Mengkritisi Tata Ruang Kalbar: Beranikah Pemerintah Menantang Dominasi Korporasi?

Rencana Tata Ruang Wilayah Kalimantan Barat (Kalbar) memasuki babak baru. Rekomendasi Koalisi Masyarakat Sipil untuk Tata Ruang yang Adil dan Berkelanjutan terhadap draf RTRW Provinsi Kalimantan Barat, diakomodir oleh Pansus RTRW. “Semua yang direkomendasikan oleh Koalisi Masyarakat Sipil, kita bahas bersama. Termasuk mengenai SK Menhut No 936 tahun 2013 yang dianggap menguntungkan korporasi,” kata Ketua Pansus RTRW, Retno Pramudya.

Retno menyatakan, masalah yang paling krusial dalam catatan DPRD Provinsi Kalimantan Barat adalah kebijakan pemerintah yang cenderung berpihak pada korporasi atau perusahaan. Untuk itu, kata dia, dalam pertemuan pembahasan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kalbar, disisir pasal demi pasal. Dia bahkan menyatakan, penyusunan draft Raperda RTRW ini merupakan yang paling  transparan. Semua elemen masyarakat dilibatkan dalam penyusunan RTRW tersebut.

“Kami di DPRD mempunyai semangat yang sama. Raperda tersebut jangan sampai jadi bumerang, sehingga rakyat yang berada di kawasan hutan tidak menjadi tersangka karena perundang-undangan tersebut,” tambah Retno. Pembahasan Raperda RTRW ini, sudah tiga tahun lamanya. Lamanya pembahasan ini  karena perumusan Raperda RTRW harus hati-hati. Pekan ini, Tim Terpadu akan bertemu dengan Dirjen Planologi untuk membahas SK Menhut No 936 tahun 2013. Terkait aturan mengenai hutan adat dan masyarakat adat yang belum ada tambahannya, Retno mengatakan akan memasukkannya secara parsial. “Sebentar lagi final,” ujar Retno.

Hermawansyah, Direktur Swandiri Institute, membenarkan hasil dari pembahasan Raperda Tata Ruang disepakati untuk dilanjutkan pembahasannya di Pansus DPRD Provinsi, sambil menyempurnakan perbaikan-perbaikan yang disepakati. “Terkait indikasi pemutihan untuk sawit di SK 936, Pansus dan Dishut Kalbar akan melakukan klarifikasi ke Dirjen Planologi,” tambahnya.

Pembahasan Raperda RTRW Kalimantan Barat memang alot. Dibahas selama dua hari yang dihadiri NGO pemerhati lingkungan serta pejabat terkait kabupaten/kota di Kalimantan Barat. Jakius Sinyor, Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kalimantan memimpin jalannya pembahasan tersebut. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Tata Ruang yang Adil dan Berkelanjutan, memaparkan dihadapan Pansus Tata Ruang, temuan-temuan terkait SK Menhut 936 /2013.

Arief Munandar, peneliti di Swandiri Institute menambahkan, dari hasil temuan terdapat 51 perusahaan sawit yang sudah menanam pada areal yang sebenarnya tidak boleh ditanami. Tak hanya itu, sekitar 230.000 hektar lahan pertanian di Kalbar akan hilang karena beralih fungsi menjadi perkebunan sawit. SK Menhut ini pun hanya melepaskan 448 pemukiman yang berada di kawasan hutan, padahal yang terdata lebih dari 2.000 pemukiman masyarakat adat.

Untuk itu, Koalisi Masyarakat tetap merekomendasikan harus ada pasal mengenai mitigasi dan resolusi konflik lahan. Termasuk pasal mengenai mekanisme review atau evaluasi perizinan. Dengan adanya mekanisme evaluasi perizinan yang masuk dalam aturan perundangan, menjadi kekuatan pemerintah untuk mencabut izin perusahaan yang melanggar. “Wilayah hutan adat, juga agar diatur dengan aturan tambahan, karena peraturan pemerintahnya belum ada,” tambah Hermawansyah.

Dia juga mengapresiasi komitmen pemerintah, memasukkan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan, yang tidak ada dalam rekomendasi. Item tersebut diusulkan oleh Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Kalimantan Barat. Hermawansyah berharap hal ini menjadi pijakan awal bagi penataan ruang yang adil dan berpihak pada rakyat banyak.

Jakius Sinyor, Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kalimantan Barat, memaparkan tujuan penataan ruang wilayah provinsi adalah untuk mewujudkan ruang wilayah Provinsi Kalimantan Barat yang aman, produktif, seimbang, terpadu dan berkelanjutan. “Hal ini akan tercapai melalui perkembangan wilayah yang berbasis pada agrobisnis, industri dan pariwisata, sehingga  dapat meningkatkankan daya saing daerah dengan mengembangkan kawasan perbatasan negara sebagai beranda depan negara,” paparnya.

Dia menambahkan, pembahasan tata ruang selama tiga tahun bukan tanpa sebab. Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat menunjuk petunjuk pemerintah lebih lanjut mengenai penataan ruang tersebut. Munculnya SK Menhut No 936/Menhut-II/2013 tentang pola ruang, menyebabkan adanya perubahan peruntukan. Diantaranya HPT Menjadi APL sekitar 189.460 ha, HP menjadi APL 294.912 ha, HPK menjadi APL seluas 69.765 ha, dengan total seluas 554.137 ha. Jakius berharap dengan keterlibatan berbagai pihak pengesahan RTRWP Kalbar bisa segera dilaksanakan.  Ketua Pansus Tata Ruang, Retno Pramudya menambahkan, dia optimis Raperda Tata Ruang ini akan selesai pada masa baktinya, yang bersisa beberapa minggu lagi.

Sumber: Koalisi Masyarakat Sipil untuk Tata Ruang yang Adil dan Berkelanjutan
Sumber: Koalisi Masyarakat Sipil untuk Tata Ruang yang Adil dan Berkelanjutan

Sebelumnya, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalbar merilis bahwa lahan di Provinsi Kalimantan Barat saat ini sudah habis, karena perizinan untuk industri ekstraktif sudah dikeluarkan, seperti perkebunan sawit, pertambangan, dan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK).

Direktur Eksekutif Daerah Walhi Kalimantan Barat, Anton P Widjaya mengatakan, dari total lahan di Kalbar seluas 14,7 juta hektar tercatat sekitar 13,6 juta hektar sudah dikeluarkan izinnya untuk industri ekstraktif, industri dengan bahan baku dari alam sekitar.

Dari seluas 13,6 juta hektar (ha) itu, terdiri 378 izin perkebunan sawit seluas 4,9 juta ha, 721 izin pertambangan dengan luas 5,07 juta ha, dan 76 IUPHHK dengan luas 3,6 juta ha. “Bila luas perizinan tersebut ditambahkan dengan wilayah konservasi yang mengedepankan prinsip zero access seluas 3,7 juta ha, maka tidak ada lagi tanah dan ruang hidup tersisa di Kalbar,” katanya.

Bahkan, ada kekurangan tanah seluas 2,6 juta ha, sehingga perubahan tata ruang yang idealnya bertujuan memastikan kecukupan ruang bagi kehidupan ekonomi, sosial, dan budaya rakyat, justru direkayasa untuk memastikan luasnya investasi industri ekstraktif.

Penataan ruang yang tidak berpihak kepada masyarakat kecil, akan menjadi pemicu konflik akibat proses pemberian izin oleh otoritas berwenang yang tidak aspiratif. Saat ini, kata dia, tingkat kesadaran masyarakat sudah cukup meningkat untuk bercocok tanam dan bertani menetap. Namun, pada saat yang sama, lahan yang merupakan hak kelola masyarakat adat dirampas oleh investor, dilegitimasi pemerintah. “Ini yang memicu konflik,” tukasnya.

Walhi mencatat, pada 2011-2013 terjadi 128 protes masyarakat terkait krisis ekologi dan konservasi areal budi daya menjadi perkebunan kelapa sawit. Dari protes masyarakat tersebut, sebagian besar terkait dengan tumpang tindih lahan perusahaan dengan lahan kelola masyarakat adat. “Adanya campur tangan aparat keamanan yang digunakan oleh pemerintah, makin memperburuk konflik ini,” tambah Anton.

Dari beberapa kasus yang telah terjadi, saat masyarakat konflik dengan perusahaan terkait lahan garapan, hanya sedikit yang memperoleh keadilan. Walau pun hal ini telah ditempuh melalui jalur hukum. “Masyarakat selalu kalah dalam banyak hal. Masyarakat kemudian yang menjadi korban penggusuran, terusir dari tempat kelahirannya, tidak mendapat ganti rugi lahan, ditahan, kehilangan tanah, dan terputus dari akar budayanya,” papar Anton.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,