,

Walhi Sumsel: Polisi Jangan Hanya Memburu Pelaku Pembakar Lahan. Kenapa?

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan meminta kepolisian jangan hanya fokus memburu pelaku pembakar lahan yang menyebabkan Sumatera Selatan diserang asap hingga saat ini.

“Jangan hanya fokus pada pelakunya. Kalau beranjak dari UU No.18 Tahun 2004 tentang perkebunan maupun UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, meskipun pelakunya tidak tertangkap, masih ada celah untuk melakukan proses hukum,” kata Direktur Walhi Sumsel Hadi Jatmiko, Rabu (08/10/2014).

Pasal 48 dan 49 UU No 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, melarang perusahaan perkebunan dalam membuka dan mengelola lahan perkebunan dengan cara membakar. Ancamannya maksimal 10 tahun penjara, dan denda maksimal Rp10 miliar. Untuk membuktikan ini mungkin butuh tersangka pelaku pembakaran yang tertangkap tangan. “Tapi, jika terbakar karena kelalaian, atau tidak ada pelakunya yang tertangkap, maka pihak perusahaan  tetap mendapatkan sanksi pidana penjara tiga tahun dan denda tiga miliar rupiah,” jelas Hadi.

Bila ada tersangka pembakaran yang tertangkap, juga dapat dikembangkan terhadap pihak yang memerintahkannya atau pihak yang mendapatkan keuntungan atau yang bertanggung jawab atas lahan yang terbakar. Ini sesuai pasal 119 ayat 1 dan 2 UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Tanggapan Hadi menanggapi Kapolres Ogan Ilir AKBP Asep Jajat Sudrajat SIk, melalui kasat Reskrim Iptu Dhafid Shiddiq di Inderalaya, Kabupaten Ogan Ilir (OI), seperti dikutip Sriwijaya Post yang menyatakan 90 persen kebakaran lahan di daerah tersebut sengaja dibakar sejumlah oknum yang tidak bertanggung jawab saat membuka lahan dengan cara dibakar. Mereka membakar tersebut untuk kepentingan pribadi maupun kepentingan perusahaan, Selasa (07/10/2014).

“Sampai saat ini belum ada tersangka pembakar lahan yang kita amankan. Karena memang sulit untuk mendapatkan siapa tersangka yang membakar lahan,” ujar Iptu Dhafid Shiddiq.

Lahan terbakar yang luasannya mencapai ratusan hektar tersebut, merupakan lahan gambut kering yang ada di sejumlah titik. Baik di jalur lintas Palembang-Inderalaya maupun Inderalaya-Prabumulih.

Saat ini kepolisian Ogan Ilir mensosialisasikan ancaman bagi mereka yang membakar hutan dan lahan dengan sengaja. “Ada tiga ancaman yang bisa kita berikan kepada pelaku pembakar lahan. Yakni UU yang terkait perkebunan, kehutanan, dan undang-undang lingkungan hidup,” ujarnya.

Seperti yang diberitakan sebelumnya, terkait kebakaran di Ogan Ilir maupun wilayah lainnya di Sumsel, Irjen Pol. Saud Nasution, Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Selatan, Jumat (26/09/2014) lalu, menjelaskan kian menebalnya kabut asap di Sumsel, seperti dirasakan di Palembang, diduga kuat akibat aktivitas sejumlah perusahaan perkebunan tebu. Saat panen, perusahaan disinyalir melakukan pembakaran, yang jumlahnya mencapai ratusan hektar.

Pembakaran saat panen tebu dilakukan untuk kebun tebu bakar. Panen tidak melakukan pembakaran pada kebun tebu hijau. “Tebu bakar inilah yang ditengarai menjadi penyebab asap di Sumsel, apalagi dilakukan saat musim kemarau seperti sekarang,” kata Saud.

Perusahaan-perusahaan tebu di Sumsel yang diduga melakukan pembakaran saat panen tebu, antara lain PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) VII di Kabupaten Ogan Ilir, PT. Laju Perdana Indah (LPI) di Kabupaten OKU Timur, dan PT. Pratama Nusantara Sakti (PNS) di Kabupaten OKI. Tambahnya, ada beberapa lahan perkebunan milik masyarakat yang dilakukan pembakaran.

Saud menjelaskan, pihaknya telah menetapkan tujuh karyawan perusahaan perkebunan sebagai tersangka pembakar lahan. Kasusnya tengah didalami sebelum dilimpahkan ke kejaksaan.

Sebagian lahan terbakar diduga “lahan terlantar”

Anwar Sadat, Ketua Serikat Petani Sriwijaya (SPS), menduga sebagian besar lahan yang terbakar di sepanjang Jalan Raya Palembang-Inderalaya merupakan “lahan terlantar” alias mempunyai pemilik tapi tidak dimanfaatkan.

Oleh karena itu, pemerintah Sumatera Selatan harus menguji PP Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar terhadap lahan yang setiap tahun selalu mengalami kebakaran tersebut. “Puluhan tahun lahan di sana terlantar. Semua orang tahu, apalagi lokasi berada di sepanjang jalan raya Palembang-Inderalaya, yang dapat dilihat siapa pun setiap hari,” ujar Sadat.

“Jika memang lahan tersebut tidak mampu dimanfaatkan oleh pemiliknya, baik perorangan maupun pemerintah, sesuai Pasal 3 PP No 11/2010, maka sebaiknya didistribusikan kepada masyarakat khususnya petani sehingga bermanfaat. Menghasilkan pangan, penghijauan terjadi, dan menjaga emisi karbon sebab sebagian lahan merupakan rawa gambut,” ujarnya.

Memanfaatkan lahan terlantar memiliki sejumlah proses. Pertama, tentunya memverifikasi lahan tersebut sebagai lahan terlantar. Ini dilakukan Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Apabila lahan tersebut benar terlantar, maka langkah kedua adalah memberikan peringatan terhadap para pemiliknya. Peringatan dilakukan sebanyak tiga kali dengan jangka waktu setiap peringatan sebulan. “Jika peringatan tersebut tidak diindahkan, ya pemerintah dapat menetapkannya sebagai tanah terlantar,” ujar Sadat.

Ketiga, tanah terlantar tersebut dapat dimanfaatkan  untuk kepentingan masyarakat dan negara melalui reforma agraria dan program strategis negara serta untuk cadangan negara lainnya. “Tapi, sebaiknya diberikan kepada para petani. Sebab banyak petani di Sumsel tidak memiliki lahan. Kalau dikelola para petani, selain meningkatkan kesejahteraan rakyat, juga sepanjang jalan itu menjadi hijau, dan kebakaran lahan setiap tahun tersebut akan berkurang atau tidak akan terjadi lagi,” ujarnya.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,