Pemerintah “Murah Hati”, Izin HTI Terobos Kolong Rumah Warga

Hari paling kelabu bagi warga Desa Petebang Jaya akhirnya datang juga. Kala itu, 19 Oktober 2009, Kementerian Kehutanan RI mengeluarkan izin konsesi kepada PT. Wana Hijau Pesaguan (WHP). Anak perusahaan Djarum Group ini mengantongi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri dengan No SK.179/MENHUT-II/2009 di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat.

Tak tanggung, perusahaan ini berhak mengelola kawasan seluas 104.974 hektar. Termasuk di dalamnya Kecamatan Tumbang Titi, Jelai Hulu, dan Kecamatan Hulu Sungai. “Ya, izin perusahaan itu sampai ke permukiman warga, termasuk ke kolong rumah saya,” kata Darmadi, tokoh muda Desa Petebang ketika ditemui di kediamannya di Dusun Petebang, awal September 2014 lalu.

Status kawasan di desa itu merupakan hutan produksi (HP) dan hutan produksi terbatas (HPT). Dengan status demikian, mimpi masyarakat untuk mendapatkan dokumen kepemilikan tanah pun harus terkubur rapat.

Apalagi ditopang dengan “kemurahan hati” pemerintah setempat mengeluarkan rekomendasi ke Kemenhut RI menyebabkan sejumlah kawasan kelola masyarakat kini berubah status. Kala itu, Kabupaten Ketapang dipimpin Bupati Morkes Effendy. “Kami pernah mengajukan skema hutan desa ke Kemenhut RI pada 2010. Tapi ditolak dengan alasan sudah ada izin konsesi,” ucap Darmadi.

Konflik lahan

Di Desa Menyumbung, Kecamatan Hulu Sungai, adalah titik awal konflik tumpang-tindih lahan antara perusahaan dengan warga. Pada Januari 2011, masyarakat setempat menyesalkan penebangan kayu oleh PT. WHP. Kekesalan itu akhirnya disampaikan sejumlah perwakilan warga kepada Bupati Ketapang, Henrikus.

Bupati periode 2010-2015 ini merespon laporan masyarakat dan berjanji akan meninjau izin perusahaan itu jika terbukti melanggar aturan. “Bila perlu izinnya kita dibatalkan. Tentunya melalui prosedur yang benar,” kata Henrikus kala itu.

Sebulan kemudian, 11 Februari 2011, konflik susulan terjadi di Desa Menyabur. Warga setempat mengaku tertipu dengan kehadiran PT. WHP. Akibatnya, wilayah kelola adat seluas hampir 24 hektar terancam hilang.

Buntut dari tumpang tindih wilayah kelola ini berakhir dramatis. Perusahaan dihadiahi hukuman adat. Prosesi adat Dayak Krio ini dihelat di halaman Kantor Dinas Kehutanan Ketapang. Ritual adat menyuguhkan atraksi tabur beras kuning, pemotongan satu ekor ayam jantan hitam, dan babi. ”Perusahaan dituntut membayar denda adat pembohongan ini,” kata Petrus Singa Bansa, Raja Ulu Ai’k.

Akhirnya, Dinas Kehutanan Kalbar mengambil inisiatif untuk memediasi konflik masyarakat dari Desa Menyabur. Para pihak dipertemukan dalam satu forum dan disepakati pembatalan izin produksi di kawasan adat. Hutan adat seluas sekitar 24 hektar itu pun kembali ke pangkuan masyarakat setempat.

Dua tahun kemudian, tepatnya 6 Agustus 2013, Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu PT. Mutuagung Lestari yang berkantor pusat di Kota Bogor, Jawa Barat, mengeluarkan keputusan penting bagi PT. WHP.

Perusahaan yang berkantor pusat di Jalan Aipda KS Tubun Raya No 66 C Jakarta Barat itu dinilai telah memenuhi  Standar Legalitas Kayu (SLK). Penilaian berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan No. P.8/VI-BPPHH/2012 mengenai Standar dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) dan Verifikasi Legalitas Kayu (VLK).

Darmadi (44), warga Desa Petebang Jaya menunjukkan kebun buah di halaman belakang kediamannya. Foto: Andi Fachrizal
Darmadi (44), warga Desa Petebang Jaya menunjukkan kebun buah di halaman belakang kediamannya. Foto: Andi Fachrizal

Perkuat kearifan lokal

Berbeda dengan sikap warga di Kecamatan Hulu Sungai, warga di Desa Petebang Jaya lebih memilih memperkuat kearifan lokal mereka dalam laku hidup sehari-hari. “Kami tetap menjalankan aktivitas sehari-hari sesuai aturan lokal yang kami punya. Berkebun dan berladang di Dahas. Begitulah cara kami melindungi kawasan,” kata Darmadi.

Masyarakat tetap membuka hutan untuk kepentingan berladang. Kearifan lokal setempat menyebut, membuka ladang adalah pengakuan atas tanah. Artinya, siapa yang membuka ladang maka dia adalah pemilik tanah.

Kepala Desa Petebang Jaya, Benifasius mengamini hal itu. Menurutnya, hingga saat ini warga tetap menjalankan aktivitasnya sebagai petani. “Justru ancaman yang paling merugikan petani adalah hama belalang. Ancaman lainnya saya kira kebakaran hutan.”

Benifasius menjelaskan, Desa Petebang Jaya dihuni sekitar 174 kepala keluarga. Mereka tersebar di tiga dusun, masing-masing Dusun Petebang, Selupuk, dan Semelahuk. Mayoritas warga, hidup sebagai petani.

Pada 2004, Yayasan Diantama mulai melakukan pendampingan terhadap masyarakat di Kecamatan Tumbang Titi. Kehadiran lembaga ini dinilai telah banyak memberikan kontribusi bagi masyarakat setempat, khususnya di Desa Petebang Jaya. Di antaranya,  memperkuat aturan-aturan di tingkat masyarakat, melalui musyawarah adat.

Mendapat sokongan dari USAID Indonesia Forest and Climate Support (IFACS), pada 19 Februari 2014, sejumlah pemuka masyarakat Desa Petebang Jaya berkumpul. Mereka lantas menandatangani sebuah kesepakatan penting, yakni Kesepakatan Konservasi Alam untuk Penghidupan Masyarakat.

Paulus Gadis (52), warga Desa Petebang Jaya sesaat sebelum melaksanakan aktivitasnya sebagai petani. Foto: Andi Fachrizal
Paulus Gadis (52), warga Desa Petebang Jaya sesaat sebelum melaksanakan aktivitasnya sebagai petani. Foto: Andi Fachrizal

Empat desa istimewa

Deputy Regional Manager USAID IFACS Kalimantan Barat, Donatus Rantan menilai, empat desa di Kecamatan Tumbang Titi dan Jelai Hulu memiliki keistimewaan. Ke empat desa dimaksud adalah Tanjung Beulang, Petebang Jaya, Pasir Mayang, dan Rangga Intan. Mereka dinilai punya respon yang tinggi terhadap program konservasi alam.

“Warga punya kearifan lokal yang sudah mereka lakukan sejak turun-temurun. Warga juga sudah punya inisiatif melindungi kawasan-kawasan penting untuk kelanjutan kehidupan. Dan salah satu kekhasannya adalah, mereka punya pertimbangan yang sangat kuat, untuk tidak tergesa-gesa melepaskan wilayah hutannya ke pihak lain atau swasta. Ini sangat cocok untuk program konservasi bagi masa depan mereka,” urai Donatus.

Terkait infrastruktur jalan yang tak kunjung bagus, Donatus menilai semua itu terjadi lantaran konsep pembangunan yang tidak merata. Namun demikian, dia juga mengkhawatirkan kebijakan pemerintah yang lebih menitikberatkan pembangunan infrastruktur daripada membangun mental masyarakatnya.

Ketika jalan dan jembatan dibangun, kata Donatus, ini hanya akan mempermudah akses bagi pihak luar untuk mengambil sumber daya manusia dan alam yang ada di dalamnya. “Kita bersyukur bahwa masyarakat di empat desa ini sudah siap mentalnya menghadapi kemungkinan yang akan terjadi,” jelasnya.

Lebih jauh dia menjelaskan, masyarakat sudah mempunyai kebiasaan turun-temurun mengelola lingkungannya secara arif. Ketika mereka membuka hutan untuk kepentingan tertentu, mereka senantiasa menyisakan atau melindungi kawasan penting. Misalnya sumber air, kayu, bahan obat-obatan, dan bahan bukan kayu.

Dalam pandangan Donatus, konsep tersebut sangat terkait dengan apa yang disebut peningkatan penghidupan masyarakat. Melindungi kawasan-kawasan yang bernilai penting bagi kehidupan, sudah berkaitan erat dengan peningkatan kesejahteraan. “Bayangkan kalau hutan ini dibabat habis, sumber airnya akan habis. Ikan habis, satwa habis, kayu habis. Lalu yang tinggal hanya bentang alam yang tanpa sumber daya.

Terkait dengan apa yang disebut adaptasi perubahan iklim, Donatus menyebut hal ini sudah terjadi. Dia mencontohkan, jarang ada warga yang berladang dalam satu hamparan secara bersama-sama sekampung. Mereka membagi kawasan, agar kerusakan tidak parah. Dan pada akhirnya, mereka akan kembali lagi ke titik awal dalam rentang waktu yang panjang.

Hal yang paling terasa lewat program dari berbagai lembaga non-pemerintah ini adalah pembangunan manusianya. Terutama di dalam memperkuat mental masyarakat dan meneruskan cara-cara lama mereka, demi masa depan yang lebih baik.

Kesadaran warga Desa Petebang Jaya kian tumbuh seiring perubahan iklim yang kian terasa. Warga pun bersepakat menanami pohon buah di sejumlah kawasan bekas kebakaran lahan. Foto: Andi Fachrizal
Kesadaran warga Desa Petebang Jaya kian tumbuh seiring perubahan iklim yang kian terasa. Warga pun bersepakat menanami pohon buah di sejumlah kawasan bekas kebakaran lahan. Foto: Andi Fachrizal

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,