, ,

Giant Sea Wall, Berikut Dampak bagi Lingkungan dan Nelayan

Giant sea wall atau tanggul laut raksasa Jakarta, rencana pembangunan yang masuk proyek masterplan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia (MP3EI) ini sudah memulai babak awal alias ground breaking pada 9 Oktober 2014. Namun, berbagai kalangan khawatir, proyek ini bakal mengancam ekosistem dan ribuan nelayan sekitar. Terlebih, proyek ini belum mengantongi berbagai kajian lingkungan.

“Kiara sudah pemetaan cepat terhadap dampak giant sea wall bagi lingkungan hidup dan warga secara ekonomi sosial dan budaya,” kata

Selamet Daroyni Koordinator Pendidikan dan Jaringan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) kepada Mongabay, Rabu (15/10/14) di Jakarta. Kiara, bersama Kesatuan Nelayan Tradisonal Indonesia (KNTI) Jakarta dan KruHA pada 15 Oktober 2014, aksi di Jakarta menolak pembangunan proyek ini.

Pembangunan tanggul proyek ini sepanjang 37-40 km mulai dari Bekasi hingga Tangerang ini dibagi ke dalam tiga fase. Fase pertama, target selesai 2017, kedua, selesai 2030, dan ketiga mulai setelah 2030. Sea wall yang diperkiraan menelan investasi Rp600 triliun ini dikemas Pemerintah Jakarta sebagai Jakarta coastal defense strategy (JCDS). Pemerintah pusat bernama national capital integrated coastal defense (NCICD).

Proyek ini, katanya,  menyalahi peraturan perundang-undangan karena tidak berbasis kajian lingkungan hidup strategis (KLHS), Amdal dan izin lingkungan. “Tapi tiba-tiba 9 Oktober 2014 sudah ground breaking?

Selamet mengatakan, Kiara pernah mengikuti diskusi diselenggarakan oleh Rujak Center (hadir dari Kementerian Perekonomian) dan DNPI. “Kami pertanyakan landasan mendasar tentang pilihan giant sea wall. Kita tanyakan KLHS. Jawaban tidak jelas. Kita tanya dokumen perencanaan, jawaban tidak masuk akal, alasan terlalu tebal mau dibagi.”

Pada pertemuan di Bappeda Jakarta, Kiara juga mempertanyakan apakah giant sea wall bisa menjamin daya dukung lingkungan makin baik? “Mereka tidak bisa menjawab.”

Dia mengatakan, dari komunikasi Kiara dengan empat komunitas nelayan Jakarta yaitu Muara Angke, Muara Baru, Cilincing dan Maruda mengatakan tidak pernah tahu ada rencana proyek ini.

“Belajar dari reklamasi Pantai Teluk Jakarta yang menggusur sekitar .579 keluarga, nelayan berkeyakinan proyek ini akan menggusur lebih besar lagi,” ujar dia.

Data Kiara menyebutkan, sedikitnya 16.855 keluarga nelayan bakal terusir bila giant sea wall dibangun. Sampai saat ini, tak ada perencanaan pemerintah mengenai nasib nelayan. Solusi alternatif merelokasi nelayan ke rumah susun sama sekali tidak sesuai. “Jika Teluk Jakarta dibendung, kemana nelayan akan mencari ikan?”

Abdul Halim, sekjen Kiara menilai, proyek ini sangat merusak ekosistem pesisir Teluk Jakarta. Kerusakan hutan mangrove dan terumbu karang akan menyebabkan bencana ekologis lebih besar. Antara lain ikan di perairan utara Jakarta hilang, mengurangi potensi pariwisata bahari karena laut rusak, abrasi di pesisir Teluk Banten maupun Pantai utara Jawa karena tambang pasir untuk pembuatan pulau buatan.

Siapa yang diuntungkan dari proyek ini? Dari analisis Kiara, mega proyek dengan dana ratusan triliun ini sebagian besar pendanaan dari swasta. Jadi, bisa dipastikan proyek ini berpihak pada pengusaha. Apalagi, biaya reklamasi atau membuat pulau buatan lebih murah daripada pembebasan lahan di daratan Jakarta. “Proyek ini juga terindikasi hanya melindungi properti yang dibangun di pesisir utara Jakarta,” ujar dia.

Nelayan-nelayan di Teluk Jakarta, seperti mereka inilah yang bakal terdampak pembangunan giant sea wall. Foto: Sapariah Saturi
Nelayan-nelayan di Teluk Jakarta, seperti mereka inilah yang bakal terdampak pembangunan giant sea wall. Foto: Sapariah Saturi

Solusi atasi banjir?

Kiara menyatakan, mengatasi banjir Jakarta bukan membangun tanggul laut, tetapi memperbaiki tata ruang Jakarta dan kota di sekitar. Lebih baik memperbaiki hulu 13 sungai daripada membendung di hilir (Teluk Jakarta). Bendungan raksasa memungkinkan menjadi “comberan raksasa” daripada wadah penyedia bahan baku air minum.

Halim mengatakan, proyek yang menggunakan jasa konsultasi dan pinjaman utang luar negeri Belanda ini didasarkan pada kemampuan Kota Rotterdam mengatasi banjir. Jadi, perlu diperhatikan kondisi Belanda dan Indonesia sama sekali berbeda. “Tidak semua pendekatan yang di negara maju akan bermanfaat di sini. Belanda berada di kawasan sub-tropis tentu karakteristik pesisir tidak sama dengan Indonesia di perairan tropis.”

Menurut dia, nilai ekologis, ekonomis dan sosial ekosistem pesisir sub-tropis tidak setinggi nilai ekosistem pesisir tropis. Untuk itu, pendekatan reklamasi dan pembangunan tembok raksasa di Teluk Jakarta menjadi tidak relevan dan lemah secara argumentasi ketika harus mengorbankan ekosistem pesisir.

Pandangan Muslim Muin, PhD, ketua Kelompok Keahlian Teknik Kelautan ITB tahun lalu dalam website ITB menyatakan, proyek ini bukan solusi banjir dan penurunan tanah di Jakarta. Jika diteliti, proyek ini justru akan membawa kerugian.

Dia mengatakan, Jakarta tak perlu membangun Giant Sea Wall karena mahal plus biaya operasional belum dihitung. Dampak giant sea wall malah memperparah banjir di Jakarta, merusak lingkungan laut Teluk Jakarta, mempercepat pendangkalan sungai, mengancam sektor perikanan lokal, dan menyebabkan permasalahan sosial.

Menurut dia, giant sea wall akan menyebabkan kecepatan air sungai berkurang akibat muka air jauh (titik terendah untuk mengalirkan air). Debit sungai,  adalah perkalian antara kecepatan air dan luas penampang sungai, jika kecepatan air menurun mau tak mau luas penampang suang harus diperbesar. Padahal, ada 13 sungai bermuara di Teluk Jakarta. Jadi, bisa diperkirakan debit air tidak sedikit.

Masalah ini, kata Muslim, hampir tidak mungkin diselesaikan dengan menambah lebar sungai (karena pemukiman dan lain-lain). Cara yang bisa dilakukan dengan mengeruk sungai untuk mengurangi laju sedimentasi. Jika pengerukan sungai tidak rutin akan terjadi banjir.

Dia juga mempertanyakan biaya operasional dalam proses pengaliran air sungai untuk menurunkan muka air. Sebab, perlu pompa besar untuk mengalirkan air dari Jakarta ke daerah bagian dalam Teluk Jakarta. “ Ini membutuhkan biaya tidak sedikit agar menyala selama 24 jam nonstop.”

Muslim memperkirakan, biaya untuk pompa ini Rp300 miliar setiap tahun dalam keadaan normal. Belum lagi, ketika debit air membesar kala banjir, kebutuhan daya pompa tentu membengkak.

“Salah satu solusi alternatif dengan menjalankan konsep river dike, seperti disampaikan Muslim Muin,” ucap Halim. 

Microsoft Word - Document1

Korbankan perempuan nelayan

Dari siaran pers bersama Kiara dan KNTI Jakarta, menyebutkan, proyek GSW ini akan mengorbankan perempuan nelayan yang selama ini menjadi tulang punggung keluarga. Jika proyek tak berpihak pada nelayan dilanjutkan, berbagai dampak sangat mungkin menjadi kenyataan.

“Sumber daya ikan hilang di pesisir membuat nelayan harus melaut jauh dari pantai hingga memakan biaya sangat tinggi. Ini sangat berisiko dalam keselamatan melaut,” ucap Halim.

Kondisi tambah parah, kala belum ada skema asuransi nelayan membuat perempuan nelayan menanggung semua dampak buruk jika kecelakaan laut terjadi. “Ekonomi masyarakat nelayan yang sudah memprihatinkan akan membuat perempuan nelayan makin menderita.”

Selama ini, perempuan nelayan ikut membantu mengolah ikan secara tradisional. Pemerintah, masih belum berpihak dan memberikan perhatian pada perempuan nelayan walau hanya lewat pemberian kemudahan akses modal usaha.

Belum jelas jangan jalan

Kuntoro Mangkusubroto, kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) mengatakan, dari informasi yang diperoleh dia belum melihat studi terintegrasi dari proyek giant sea wall ini. “Kita perlu tunggu terlebih dahulu itu semua sebelum ini diputuskan,” katanya, pekan lalu.

Menurut dia, kurang tepat bila melakukan sesuatu tanpa kajian mendalam dalam banyak hal. “Misal, subduksi atau menurunnya tanah di DKI ini bagaimana sih? Akibat perubahan iklim ini kenaikan air laut itu bagaimna sih? Akibat penggundulan hutan di hulu Sungai Ciliwung Cisadane itu efeknya apa sih pada aliran sungai?”

Kata Kuntoro, jika belum belum bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan ini apakah giant sea wall itu bisa menjawab persoalan utama? “Saya kira hal-hal ini (jawaban beragam pertanyaan itu) harus ada dulu, sebelum kita mengambil langkah tepat untuk masalah ini.”

Peninggian tanggul

Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, Wakil Gubernur Jakarta membenarkan jika proyek giant sea wall belum memiliki Amdal. Namun, kata Ahok, Pemerintah Jakarta masih fokus NCICD tipe A, yaitu peninggian tanggul dan pompa.

Dikutip dari actual.co, pengerjaan Tipe A ini tidak perlu mengantongi Amdal karena hanya memperkuat tanggul.  “Cuma memperkuat tanggul aja. Kalau ngga diberi tanggul sudah roboh kan ,8 meter di bawah permukaan laut. Jadi kita hanya mau memperkuat tanggul yang ada saja,” katanya. Ketika sudah ke Tipe B, baru harus ada Amdal. Dia sendiri belum tahu kapan tahap tipe B karena baru pembahasan dan pengkajian tim di Pemerintah Jakarta.

Bagaimana mengenai pembuatan 17 pulau dari reklamasi pantai? “Jadi 17 pulau ini sudah keluar izin sejak zaman Pak Fauzi Bowo,” kata Basuki Tjahaja Purnama, Wakil Gubernur Jakarta, Maret 2013,  dikutip dari Ahok.org.

Saat ini Teluk Jakarta telah terkontaminasi. Melalui reklamasi pantai, dia yakin bisa mengatasi pencemaran.

Guna mewujudkan pembuatan 17 pulau, kata Basuki, harus melalui proses Amdal dan pengkajian lain. Penjualan tanah hasil reklamasi pantai, katanya,  bukan hanya merapikan area giant sea wall, juga membangun pengelolaan air limbah di daratan. Bahkan, proyek monorel dapat menggunakan hasil penjualan reklamasi pantai itu.

Pembangunan itupun tidak menggunakan dana APBD. “Proyek ini tidak ada kepentingan politik sama sekali.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,