Menimbang Gerakan Masyarakat Sipil Terhadap Pertambangan Batubara di Sumsel

Berbagai persoalan lingkungan hidup di Sumatera Selatan (Sumsel), khususnya pertambangan batubara, membuat banyak pihak prihatin. Bukan hanya merusak hutan bersama kekayaan flora dan faunanya, tetapi juga menimbulkan pencemaran air dan udara, “mendorong” pemanasan global, memiskinkan rakyat, memfasilitasi perilaku negatif di masyarakat, mengancam keberadaan peninggalan sejarah, serta menjadi ajang korupsi.

“Oleh karena itu dibutuhkan gerakan masyarakat sipil buat menghentikan berbagai dampak dan ancaman yang ditimbulkannya,” kata Dr. Tarech Rasyid dalam focus group discussion (FGD) yang diselenggarakan Mongabay Indonesia, Green Radio dan TAF di Palembang, pada 9 September 2014 lalu dengan judul “Politik Batubara dan Peranan Masyarakat Sipil di Sumatera Selatan”.

Gerakan masyarakat sipil, kata Tarech, bentuknya berupa mengkritisi segala bentuk perizinan batubara, melakukan riset dan advokasi baik dalam membela lingkungan hidup, hak-hak petani yang tanah dirampas, maupun potensi korupsi di sektor penambangan batubara.

“Saat ini, reaksi masyarakat sipil baru sebatas protes terhadap isu transportasi yang mengganggu lingkungan dan tanah,” kata Tarech.

Bentuk gerakan masyarakat sipil ini, katanya, dapat dalam bentuk sebuah forum atau koalisi. “Gerakan protesnya dapat memfokuskan pada isu lingkungan, kerusakan hutan, tanah masyarakat adat maupun korupsi di sektor penambangan,” kata Dosen Universitas Ida Bajumi (UIBA) Palembang ini.

Sementara Hadi Jatmiko dari Walhi Sumsel, juga sepakat dengan adanya gerakan masyarakat sipil terhadap keberadaan penambangan batubara di Sumsel. Sebab ada indikasi pemerintah Sumsel ingin mempercepat pengerukan batubara.

Indikatornya berupa pernyataan Gubernur Sumsel Alex Noerdin beberapa tahun lalu, “Lima tahun lagi batubara tidak berharga, maka sumber daya batubara Sumsel harus segera dieksploitasi.”

Kemudian membuat MoU dengan PT. Adani dari India untuk membangun jalur kereta api sepanjang 270 kilometer dari Lahat menuju Tanjung Api-Api Banyuasin, membuat MoU dengan pemerintah Jambi dan Bengkulu untuk membangun rel kereta api khusus batubara, serta pembuatan jalan khusus batubara oleh PT. Servo dari Lahat menuju Tanjung Api-Api sepanjang 270 kilometer.

Dijelaskan Hadi, dari luasan konsensi penambangan batubara di Sumsel yang mencapai 2,7 juta hektar sekitar 801.160 hektar berada di kawasan hutan. Sekitar 6.293 hektar berada di hutan konservasi, 67.298 hektar berada di hutan lindung, serta 727.569 hektar berada di hutan produksi. Sisanya, 1.985.862 hektar berada di areal penggunaan lain.

Luasan konsensi itu dipegang oleh 359 perusahaan. Sekitar 264 perusahaan pemegang IUP sudah beroperasi. Tapi sekitar sekitar 23 perusahaan belum terindentifikasi NPWP-nya.

Adapun isu yang harus diusung gerakan masyarakat sipil terhadap batubara di Sumsel yakni moratorium izin pertambangan batubara, review perizinan pertambangan batubara, penyelesaian konflik dengan mendorong pembentukan lembaga penyelesaian konflik, serta penegakan hukum atas pelanggaran hukum yang dilakukan perusahaan.

Ade Indriani dari Yayasan OWA Indonesia, menyatakan keberadaan perusahaan batubara di Sumsel kian memarginalkan kaum perempuan. Misalnya perempuan dari keluarga tani yang miskin beban hidupnya kian bertambah. “Mereka selain harus mengurus keluarga, juga harus bekerja keras mendapatkan penghasilan di luar bertani. Misalnya menjadi buruh,” kata Ade.

Bahkan keberadaan perusahaan tersebut mendorong perempuan menjadi objek seks. “Perempuan desa yang miskin akhirnya menjadi objek seks dari para pekerja pertambangan,” ujarnya. “Intinya keberadaan pertambangan batubara tersebut merupakan neo-kapitalis, yang jelas-jelas memiskinkan rakyat, terutama kaum perempuannya,” ujarnya.

Beginilah kondisi lahan akibat pertambangan batubara di Lahat, tandus. Foto: Rahmadi Rahmad
Beginilah kondisi lahan akibat pertambangan batubara di Lahat. Tandus. Foto: Rahmadi Rahmad

Mengancam Situs Megalitik Pasemah?

Kabupaten Lahat merupakan daerah yang paling banyak terdapat situs megalitiknya. Menurut Kristantina Indriastuti dari Balai Arkeologi Palembang, pada umumnya situs-situs yang ditemukan di Lahat saat ini terletak di lahan persawahan, ladang-ladang, atau kebun kopi dan sebagian berada di pekarangan rumah.

Beberapa situs yang dapat diidentifikasi antara lain, Situs Lubuk Tabun, Situs Pajar Bulan, Situs Tanjung Telang, Situs Karang Dalam, Situs Lesung Batu, Situs Pagaralam, Situs Tinggihari, Situs Sawah Jemaring, Situs Gunung Megang, Situs Kampung Bakti, Situs Pajar Bulan, Situs Muara Danau, Situs Muara Dua, Situs Gunung Megang, Situs Gunung Kaya, Situs Rambai Kaca, Situs Pulau Panggung, Situs Kotaraya Lembak, Situs Sinjar Bulan, Situs Tebat Sibentur, Situs Tegurwangi, Situs Tanjungsirih, Situs Tanjung Telang, Situs Air Purah, Situs Geramat, Situs Tanjung Beringin, Situs Tanjung Telang, Situs Muara Payang, Situs Karang Dalam, Situs Rindu Hati, Situs Muara Danau, Situs Nanding, dan lainnya.

“Sampai saat ini aktivitas pertambangan batubara memang belum menyentuh wilayah situs yang sudah ditemukan. Tapi, kita tetap harus hati-hati, sebab banyak wilayah yang belum dilakukan penggalian seperti di wilayah Kecamatan Merapi,” kata Kristantina.

”Saya berharap masyarakat dapat berperan dalam penjagaan situs megalitik ini,” tambahnya.

Pada 2012 lalu, meskipun belum ditetapkan sebagai cagar budaya, Kabupaten Lahat tercatat dalam rekor MURI sebagai daerah yang paling banyak peninggalan megalitik. Tepatnya sebanyak 1.027 tinggalan megalith pada 41 situs.

REDD+ dorong reklamasi

Sementara pemerintah Sumsel yang beberapa waktu lalu menandatangani kerjasama dengan BP REDD+ akan melakukan proyek reklamasi pasca-tambang batubara, konservasi dan restorasi catchment area. Pengelola program ini melibatkan perusahaan batubara dan Perda Jasa Ekossitem. Hal yang sama juga dilakukan pada wilayah Kabupaten Muaraenim, yang melibatkan PT. Batubara Bukitasam.

“Ini langkah yang diambil REDD+ dan pemerintah Sumsel guna mengatasi persoalan lingkungan hidup akibat aktivitas pertambangan batubara di Sumsel,” kata Najib Asmani, staf ahli lingkungan hidup dan perubahan iklim Gubernur Sumsel.

Peta tumpang tindih konsesi pertambangan dengan kawasan lindung. Sumber: Walhi
Peta tumpang tindih konsesi pertambangan dengan kawasan lindung. Sumber: Walhi Sumsel

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,