Mbah Rono.

Mbah Rono menambahkan, adapun tema yang dipilih “living harmony with Volcano”, karena tidak mungkin mengusir masyarakat yang bertempat tinggal di daerah rawan bencana.

Penanggulangan bencana bertujuan menekan resiko, apabila tidak dilakukan relokasi. Dengan ilmu pengetahuan dan teknologi ini menjembatani kemauan manusia agar bisa hidup harmonis di daerah dekat gunung api.

“Bukan berarti daerah rawan bencana gunung api tidak boleh di tempati. Tentu boleh, jika sudah bisa menghitung resikonya. Artinya kita bisa pelajari karakter gunung api tersebut. Dengan mengetahui karakternya, masyarakat diharapkan bisa bersikap secara arif, terukur dan pasti. Tidak ada suatu ketakutan dan sebagainya,” kata Mbah Rono.

Konferensi CoV 8 digelar di Jogja, karena Jogja itu city on volcano. Letusan Gunung Merapi sudah diakui sebagai salah satu tipe letusan gunung api dunia, dimana letusannya diikuti guguran kubah lawa dan awan panas.

Mbah Rono mengatakan Merapi adalah laboratorium alam dimana orang-orang bisa meneliti bersama. Walaupun merapi meletus beruang-ulang namun tetap saja manusianya ada disana.

“Riset adalah penting untuk mitigasi bencana, tapi lebih penting lagi adalah bagaimana menyelamatkan manusianya yang bertempat tinggal di areal Gunung api,” tambahnya.

Ketua International Association for Volcanology and Chemistry of the Earth’s Interior (IAVCEI), Raymond Cas, mengatakan ada beberapa model penanggulangan bencana erupsi gunung berapi yang diterapkan di seluruh dunia. Model pertama dengan prioritas gunung yang akan meletus dan memahami perilaku atau karakteristik gunung tersebut.

Model kedua dengan monitoring dan observasi atau early warning seperti yang sudah dilakukan oleh Pak Surono. Model ketiga yaitu kolaborasi dan komunikasi.

“Kerja sama antara pemerintah, ilmuwan, komunitas masyarakat dan media penting untuk bisa mengkomunikasikan secara  seimbang informasi yang ada agar tidak berlebihan dan juga tidak kurang. Selain itu penting juga adanya edukasi,” kata Raymond.

Deputi Bidang Rehabilitas dan Rekonstruksi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), B Wisnu Widjaja mengatakan penanggulangan bencana di Indonesia dengan mengurangi resiko bencana yang tidak bisa dihindari, dengan cara memetakan ancaman dan resiko bencana terhadap manusia dan insfrastruktur.

“Letusan gunung api itu adalah fenomena alam. Menjadi bencana kalau kapasitas manusia yang tinggal disana, punya kerentanan atau ketidakmampuan mengatasi terhadap ancaman. Maka ancaman atau karakteristik gunung api itu seperti apa haruslah diketahui,” kata Wisnu.

Kondisi Gunung Merapi 11 April 2014 lalu dari Desa Balerante. Masih berstatus normal aktif. Foto :  Tommy Apriando
Kondisi Gunung Merapi 11 April 2014 lalu dari Desa Balerante. Masih berstatus normal aktif. Foto : Tommy Apriando

Salah satu strategi peningkatan kapasitas penanggulangan bencana dengan mengkomunikasikan informasi.  Masyarakat rentan bencana akan mampu selamat bila mengetahui ancaman dan karakter bencana yang akan terjadi.

“BNPB  selalu menjadikan ilmu pengetahuan yang ada itu sebagai suatu pijakan untuk lahirnya kebijakan dalam penanggulangan bencana, Selain itu, berdasarkan teknologi dan ilmu pengetahuan itu perlu diperkuat regulasi dan perkuat kelembagaan,” kata Wisnu.

Konferensi yang diselenggarakan selama lima hari tersebut mengetengahkan topik yang sangat luas, mencakup pengetahuan tentang kondisi interior bumi dan proses-prosesnya yang berperan penting dalam pembentukan gunung api, mekanisme dan proses erupsi, produk-produk gunung api, bahaya primer maupun bahaya sekunder gunung api, dampak letusan gunung api terhadap berbagai bidang, serta bagaimana respon masyarakat terhadap letusan gunung api.

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,