Para Petani Penjaga Hutan Pamulukkang

Di banyak daerah, masyarakat yang tinggal di sekitar maupun di dalam hutan dan memanfaatkan hasil hutan kerab berhadapan dengan pemerintah maupun aparat. Namun, tidak bagi warga Desa Pamulukkang, Kecamatan Kalukku, Kabupaten Mamuju. Mereka bisa berkebun dengan leluasa, sekaligus menjaga hutan.

Irdan, warga desa itu berkebun seluas dua hektar di hutan Pamulukkang, terletak antara Gunung Tanete Kindo, Tandi Sero dan Betteng Batu, Mamuju, Sulawesi Barat.

Dia menikmati kemewahan beraktivitas leluasa, tanpa teror atau ancaman kriminalisasi dari Dinas Kehutanan,  ataupun kepolisian. Sejak 2008, Irdan dan sejumlah petani hutan mengelola hutan lestari melalui skema hutan hutan tanaman rakyat (HTR).

Ketika saya berkunjung, pertengahan September 2014, perjalanan dari pusat desa sekitar setengah jam. Jalan setapak  hanya bisa dilalui motor roda dua, sebagian berjalan kaki.

Kala itu, Irdan tampak sibuk mengaduk adonan gula aren di tungku. Dia berusaha menjaga api tetap menyala dan terkontrol.

Dia mempersilakan saya ke gubuk kecilnya. “Teman Pak Imran ya? Dari kemarin saya sudah diberitahu akan datang. Mari,” katanya ramah. Yang dimaksud Imran, adalah tenaga pendamping HTR yang mendampingi warga dan melatih pembibitan.

Gubuk terlihat tua, mungkin berumur puluhan tahun, tetapi masih kokoh. Di sekeliling kakao hampir panen berwarna kecoklatan. Ada juga durian, jati putih, kemiri, kopi, sawo dan puluhan pohon enau menjulang tinggi.

“Begini setiap hari, memelihara kebun kakao sambil menjaga api di tungku tetap menyala sampai gula siap dicetak,” katanya.

Dari kakao dia bisa memperoleh hasil 150 kg per panen dan dijual ke pengumpul Rp33.000  per kg. Berarti dia bisa memperoleh hasil hingga Rp4,9 juta per panen.

“Kalau dulu malah bisa sampai tiga kwintal atau 300 kg. Sekarang banyak hama. Banyak buah membatu kehitaman. Sekarang cuma bisa dapat satu setengah kwintal.”

Dari kemiri dan kopi, dia memperoleh hasil, meski hanya sedikit. Hasil kopi biasa lebih banyak memenuhi kebutuhan sendiri.

Selain mengandalkan hidup dari tanaman hasil hutan seperti kakao, kemiri dan kopi ini, Irdan membuat gula aren. Per hari, dia bisa membuat 10 bungkus gula aren. Di pengumpul, gula ini Rp5.500 per bungkus. Di pasaran, gula ini per bungkus mencapai Rp12.000.

“Menjelang Lebaran harga dari saya bisa Rp10.000 per bungkus. Jadi bisa hingga Rp110.000 per hari.”

Dari enau, manfaat cukup besar. Setiap hari dia bisa memperoleh cairan gula enau 30–40 liter. Dia bersemangat menanam lebih banyak enau di hutan itu. Dari sekitar 10 pohon, tiga dalam masa produktif.

Kakao,  salah satu sumber mata pencaharian utama masyarakat sekitar hutan Pamulukkang menghadapi masalah hama dan penyakit. Ia berdampak pada  produktivitas kakao turun drastis dalam beberapa tahun terakhir. Foto: Wahyu Chandra
Kakao, salah satu sumber mata pencaharian utama masyarakat sekitar hutan Pamulukkang menghadapi masalah hama dan penyakit. Ia berdampak pada produktivitas kakao turun drastis dalam beberapa tahun terakhir. Foto: Wahyu Chandra

Pekerjaan menanak gula terlihat sederhana ternyata memiliki proses cukup rumit. Perlu kedisiplinan mengatur besaran api dan proses pencampuran berbagai bahan pembentuk gula agar membeku sempurna. Otomatis, waktu Irdan lebih banyak untuk pembuatan gula dibanding kegiatan lain.

Untuk menghasilkan gula berkualitas baik dia punya cara tersendiri. Menurut Irdan, mencegah cairan tidak berubah menjadi alkohol, harus diberi bahan pengawet alami berupa  campuran nangka dan kapur. Setiap dirigen ukuran 10 liter, dicampur satu gelas pengawet ini.

Menurut dia, enau sebagai sumber bahan dasar pembuatan gula hanya bisa panen terus menerus selama sebulan. Setelah itu, harus menunggu sampai empat bulan. Selama penyadapan dia tidak bisa meninggalkan terlalu lama jika tak ingin kehilangan berliter-liter cairan enau.

align=”left”>Dia mengatakan, pengelolaan hutan lewat HTR ini memberi manfaat besar bagi petani-petani hutan sekitar. Hasil berbagai pohon mereka, baik bibit bantuan pemerintah atau pembibitan sendiri, bisa mereka nikmati. Dia mencontohkan, jati putih usia lima tahun silam sudah siap tebang buat keperluan sendiri.

“Jati putih itu cepat tumbuh. Saya biasa pakai untuk membangun rumah. Itu bisa ditebang asal ditanam sendiri,” katanya.

Di kebun itu, dia memiliki sekitar 30 jati putih usia lima tahun. Sejumlah bibit jati putih siap ditanam.

Meski dukungan pemerintah melalui HTR sudah berhenti, namun, dia terus menerima manfaat. “Dulu ada sekolah lapang pembibitan. Kita diajari membibit pohon-pohon tertentu, termasuk menstek kakao. Kalau ada waktu saya membibit sendiri. Itu di bawah rumah masih banyak bibit yang mau ditanam,” katanya. Dia menunjuk puluhan bibit tanaman di polibeg di bawah gubuk panggung.

Aktivitas berkebun di dalam hutan menjadi mata pencaharian utama warga. Kebun yang mereka olah ini warisan kakek nenek sejak puluhan tahun. Meski kini hanya mengelola hutan sekitar dua hektar, lahan kelola yang dia sebenarnya puluhan hektar.

“Hampir semua petani di sini punya puluhan bahkan ratusan hektar lahan, banyak yang sudah berpindah tangan. Termasuk untuk pembuatanBbandara Kalukku,” ujar dia.

Dari berbagai hasil hutan inilah Irdan menghidupi istri dan lima orang anak. Anak tertua kini kelas III SMP. Tak seperti petani hutan lain, dia tak memperbolehkan anak membantu, kecuali di hari-hari libur.

Di Desa Pammulukang, ada sejumlah kelompok tani hutan, termasuk Sikari Manangi, dimana Irdan menjadi sekretaris. Kelompok ini beranggotakan 27 petani dengan luasan lahan kelola bervariasi dari dua hingga 200 hektar.

Hutan tempat warga hidup dan bercocok tanam seraya menjaga hutan. Sayangnya, ancaman illegal logging malah datang dari luar. Foto: Wahyu Chandra
Hutan tempat warga hidup dan bercocok tanam seraya menjaga hutan. Sayangnya, ancaman illegal logging malah datang dari luar. Foto: Wahyu Chandra

Warga mengelola hutan dengan baik tetapi bukan berarti aman. Ancaman kerusakan hutan datang dari luar. Perusahaan-perusahaan kayu, mengintai hutan. Beberapa kasus illegal logging kerap ada di kawasan ini.

“Beberapa bulan lalu ada yang ditangkap karena logging. Sudah ditangani polisi, tapi mungkin sudah dilepas,” kata Irdan.

Ancaman lain dari rencana masuk sawit, meski terhenti karena kondisi tanah di hutan tidak cocok untuk tanaman itu.“Dulu ada rencana sawit besar-besaran. Tapi ndak cocok sawit di sini.”

Hutan Pamulukkang makin tergerus dengan makin gencar pembangunan di sekitar kawasan strategis karena dekat bandara.

Dari Kehutanan, selama ini mereka banyak mendapatkan pembinaan. Tak pernah ada upaya pengusiran warga. Mereka bahkan saling membantu dalam mengelola hutan agar lestari.

“Tak ada yang pernah ditangkap. Malah banyak dibantu.”

Menurut Awaluddin dari Sulawesi Community Foundation (SCF), lembaga yang banyak memfasilitasi pendampingan program kehutanan di Sulawesi, HTR salah satu skema kemitraan antara pemerintah dan masyarakat mulai didorong sejak 2008.

HTR adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun kelompok masyarakat guna meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi.  Dengan menerapkan silvikultur dalam menjamin kelestarian sumber daya hutan.

“Dalam HTR warga diberi hak kelola dengan syarat harus menanam dulu sebelum penebangan, bukan mengambil apa sudah ada. Tanaman pun bervariasi, misal sengon, jati, dan lain-lain.”

Berdasarkan data Dinas Kehutanan Sulbar 2013, di provinsi ini terdapat 32.860 hektar hutan pencadangan HTR, yang sudah mendapat izin baru 12,58% atau sekitar 4.223 hektar.

HTR ini menyasar masyarakat di dalam dan atau sekitar hutan, baik perorangan maupun kelompok masyarakat. Mereka mendapatkan izin pengelolaan hutan.

Irsan mengambil air aren/enau buat diproses menjadi gula. Foto: Wahyu Chandra
Irdan mengambil air aren/enau buat diproses menjadi gula. Foto: Wahyu Chandra
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,