, ,

Dorong Implementasi MK 35, HuMa Siapkan 13 Model Penetapan Wilayah Adat

Mahkamah Konstitusi pada 16 Mei 2013, memutuskan, hutan adat bukan hutan negara. Namun, implementasi di lapangan seakan jalan di tempat. Untuk itu, Perkumpulan HuMa bersama mitra di daerah memilih 13 lokasi guna menjadi model proses penetapan wilayah adat. Pemilihan lokasi-lokasi ini lewat pengkajian dari berbagai aspek.

Andiko Sutan Mancahyo, direktur eksekutif Perkumpulan HuMA mengatakan, pemilihan ke-13 wilayah adat itu dengan beberapa kriteria. Antara lain, masyarakat adat ada, yang mengelola dengan kelembagaan dan aturan masih kuat masih ada, ada kemungkinan dukungan pemerintah setempat dan keinginan kuat masyarakat memperkuat wilayah mereka. Kriteria lain, daerah yang sebenarnya sudah memiliki peraturan daerah tetapi tak implementatif, contoh di Aceh dan Morowali.

Kondisi wilayah adat yang menjadi modelpun, kata Andiko, beragam dari yang tak terbebani izin sampai yang berkonflik. “Ada perusahaan di sana, baik aktif dan tidak. Itu bisa jadi tempat pembelajaran resolusi konflik,” katanya di Jakarta, Jumat (26/9/14).

Namun yang pasti, pada wilayah adat itu mereka memanfaatkan hutan sebagai sumber ekonomi dengan tetap lestari. Bahkan, dari kearifan masyarakat adat menjaga hutan ini memberikan manfaat pada masyarakat luas. Satu contoh, pasokan air bersih buat warga kota dari hutan adat yang terjaga.

Andiko mengatakan, penetapan wilayah adat (hutan adat—bagian dari wilayah adat) sangat penting. “Tapi sampai saat ini dari pemerintah ga ada jawaban pasti.” Yang diinginkan masyarakat adat itu, katanya, wilayah adat dengan otoritas mereka, di dalamnya ada hutan adat dan peruntukan lain. Mereka perlu pengakuan hak. Sementara di lapangan lahan-lahan itu banyak sudah ada izin dan fungsi-fungsi lain.

Microsoft Word - Document4

“Perizinan tanpa persetujuan mereka. Lalu, putusan MK datang. Semua jadi kebingungan.”

Untuk itu, kata Andiko, HuMa ingin menunjukkan bagaimana putusan MK secara teknis bekerja di lapangan hingga wilayah (hutan) adat diakui. Model ini, bisa menjadi contoh bagi pemerintah ke depan, Joko Widodo-Jusuf Kalla, dalam mengimplementasikan pengakuan hak masyarakat adat seperti tertuang dalam visi misi mereka.

Widiyanto, peneliti dari Perkumpulan HuMA mengatakan, dari hasil analisis mereka mengerucut pada peran penting daerah dalam proses percepatan wilayah adat, sebagai bagian dari pengakuan hukum yang sudah ada. Dari sana, HuMA mendapatkan 13 lokasi yang akan didorong menjadi model bagaimana implementasi putusan MK 35.

Di beberapa daerah, sebenarnya sudah ada pengakuan lewat perda, misal di Aceh qanun tentang mukim, di Sumatera Barat perda tentang nagari. “Ini akan dikuatkan agar implementatif ke penetapan wilayah adat.”

Padahal, katanya, penetapan wilayah adat sebenarnya tak terlalu rumit. Tinggal, perlu komitmen Kementerian Dalam Negeri, Kehutanan dan pemerintah daerah dalam menyingkronkan percepatan masyarakat hukum adat. “Kalau stakeholder tak ketemu akan susah dapatkan kata sepakat dorong perda di tingkat daerah,” ujar dia.

Untuk menindaklanjuti proses wilayah adat itulah, pada 2 Oktober 2014 ini, HuMa, akan mengadakan dialog nasional dengan melibatkan berbagai pihak. “Mempertemukan gubernur, bupati, Kemenhut, akademisi dan peneliti sampai masyarakat adat dalam satu forum di Jakarta.”

Wilayah aday Muluy, salah satu yang juga akan menjadi model penetapan wilayah adat. Foto: HuMa
Wilayah aday Muluy, salah satu yang juga akan menjadi model penetapan wilayah adat. Foto: HuMa
Wilayah adat Kajang. Pemerintah daerah bersama-sama organisasi masyarakat sipil menyusun peraturan daerah mengenai masyarakat adat Kajang. Mudah-mudahan aturan ini bisa menjadi jalan pengakuan dan perlindungan hak adat. Foto: Wahyu Chandra
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,