Lewat Burung, Mereka Belajar Mencintai Alam…

Pagi baru menyapa. Jam menunjukkan pukul 08.00 WIB. Mentari belum terlihat sempurna wujudnya, namun sinar hangatnya telah terasa. Sekitar dua ratusan anak sekolah dasar yang berasal dari Kota Bogor dan sekitarnya sudah berkumpul di Lapangan Cafe Dedaunan Kebun Raya Bogor.

Anak-anak penerus bangsa ini berasal dari SD Yapis Bogor, SDN Polisi 5, SD Kesatuan, SDN Pondok Rumput 2, SDIT Al-Yasmin 2, SD Kebon Pedes 1, SD Tanah Sereal, SDN Julang Bogor, SD Sekolah Alam Bogor, dan SD Pengadilan 2 Bogor. Sabtu pagi di penghujung Agustus itu, mereka bergembira ria untuk merayakan bersama keragaman burung di Indonesia. Agenda tahunan yang dihelat Burung Indonesia untuk memperkenalkan kepada masyarakat luas kekayaan burung di Indonesia. Tema yang diangkat kali ini adalah “Kenali dan Cintai Burung Khas Indonesia.”

Karena acaranya merayakan keragaman burung maka semuanya juga serba burung: menggambar, mewarnai, mendongeng sembari melukis, serta ada juga tarian yang menggunakan kostum burung. Burung-burung yang diperkenalkan pada para pelajar ini tentu saja burung liar yang memang ada dan khas Indonesia.

Sebut saja perkici dora (Trichoglossus ornatus), burung berukuran sekitar 25 cm atau sedikit lebih kecil dibandingkan burung nuri. Ia hanya ada di subkawasan Sulawesi dengan ciri umum ekornya agak panjang runcing dan memiliki bercak telinga biru lembayung.

Ada juga julang sumba. Aceros everetti ini hanya bisa kita lihat di Pulau Sumba. Ia merupakan burung berukuran 70 cm yang termasuk dalam famili Bucerotidae (rangkong), yaitu kelompok burung berpostur besar yang mudah dikenali dari cula dan pangkal paruhnya. Jumlahnya di alam diperkirakan 4.000  individu.

Lalu celepuk flores atau Otus alfredi nama latinnya. Celepuk ini berukuran antara 19-21 cm yang hanya ada di Flores. Spesimennya pertama kali dikoleksi tahun 1896 di Gunung Repok, Flores Barat Daya. Terakhir kali terlihat tahun 2010 di Cunca Lolos, Flores Barat. Saat ini, jumlahnya di alam antara 250-2.500 individu dewasa.

Begitu juga dengan walik dada-merah yang sudah dipastikan dadanya merah, sebagaimana namanya. Ukuran badannya agak gempal, sekitar 28 cm, yang bisa dibayangkan tidak berbeda jauh dengan burung tekukur biasa. Nama latin walik ini agak ribet disebutkan: Ptilinopus bernsteinii. Bila ingin melihatnya maka bersiaplah berangkat ke Maluku.  

Tidak ketinggalan elang jawa. Jenis ini tentunya tidak asing di telinga kita karena karakternya disebut mewakili burung garuda, lambang negara Indonesia. Sebagaimana namanya, Nisaetus bartelsi ini memang hanya ada di Jawa. Jumlahnya saat ini, berdasarkan data BirdLife International sekitar 300-500 ekor dengan status Genting (Endangered) yang artinya dua langkah lagi menuju kepunahan di alam.

Ratusan pelajar sekolah dasar di Kota Bogor ini antusias meramaikan acara Merayakan Keragaman Burung di Indonesia yang diadakan di Kebun Raya Bogor. Foto: Rahmadi Rahmad
Ratusan pelajar sekolah dasar se-Kota Bogor ini antusias meramaikan acara Merayakan Keragaman Burung di Indonesia yang diadakan di Kebun Raya Bogor. Foto: Rahmadi Rahmad

Uniknya, di acara ini hadir pelukis naturalis spesialis burung dan alam asal Portugal, Paulo Alves. Paulo yang sudah tiga bulan di Indonesia ini menunjukkan kepiawannya melukis elang jawa di atas kanvas sembari mendongeng kepada anak-anak sekolah dasar yang hadir.

Paulo memang mengkhususkan datang ke Indonesia untuk melukis 56 jenis burung yang hanya ada di Indonesia, alias tidak ada di negara manapun. Sebelumnya, ia telah melukis mandar gendang (Habroptila wallacii) pada perangko seri “Burung Terancam Punah Indonesia” keluaran 2012. “Saya senang berada di Indonesia,” tutur lelaki 24 tahun ini yang sudah mengunjungi Halmahera dan Gorontalo.

Tanpa dipungkiri, Indonesia merupakan negara terkaya dalam hal jumlah jenis burung endemik sekaligus masuk empat besar dunia untuk total jenis burung yang ada.  Berdasarkan kajian Daftar Merah BirdLife International, Indonesia memiliki 48 jenis burung yang merupakan jenis baru di 2014 ini. Sehingga, jumlah jenis burung di Indonesia di 2014 mencapai angka 1.650 jenis.

Sebagian jenis baru tersebut seperti udang merah sangihe (Ceyx sangirensis), pelatuk punggung-emas (Chrysocolaptes strictus), dan raja-udang kalung-biru (Alcedo euryzona) merupakan jenis endemik. Udang-merah sangihe merupakan jenis endemik Sangihe, Sulawesi Utara. Sementara, pelatuk punggung-emas dan raja-udang kalung-biru hanya ada (endemik) di Jawa.

Agus Budi Utomo, Direktur Eksekutif Burung Indonesia, menuturkan bahwa jumlah burung endemik Indonesia bertambah. Meski begitu, banyak juga jenis endemik yang terancam punah. Berdasarkan data burung Indonesia 2013, dari 380 jenis endemik yang ada sekitar 74 jenisnya terancam punah.

Kekayaan ini harus dilestarikan, karena burung memberikan inspirasi luas dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Burung hadir mulai dari tradisi, seni, dan budaya. Sayangnya, sebagian besar masyarakat masih awam dengan fenomena ini. “Jangankan mengenal jenis-jenis burung khas Indonesia, jenis-jenis umum yang ada di lingkungan sekitar saja tidak semua orang tahu,” tutur Agus.

Paulo Alves, ilustrator asal Portugal ini menunjukkan kebolehannya melukis elang jawa. Foto: Rahmadi Rahmad
Paulo Alves, ilustrator asal Portugal ini menunjukkan kebolehannya melukis elang jawa. Foto: Rahmadi Rahmad

Walikota Bogor dalam sambutan tertulisnya berpesan kepada para siswa agar mencintai burung liar dengan cara membiarkannya hidup bebas di alam liar. “Jika ingin menghadirkan burung ke rumah, cukuplah tanam pepohonan yang disukai burung, pasti burung akan datang,” ungkap Bima Arya yang sambutannya dibacakan Wakil Walikota Bogor Usmar Hariman.

Ya, bagi burung, pohon tidak hanya berguna sebagai tempat bermain. Lebih dari itu, pohon berfungsi sebagai tempat mencari makan, bahkan untuk tidur dan bersarang. Misalnya saja pohon buni (Antidesma bunius), kersen (Muntingia calabura), atau lobi-lobi (Flacourtia inermis) yang disukai burung cabai jawa (Dicaeum trochileum). Atau burung-madu sriganti (Nectarinia jugularis) yang menyenangi madu bunga dari pepohonan dadap (Erythrina crystagalii) dan pisang hias (Heliconia spp).

Prof. Dr. Ani Mardiastuti, Guru Besar Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Institut Pertanian Bogor (IPB), menuturkan bahwa burung merupakan makhluk yang begitu bernilai bagi alam. Burung menebar biji, membantu penyerbukan pada bunga, bahkan berfungsi sebagai indikator alami kesehatan lingkungan.

Sepatutnya kita menjaga keragaman jenis yang ada. Jangan sampai kita hanya mengenal namanya saja tanpa pernah melihat wujudnya. “Kebun Raya Bogor (KRB) merupakan tempat yang representatif bagi kita untuk mulai mengenal dan mencintai burung liar,” jelas ahli burung liar Indonesia ini.

Inilah hasil karya yang ditampilkan anak sekolah dasar se-Bogor Raya. Belajar langsung di lapangan membuat mereka lebih  cepat mengerti dan peduli pada lingkungan. Foto: Rahmadi Rahmad
Inilah hasil karya yang ditampilkan anak sekolah dasar se-Bogor Raya. Belajar langsung di lapangan membuat mereka lebih cepat mengerti dan peduli pada lingkungan. Foto: Rahmadi Rahmad

KRB merupakan tempat yang tepat bagi siapa saja yang ingin mengenal keragaman burung. Catatan LIPI, jumlah jenis burung di Kebun Raya Bogor tahun 1950-an mencapai 150 spesies. Jumlah tersebut menurun dan menyisakan sekitar 90 spesies tahun 2006. Selanjutnya, tahun 2011, survei yang dilakukan Burung Indonesia baru berhasil mencatat sekitar 50 jenis (spesies). Catatan berkurangnya jumlah ini tentunya masih memerlukan penelitian lebih lanjut.

Asep Ayat, pegiat di Burung Indonesia, yang mengamati keberadaan burung di KRB menuturkan, meski jenis burung di KRB menyusut namun tidaklah sulit untuk melihatnya. Ada kowak-malam kelabu (Nycticorax nycticorax), bondol jawa (Lonchura leucogastroides), cinenen jawa (Orthotomus sepium), raja-udang meninting (Alcedo meninting), kepudang kuduk-hitam (Oriolus chinensis), punai gading (Treron vernas), dan cekakak sungai (Todirhamphus chloris). “Bahkan, di sini ada kakatua raja (Probosciger aterrimus) yang diperkirakan burung peliharaan yang lepas atau sengaja dilepaskan orang. Karena, kakatua raja hanya ada di papua,” jelas Asep.

Sugeng, Kepala Sekolah SDN Pengadilan 2 Bogor, mengamini apa yang diucapkan Ani Mardiastuti. Menurutnya, anak-anak perlu diberikan pengetahuan sejak dini tentang keanekaragaman burung di Indonesia. “Belajar di alam dan langsung melihat burung akan membuat siswa lebih paham dan peduli lingkungan,” tuturnya.

Bondol jawa ini masih bisa kita lihat di Kebun Raya Bogor. Foto: Asep Ayat
Bondol jawa ini masih bisa kita lihat di Kebun Raya Bogor. Foto: Asep Ayat
Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,