Industri Kertas Lebih Suka Merusak Hutan Alam Daripada Menanam Pohon

Sekitar 10 juta hektar kawasan hutan di Indonesia telah dimanfaatkan untuk industri Hutan Tanaman Industri (HTI) atau Izin Usaha Pemanfaatan  Hasil  Hutan  Kayu  pada  Hutan  Tanaman  (IUPHHK-HT) sampai tahun 2013. Jumlah tersebut meningkat tajam dibandingkan tahun 1995 yang hanya seluas 1,13 juta hektar.

Jumlah izin HTI pun bertambah dari sembilan unit pada 1995 menjadi 252 unit pada 2013. Pada awalnya, izin HTI diberikan memenuhi kayu terutama bagi industri pulp dan kertas untuk menggantikan pasokan kayu dari hutan alam.

Namun kenyataannya, kebutuhan kayu bagi industri pulp and paper hingga saat ini masih juga bergantung pada produksi hutan alam. Praktik penggunaan kayu dari hutan alam sampai  saat  ini  menunjukkan  ketidakmampuan  HTI,  yang  disebabkan  oleh  rendahnya  tingkat  produksi dan realisasi penanaman yang lambat.

“Industri HTI masih menggunakan kayu alam. Hasil penanaman pohon dalam hutan konsesi masih belum memenuhi kebutuhan mereka. Sedangkan 80 persen hutan HTI itu ada di Sumatera, yaitu di Riau, Jambi dan Sumatera Selatan,” kata Abu Meridian, Juru Kampanye Forest Watch Indonesia  (FWI) dalam jumpa pers bersama FWI, Walhi Jambi, Jikalahari (Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau) dan Wahana Bumi Hijau di Jakarta, minggu kemarin.

Dari analisis FWI, hanya 5,7 juta hektar dari 10 juta hektar konsesi HTI yang ditanam hingga tahun 2013. Bahkan ada data yang menyebutkan realisasi  penanaman  tahun  1989-2012  hanya  seluas  3,8  juta  hektare  dengan  rata-rata  produksi bahan baku (2008-2013) sekitar 22 juta meter kubik per tahun.  Rata- rata produksi kayu dari hutan alam  yang digunakan untuk industri  pulp (2008-2013) sebanyak 8 juta meter kubik per tahun.

“Dengan rasio rasio luas rasio konsesi 4,5 juta hektar , industri kertas masih membutuhkan 3,4 juta hektar. Sehingga ada sekitar 6 juta hektar masih disuplai dari hutan alam. Sisanya baru dari hutan tanaman,” jelas Abu.

FWI melihat  rendahnya realisasi penanaman  menunjukkan  bahwa  perusahaan  tidak  serius  dalam  melakukan  penanaman. “Ditambah lagi, tidak ada pengawasan dari Kementerian Kehutanan terhadap industri kayu untuk melakukan penanaman,” kata Abu.

Untuk memenuhi kebutuhan bahan  baku  Kementerian Kehutanan menargetkan  pengembangan  HTI  seluas  15  juta  hektare  hingga  tahun  2014,  dengan  harapan  produksi  kayu  menembus  100  juta  meter  kubik  per  tahun.

Faktanya saat ini, lanjut Abu,  dari  seluruh konsesi  yang  ada, tidak sampai  50  persen  yang ditanami.  Oleh karena itu, langkah  penting yang harus dilakukan pemerintah adalah memastikan perusahaan untuk  segera   merealisasikan pembangunan   HTI   yang   lestari,   bukan   melakukan ekspansi HTI.

“Mereka punya target 100 juta meter kubik kayu. Sebenarnya produksi kayu sudah lebih kalau mereka realisasikan penanaman di HTI mereka. Tapi ini tidak terjadi. Dari angka produktivitas realisasi pemenuhan bahan baku, seperti pada 2010-2011, kelihatan sekali kayu kebanyakan diambil dari hutan alam,” jelas Abu.

Untuk di Pulau Sumatera, sampai tahun 2013, luas konsesi HTI mencapai 4,5 juta hektare dan  hanya  548  ribu  hektare  diantaranya  berupa  hutan  alam.  Aktivitas  penebangan  kayu  hutan  alam  masih  terus  dilakukan  di  Riau,  Sumatera  Selatan,  dan  Jambi  untuk pemenuhan bahan baku oleh perusahaan.

Komitmen Tidak Gunakan Kayu Dari Hutan Alam

Sedangkan Koordinator Jikalahari, Muslim Rasyid mengatakan meskipun  APRIL (Asia Pacific Resources International Limited) /RGM (Raja Garuda Mas)  dan  APP (Asia Pulp and Paper) /SMG (Sinar Mas Group) telah  mengumumkan  komitmen  baru  untuk  tidak  lagi  menggunakan  kayu  dari  hutan  alam, hasil  investigasi  Jikalahari masih  menemukan   dugaan  pelanggaran  atas  komitmen  yang   telah  mereka sepakati.

Konsesi RAPP di Pulau Padang. Foto : Eyes on the Forest
Konsesi RAPP di Pulau Padang. Foto : Eyes on the Forest

“Kita  masih  menemukan  APRIL menebang  hutan  alam  di  Pulau  Padang  dan  melanggar  kesepakatan  penghentian  sementara  operasional  mereka  di  Desa  Bagan  Melibur.  Sementara  pada  konsesi  Mutiara  Sabuk  Katulistiwa  pemasok  APP/SMG,   kami   menemukan   alat   berat   di   lokasi   komitmen   moratorium,  pembongkaran    gambut    untuk    kanal,    dan   tumpang    tindih    lahan dengan perkebunan sawit PT. Setia Agro Lestari (SAL)” ungkap Muslim.

Sedangkan total   lahan   gambut   di   tiga   propinsi   seluas   5,9   juta   hektare,   dan   24 persen  diantaranya berada  di  wilayah  HTI.   Masuknya HTI  di  lahan gambut  berpotensi  merusak sistem  hidrologi  lahan  gambut,  penurunan  permukaan  tanah,  menjadi rentan terbakar, dan stok karbon yang tersimpan di lahan gambut hilang.  

Kehadiran pabrik pulp baru berkapasitas produksi 2 juta ton tahun per tahun di Sumatera  Selatan  semakin  menimbulkan  keraguan  akan  adanya  perubahan  praktek  penggunaan  kayu  hutan  alam  untuk  pemenuhan  bahan  baku  industri  kertas.

Alat berat milik satu perusahaan di Sumatera Selatan mengatur kayu hasil dari hutan alam. Foto : Wahana Bumi Hijau
Alat berat milik satu perusahaan di Sumatera Selatan mengatur kayu hasil dari hutan alam. Foto : Wahana Bumi Hijau

Deddy  Permana  Direktur  Wahana  Bumi  Hijau  mengatakan  kebutuhan  akan pasokan kayu untuk PT OKI Pulp & Paper Mills di Sumatera Selatan ini akan sulit dipenuhi oleh  perusahaan  HTI  di  sekitar pabrik tersebut, termasuk  7 perusahaan milik Sinar Mas Grup  di  kabupaten   Musi Banyuasin   dan   Kabupaten  Ogan Komering Ilir.

“Group Sinar mas, dengan 7 perusahaan mempunyai  konsesi lebih dari 700 ribu hekter di Sumatera Selatan. Mereka hanya mampu menanam 41 persen atau 320 ribu hektar untuk jadi hutan kayu tanaman. Ada kekurangan supply  dari produksi 8 juta meter kubik kayu, masih kurang 1 juta meter kubik kebutuha mereka,” kata Deddy.

Padahal kawasan tersebut yang merupakan hutan gambut, telah rusak sejak kebakaran hutan pada tahun 1997. Dan pada peristiwa kebakaran hutan tahun 2013, lanjut Deddy, wilayah tersebut terdapat 206 titik api.

Konflik Sosial

Pembangunan HTI juga menimbulkan konflik dengan masyarakat di sekitar hutan tersebut. Walhi Jambi mencatat ada 156 desa di 8 kabupaten di Jambi yang berkonflik dengan perusahaan HTI,    sebagian    besar    diakibatkan    karena rendahnya keterlibatan masyarakat dalam rencana pembangunan HTI di wilayah mereka.

“Masih  banyak  sengketa  dan  pelanggaran  hak-hak  masyarakat  tempatan  dan masyarakat   adat   yang   belum   diselesaikan   oleh   perusahaan,   hal   ini   karena lemahnya  langkah-langkah  identifikasi  dan  resolusi  sengketa,”  ujar  Koordinator Advokasi dan Kampanye Walhi Jambi, Rudiansyah.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , ,