,

Soal Dampak Pilkada via DPRD bagi Lingkungan, Inilah Suara dari Daerah

Pemilihan kepala daerah bakal kembali ke masa lalu, lewat DPRD. Suara-suara pun datang dari berbagai daerah menyikapi sistem baru yang memenggal suara rakyat ini. Mereka mengkritisi pilkada tak langsung ini bakal mengancam perlindungan lingkungan hidup. Berikut alasan mereka.

Dari Sumatera Selatan, Dr. Tarech Rasyid, pakar lingkungan dan politik dari Universitas Ida Bajumi (IBA) Palembang memprediksi jika pilkada oleh dewan akan meningkatkan korupsi lingkungan hidup. Mengapa?

Pertama, sebagian besar anggota DPRD lemah pengetahuan maupun keberpihakan pada lingkungan hidup. “Sebagian besar justru diduga pelaku bisnis perusak lingkungan hidup, seperti perkebunan, pertambangan, maupun properti,” katanya, Kamis (9/10/14).

Kedua, dengan sistem ini, anggota dewan akan patuh pada partai politik bukan suara rakyat. “Apapun usulan maupun protes rakyat akan kalah jika tidak sesuai keinginan parpol. Banyak pimpinan parpol pebisnis perusak lingkungan hidup.”

Dengan dua fakta itu, kepala daerah seperti walikota maupun bupati jelas memiliki irisan dengan yang menghidupi atau memfasilitasi para anggota dewan terkait bisnis pertambangan, perkebunan maupun properti.

“Deal politik bukan dana cash, tapi perizinan terkait eksplorasi sumber daya alam. Korupsi jauh lebih canggih, lebih memiliki dasar hukum. Banyak korupsi, tapi sulit menangkap tangan para pelaku,” ucap Tarech.

Jadi, katanya, pilkada via DPRD memberikan peluang lebih besar terhadap kehancuran lingkungan hidup Indonesia. Apa yang harus dilakukan pemerintahan Jokowi-JK?

Pertama, dia harus memilih menteri profesional dan memiliki moral baik terhadap rakyat dan lingkungan hidup. “Jangan melemah atau berkompromi terhadap tekanan politik ini.”

Kedua, pemerintahan Jokowi-JK harus fokus pada agenda pembangunan untuk kepentingan rakyat, terutama masyarakat tani. “Jika ada perlawanan dari DPRD, pemerintahan Jokowi-JK akan mendapat dukungan rakyat. Lebih kuat rakyat atau anggota dewan? Kan rakyat.”

Ketiga, pemerintahan Jokowi-JK harus memperkuat posisi militer, menjadi lebih profesional dan tetap setia pada rakyat sebagai tulang punggung negara. “Saat terjadi ketegangan politik, militer setia pada kepentingan rakyat dan negara, bukan kepentingan pelaku ekonomi.”

Peradaban Indonesia terancam

Nurhayat Arief Permana, pekerja budaya Palembang, menilai bukan hanya SDA akan rusak dan habis akibat deal politik suksesi kepala daerah, juga budaya dan manusia terancam.

“Jika SDA habis dan rusak, jelas masyarakat yang hidup di sekitarnya akan hancur bersama kebudayaan. Seperti keberadaan masyarakat adat.”

Jika itu berlangsung cepat dan meluas, bukan tidak mungkin peradaban luhur Indonesia yang masih tersisa dan bertahan segera lenyap. “Indonesia akan seperti Afrika dan sebagian Amerika Latin hari ini. Peradaban luhur beratus tahun lalu membangun mereka, habis karena eksploitasi SDA.”

Arief berharap, anggota dewan dibukakan hati dan pikiran. “Mereka harus sadar, mereka dikendalikan kekuatan tertentu yang menggunakan pakaian nasionalisme, sebenarnya neokolonialisme. Bicara atas nama rakyat, tapi bertujuan membunuh rakyat secara sistematis. Anggota dewan harus membayangkan eksistensi mereka ke depan, apakah akan dikenang sebagai manusia mulia atau manusia jahat?”

Intinya, dia bukan mempermasalahkan pemilihan langsung atau tidak. “Saya tidak percaya dengan parpol dan anggota dewan. Mereka bukan dilahirkan oleh kepentingan rakyat, tapi kekuatan ekonomi yang selama ini menggerogoti SDA.”

Kuburan milik keluarga Tarang di tengah jalan milik perkebunan di Kalteng. tanah masyarakat terampas menjadi perkebunan sawit. Kala, pilkada via DPRD, ikatan antara DPRD, kepala daerah dan pengusaha bisa makin erat lewat politik transaksional yang makin menguat. Kehidupan masyarakat adat bisa makin terancam. Foto: Walhi Kalteng

Dari Sulawesi Utara, penolakan terhadap UU pilkada hadir dari sejumlah kalangan. Hilangnya kontrak politik antara masyarakat dengan kandidat kepala daerah membuat UU ini berpotensi menghadirkan pemimpin-pemimpin tidak pro lingkungan hidup dan hak-hak masyarakat adat.

Terlebih di DPRD Sulut,  yang berwawasan lingkungan hidup, mungkin kurang 10%. Jumlah itupun, tidak memiliki kekuatan politis dalam menekan kebijakan-kebijakan yang mendapat dukungan mayoritas.

Dampaknya, pilkada lewat DPRD bisa melahirkan pemimpin-pemimpin tidak pro lingkungan hidup.

Rignolda Djamaluddin, ketua Asosiasi Nelayan Tradisional (Antra) Sulut mengatakan, anggota dewan mendukung penolakan reklamasi sedikit, menyebabkan DPRD banyak bersikap diam.

“Saya menduga, dengan UU pilkada ini eksekusi kasus reklamasi Sario Tumpaan, makin melemah. Padahal, beberapa saat lalu, Walikota Manado bersepakat dengan masyarakat dan pengembang segera menyelesaikan konflik reklamasi ini.”

Berdasarkan pengalaman, katanya, peran besar dalam perlindungan dan advokasi lingkungan hidup justru dimainkan masyarakat, baik individu, komunitas, masyarakat adat maupun civil society. Yang menjadi target kekuatan memaksa atau kekuatan advokasi justru masyarakat berhadapan dengan eksekutif.

“Dalam sejumlah kasus, masyarakat terorganisir dapat memaksa eksekutif berpartisipasi bahkan bertanggungjawab dalam perlindungan lingkungan hidup.”

Sebab, masyarakat sebagai pemilih memiliki hubungan dengan kepala daerah bersifat saling memerlukan. Ketika suara masyarakat diwakili DPRD, kepala daerah cenderung berhubungan dengan legislatif ketimbang masyarakat.

“Hak pilih yang diwakilkan pada anggota dewan berpotensi membuat masyarakat tidak lagi menjadi investasi sosial dan politik oleh pemerintah. Justru kembali menjadi obyek pembangunan, karena menjadi kepala daerah tidak perlu berhubungan dengan masyarakat,” kata pengajar Fakultas Ilmu Perikanan dan Kelautan Universitas Sam Ratulangi Manado ini.

Padahal, katanya, dukung-mendukung terhadap pemimpin sangat berhubungan dengan kepentingan masyarakat secara langsung, termasuk dalam aspek lingkungan hidup.

Persoalan lain muncul dari ketidakpercayaan masyarakat pada mayoritas anggota legislatif. Selama ini, advokasi lingkungan hidup yang dibawa ke DPRD sering berujung ketidakjelasan. Paling jauh menghasilkan rekomendasi yang tidak bisa memaksa eksekutor dan perusak lingkungan bertanggung-jawab.

“Kita tidak bisa menunggu eksekutif maupun legislatif sadar.”

Berdasarkan pengalaman, mereka cenderung mengeksploitasi SDA. Bahkan, hampir di seluruh Indonesia, eksekutif maupun legislatif cenderung eksploitatif. “Masih banyak tidak pro lingkungan hidup. Potensinya, lingkungan hidup tidak jadi isu strategis karena tidak memiliki nilai-nilai transaksi.”

Matulandi Supit, ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulut, mengatakan, kemajuan demokrasi Indonesia bisa dilihat dari keterlibatan masyarakat langsung. Mewakilkan hak pilih kepada anggota legislatif dinilai tindakan kurang tepat. Sejauh ini, mayoritas anggota dewan tidak begitu memahami hak-hak masyarakat adat.

“Selama 69 tahun hak masyarakat adat tidak menjadi prioritas. Anggota parleman banyak tidak paham soal eksistensi dan hak-hak masyarakat adat.”

Masalah lain, perbedaan persepsi antara masyarakat dengan anggota legislatif soal kandidat kepala daerah. Pengamatan Matulandi, begitu banyak parpol terfokus pada sudut pandang kapitalistik.

“Bagaimana masyarakat harus mewakilkan hak pilih kepada anggota legislatif, yang banyak mengeksploitasi SDA dan merampas hak-hak masyarakat adat?”

Kekhawatiran serupa juga disampaikan Maria Taramen, ketua Kaum Muda Pecinta Alam (KMPA) Tunas Hijau. Sistem rekruitmen dan kaderisasi politik yang tidak jelas di sejumlah partai diduga menghasilkan anggota legislatif tidak memiliki keberpihakan pada permasalahan lingkungan.

“Tak jelasnya sistem kaderisasi politik di banyak parpol, memunculkan tokoh-tokoh berduit, anak, istri dan keluarga pejabat. Korupsi, kolusi dan nepotisme begitu nampak dalam sebagian besar partai politik.”

Permasalahan ini, kata Maria, berdampak pada kepala daerah pilihan anggota-anggota legislatif itu. “Misal, di Minahasa Utara, hanya 5% b anggota dewan memiliki wawasan lingkungan.”

Jika dikaitkan penolakan tambang di Pulau Bangka, anggota dewan tidak punya kekuatan mengontrol kebijakan eksekutif. Malahan, DPRD memberi dukungan kepada perusahaan tambang yang berpotensi menggusur hak hidup masyarakat.

Menurut dia, sudah empat tahun perjuangan warga Bangka, kemudian menang sampai Mahkamah Agung, tetapi DPRD Minahasa Utara masih bilang mempelajari kasus itu. “DPRD Sulut justru memberi dukungan MMP dengan alasan peningkatan ekonomi daerah.”

Sementara suara dari Palu, Sulawesi Tengah, Ahmad Pelor, direktur Walhi Sulteng mengatakan, ancaman kerusakan lingkungan akan makin buruk jika pilkada lewat DPRD.

Dengan pemilihan oleh DPRD bisa memastikan politik transaksional antara calon kepala daerah dengan para anggota legislatif makin menguat. Kondisi ini, memberikan konsekensi kebijakan yang lahir penuh transaksional.

“Tentu susah berharap ada kebijakan pembangunan memperhatikan situasi lingkungan atau daya dukung dan daya dukung lingkungan,” kata Pelor, Minggu (12/10/14).

Tak hanya itu, ruang partisipasi rakyat memilih pemimpin diambil alih sekelompok politisi. Hal ini otomatis mendelegitimasi hak rakyat mengontrol kebijakan yang dikeluarkan pemerintahan.

“Kesimpulannya, saya memprediksikan kondisi lingkungan ke depan terancam memburuk dengan mekanisme ini.”

Massa pengunjuk rasa tuntut Murad Husain ditangkap dan meminta Eva Bande dibebaskan. Pilkada via DPRD berpotensi melemahkan suara-suara rakyat. Karena kepala daerah bakal lebih mendengarkan kata parpol daripada kata rakyat. Foto: Walhi Sulteng

Di Gorontalo, aktivis lingkungan, Rahman Dako mengatakan, potensi kerusakan lingkungan relatif meningkat karena bupati dipilih DPRD lebih gampang membuat kebijakan tidak berpihak pada keadilan lingkungan.

“Karena kebijakan-kebijakan lahir nanti cenderung Ok dengan DPRD tanpa perlawanan berarti.”

Namun, pilkada langsungpun tetap memiliki kecenderungan kerusakan karena banyak faktor, antara lain kesadaran pemerintah dan masyarakat kurang serta penegakan hukum lemah.

Menurut Anshar Akuba, anggota DPRD Gorontalo dari Gerindra, pilkada langsung maupun lewat DPRD tidak ada beda, tetap transaksional. Yang diperlukan, pemerintah komitmen menjalankan kebijakan.

Dia mencontohkan, Gorontalo sedang sosialisasi UU Panas Bumi, karena daerah itu memiliki potensi panas bumi sangat besar. Namun, UU ini tidak lagi melihat hutan yang diatur UU Kehutanan.

“Aturan-aturan seperti ini sering baku tabrak, jadi perlu komitmen pemerintah.”

Ancam perlindungan hak masyarakat adat

Sedang dari Kalimantan Tengah, direktur eksekutif Walhi Kalteng Arie Rompas mengatakan, pilkada melalui DPRD mengancam kedaulatan masyarakat adat. Sebab, oligarki partai cenderung mementingkan kepentingan ekonomi dan kekuasaan hingga mengancam eksistensi masyarakat adat.

“Mereka akan dikontrol melalui kebijakan transaksional. Ancaman nyata DPRD akan menggunakan kewenangan menghambat pengakuan masyarakat hukum adat melalui perda yang diperintahkan UU.”

Perlindungan lingkunganpun terancam jika pilkada melalui DPRD. Pengusaha perusak lingkungan mudah menyogok anggota dewan karena pengawasan lemah.

Guna mengimbangi ini, pengawasan rakyat  harus kuat. Bisa dengan menggugat hukum maupun memobilisasi masyarakat mendesak perubahan kebijakan.

Senada disampaikan direktur eksekutif Mitra Lingkungan Hidup Kalteng, Kussaritano. Pilkada melalui DPRD akan makin memperburuk langkah penyelamatan lingkungan hidup. Karena anggota DPRD minim pengetahuan lingkungan hidup berkelanjutan.

“Banyak anggota DPRD mantan kepala daerah. Boro-boro bicara lingkungan hidup, di otak mereka pasti bagaimana mengamankan berbagai perizinan yang telah diterbitkan. Anggota DPRD dan DPR terpilih dari dapil Kalimantan banyak mantan kepala daerah.”

Pilkada via DPRD, katanya, memungkinkan kongkalikong antara calon dengan anggota dewan. “Atau bisa jadi tambang dan kebun akan jadi mahar politik.”

Sistem pilkada ini, akan melemahkan pengakuan masyarakat adat. Pilkada oleh DPRD, tidak ada yang gratis. “Pemimpin yang terpilih bisa saja bukan figur dikehendaki rakyat.  Sekaligus menjadi ancaman bagi calon independen yang diusung rakyat.”

Happy Hendrawan, peneliti dari Swandiri Institute di Kalimantan Barat juga angkat bicara. Dia mengatakan, pilkada lewat DPRD berpeluang pembiayaan politik menguras SDA makin marak.

SDA, katanya, menjadi lahan empuk sebagai pembiayaan parpol.  Elit politik mencoba memenangkan pilkada sebagai upaya lain menguasai konsesi SDA. “Bahkan, menjadi modus operandi korupsi baru dengan pelepasan lahan. Terutama daerah-daerah yang mempunyai potensi SDA,” kata Happy.

DPRD,  melegitimasi diri dengan mengklaim sebagai pengemban suara rakyat. Khawatir malah sebaliknya, mereka mengutamakan kepentingan perorangan atau golongan menekan birokrat dalam mengambil kebijakan seperti di era Orde Baru.

Menurut dia, terjadi pengkhianatan oleh parpol bentukan reformasi yang mendukung pilkada melalui DPRD. “Pengambilan kebijakan hanya oleh tiga komponen saja, broker, birokrasi dan politisi. Dapat dipastikan, hak-hak masyarakat adat yang selama ini diperjuangkan akan diamputasi.”

Agus Sutomo, direktur Link-AR Borneo, menambahkan, pilkada tak langsung menutup ruang demokrasi yang 10 tahun sudah lebih baik. Berkaca pengalaman masa lalu, ruang demokrasi bagi masyarakat menuntut eksekutif lebih susah. “Karena DPR sebagai pengambil kebijakan, bupati sudah pasti dikendalikan. Tidak akan ada regulasi berpihak masyakat adat dan tani.”

Tomo menilai, UU ini kemunduran proses demokrasi. Dia tidak yakin, anggota legislatif bisa menjadi jembatan bagi suara masyarakat seperti tugas pokok dan fungsi mereka.

Dia sedih, masyarakat adat dan kaum tani hanya label demokrasi dan menjadi dagangan politik sesaat, kemudian terseok-seok membela diri menuntut hak mereka. “Benar-benar menistakan demokrasi rakyat yang sudah berdarah-darah diperjuangkan,” katanya.

Belum lagi, jika pilkada via DPRD,  kongkalikong antara investor, dewan dan pemerintah makin kuat. Kalbar, salah satu daerah tempat investasi berbasis hutan dan lahan seperti perkebunan sawit, usaha kehutanan dan pertambangan.

Data Policy Brief ‘Tata Ruang untuk Kepentingan Siapa?’, oleh Swandiri Institute (2014), menyebutkan data mengejutkan. Fakta, 19.427.173,09 hektar atau 130% wilayah daratan Kalbar, terbagi pada tiga investasi industri ekstraktif. Dari 14.915.966 hektar luas daratan Kalbar, sawit 4.962.022 hektar (33%), IUPHHK-HA 2.808.902 hektar (19%), IUPHHK-HT 6.581.911 hektar (44%), serta konsesi pertambangan 5.074.338 hektar (34%).

Dengan pilkada via DPRD potensi pelanggaran hak-hak masyarakat atas akses terhadap SDA berpotensi makin tinggi. Sumber: HuMa (2012)
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,