Duh! PT. Arun Bubar, Lahan Warga Belum Dibayar

PT. Arun NGL (Natural Gas Liquefaction), perusahaan gas alam cair yang berlokasi di Blang Lancang, Lhokseumawe, Aceh, ini telah mengapalkan gas alam cair terakhirnya dengan tujuan Korea Selatan, Rabu (15/10/2014). Selanjutnya, perusahaan berumur 36 tahun ini akan bubar. Fasilitas perusahaan tersebut nantinya diambil alih pemerintah yang rencananya akan dijadikan terminasi gas untuk kebutuhan lokal.

Meski perusahaan yang sahamnya dimiliki Pertamina (55 persen), ExxonMobil (30 persen) dan JILCO (15 persen) ini bubar, namun, warga yang pernah terusir dari kampungnya saat perusahaan tersebut dibangun, sampai saat ini belum pernah mendapatkan ganti rugi.

Penderitaan warga bermula saat ladang gas ditemukan pada 18 November 1971. Setelah itu, mega proyek pengeboran gas alam cair (liquefied natural gas) mulai direncanakan dan PT. Arun pun didirikan pada 16 Maret 1974 yang peresmiannya dilakukan Presiden Soeharto pada 19 September 1978, kala itu. Ekspor gas pertama kalinya ke Jepang pada 14 Oktober 1978.

Saat PT. Arun berdiri, ratusan hektar tanah warga di Desa Blang Lancang dan Rancong, Kota Lhokseumawe, diambil alih karena masuk areal pembangunan perusahaan. “Sekitar 542 Kepala Keluarga (KK) dijanjikan pemerintah akan mendapatkan tanah baru untuk perkampungan. Tapi, hingga gasnya habis, janji itu tidak pernah dipenuhi,” ujar Muhammad Abdullah, Jumat (17/10).

Muhammad Abdullah mengatakan, warga bersedia meninggalkan kampungnya saat itu karena Pertamina menyepakati perjanjian dengan Gubernur Aceh yang saat itu dijabat Abdullah Muzakir Walad. “Pertamina dan Pemerintah Aceh telah berjanji makanya warga bersedia pindah,” kenangnya.

Teungku Jubir, korban penggusuran saat pembangunan PT. Arun, menyatakan telah puluhan kali menuntut pembangunan kampung baru kepada Pertamina dan pemerintah. “Tanah leluhur kami dikeruk, tapi jangankan menyejahterakan masyarakat, mengganti lahan kami yang telah dirampas saja tidak pernah dilakukan.”

Jubir mengatakan, pernah berhembus angin segar, saat itu, Pertamina mengatakan akan memberikan tanah seluas 121 hektar untuk dibangun perkampungan warga di Desa Ujong Pacu, Kecamatan Muara Satu, Lhokseumawe. “Tapi saat proses pengalihan, ternyata tanah itu bukan tanah hibah, melainkan pemerintah harus membayar Rp30 miliar kepada Pertamina.”

Warga juga sudah melaporkan perampasan tanah tersebut ke Komnas HAM di Jakarta. “Kesepakatan yang hasilkan dalam pertemuan 23 Mei 2013 itu adalah pemerintah Aceh harus menganggarkan dana pembebasan tanah 121,9 hektar sebagai pengganti lahan warga yang telah dirampas tahun 1974,” terang warga Desa Blang Lancang ini.

Wakil Ketua Komisi Aceh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (2009-2014), Nurzahri, saat menggelar pertemuan dengan warga dua desa tersebut mengatakan, dalam pertemuan dengan Komnas HAM pada 28 Oktober 2013 diputuskan, Pemerintah Indonesia dan Pertamina wajib menyediakan anggaran untuk membangun perkampungan warga yang telah tergusur.

“Apabila anggaran tersebut tidak ada dalam APBN, Pertamina harus menghibahkan tanahnya untuk dijadikan perkampungan warga. “Jika Pertamina tidak segera menyelesaikan masalah warga yang telah menunggu 40 tahun, sebaiknya Pertamina angkat kaki dari Aceh,” sebut Nurzahri.

Walikota Lhokseumawe, Suaidi Yahwa menyebutkan, meskipun pendapatan PT. Arun sangat besar, namun hal tersebut kontras dengan kondisi masyarakat yang tinggal di sekitar perusahaan raksasa itu.

“PT. Arun mendapatkan keuntungan yang cukup banyak, sementara masyarakat yang tinggal di sekitarnya hidup di bawah garis kemiskinan. Perusahaan boleh megah berdiri, tapi masyarakat tidak merasakan hasil dari tanah mereka,” ungkap Suaidi.

Terkait polemik tersebut, Wakil Presiden Direktur PT. Arun, Del Yuzar, saat menanggapi unjuk rasa korban penggusuran di depan PT. Arun, Rabu (15/10/2014), mengatakan bahwa PT. Arun telah berusaha menyelesaikan tuntutan ganti rugi masyarakat. “Kami bahkan beberapa kali membantu masyarakat agar dapat bertemu dengan Komnas HAM dan pihak lain,” ungkapnya.

Saat pertemuan dengan Komnas HAM, lembaga tersebut telah merekomendasikan agar Pemerintah Aceh menyediakan anggaran pembebasan tanah untuk dijadikan permukiman warga. “Yang saya tahu, setelah adanya rekomendasi itu, Gubernur Aceh telah menyurati Kementerian Keuangan, tapi bagaimana tindak lanjutnya, saya tidak tahu,” sambungnya.

Warga korban penggusuran pembangunan PT. Arun NGL tahun 1974 di Desa Blang Lancang dan Rancong, Kecamatan Muara Satu, Kota Lhokseumawe berunjuk rasa di Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Mereka menuntut wakil rakyat  ini memperhatikan nasib mereka yang hingga kini belum mendapatkan kompensasi. Foto: Junaidi Hanafiah
Warga korban penggusuran pembangunan PT. Arun NGL tahun 1974 di Desa Blang Lancang dan Rancong, Kecamatan Muara Satu, Kota Lhokseumawe berunjuk rasa di Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Mereka menuntut wakil rakyat ini memperhatikan nasib mereka yang hingga kini belum mendapatkan kompensasi. Foto: Junaidi Hanafiah

Selesai kontrak

Mengutip Medan Bisnis, Presiden Direktur PT. Arun Gusti Aziz menuturkan bahwa pengapalan ke-4.269 tujuan Korea Selatan ini merupakan pengapalan terakhir yang sesuai dengan kontrak penjualan. Gas yang diangkut sebanyak 125.000 meter kubik ini setara dengan 40 juta dollar Amerika.

Gusti menuturkan bahwa kontribusi PT. Arun untuk Aceh tidaklah kecil. Terbukti, hampir 50 persen pendapatan domestik bruto (PDB) Aceh bersumber dari migas. Begitu juga dengan program CSR yang telah dikucurkan PT. Arun kepada masyarakat, yang kelanjutannya merupakan kebijakan pemerintah daerah. “Proyek PT. Arun, mulai Januari 2015 akan dikelola oleh PT. PAG (Perta Arun Gas),” ujarnya.

PT. Arun LNG merupakan pemasok gas alam cair internasional yang ekspornya dilakukan ke Korea Selatan dan Jepang. Kehadirannya membawa gairah tumbuhnya industri di Aceh seperti PT. Pupuk Iskandar Muda dan PT. Asean Aceh Fertilizer. Nama Arun diambil dari lokasi pertama kalinya sumur gas alam cair tersebut ditemukan yaitu Desa Arun di Kecamatan Syamtalira, Aceh Utara.

Tahun 2012, berdasarkan keterangan Fauzi Husin, Presiden Direktur PT. Arun saat itu, volume produksi gas alam cair diperkirakan hanya sekitar 22 kapal kargo saja. Jumlah ini tidak ada “apa-apanya” dibandingkan tahun 1994 yang saat itu mencapai puncaknya sekitar 224 kapal kargo per tahun dengan volumenya mencapai 2.200 juta standar metrik kaki kubik per hari (million metric standard cubic feet per day).

Kontrak pembelian gas dari Jepang yang telah berakhir dan begitu juga dengan kontrak penjualan gas alam cair ke Korea Selatan yang selesai 15 Oktober 2014 ini membuat kegiatan operasional PT. Arun berakhir pula.

Kini, sasaran PT. Arun NGL, seperti yang disampaikan Gusti saat pengapalan terakhir, adalah pemenuhan pasar domestik terutama untuk Aceh dan Sumatera Utara.

Lalu, bagaimana nasib warga?

Warga korban penggusuran hingga, dari mulai perusahaan berdiri hingga bubar, belum mendapatkan ganti rugi atas tanah mereka. Mereka telah menunggu selama 40 tahun. Foto: Junaidi Hanafiah
Warga korban penggusuran dari mulai perusahaan berdiri hingga bubar, belum mendapatkan ganti rugi atas tanah mereka. Mereka telah menunggu selama 40 tahun. Foto: Junaidi Hanafiah

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,