, , ,

Mereka yang Terabaikan Kala To Jambu Masuk Kawasan Konservasi

Kampung To Jambu. Ia memanjang mengikuti liukan jalan di kaki pegunungan Verbeek, Kelurahan Battang Barat, Kecamatan Wara Barat, Palopo. Rumah-rumah berdiri di antara tebing gunung dan kaki jurang. Air segar dan pepohonan lebat. To Jambu menjadi tempat istirahat para pesiar kala hendak ke Toraja maupun Palopo.

Warung-warung makan dan penjual penganan khas berderet. Ketika kendaraan menepi, para perempuan penjaja makanan menghampiri tersenyum ramah. Di siang hari laki-laki hampir tak terlihat,  mayoritas menghabiskan waktu di kebun.

Siang itu, kemarau panjang. Beberapa orang tanpak beristirahat di bawah kolong rumah. Ada laki-laki bertelanjang dada,  beberapa yang lain menikmati kopi.

Seorang dari mereka menemani saya berjalan-jalan. Dia menunjuk pohon durian di sisi jalan, lalu memutar bada dengan telunjuk tegak seperti hendak membuat garis lurus. “Dari jembatan bawah itu dan pohon durian ini, itulah batas kawasan konservasi.” “Jadi semua warung dan sekitar 300 keluarha bermukim di tempat ini, masuk kawasan konservasi dan harus keluar.”

Kampung To Jambu menjadi kawasan koservasi dan taman wisata alam (TWA) dengan nama Nanggala III tahun 1990 seluas 400 hektar. Pada masa itu, tak banyak persinggungan dengan warga, semua berjalan baik. Meskipun warga tak pernah dilibatkan dalam pemetaan ruang.

Akhir 2004, luas kawasan menjadi 900 hektar. Lagi-lagi masyarakat tak tahu menahu. Baru 2010, seorang warga, Dani Anton ditangkap dengan tuduhan merambah kawasan hutan. Dani di penjara enam bulan.

Warga kampung mendatangi Pemerintah Kota Palopo, BKSDA dan DPR. Mereka mendapatkan SK Walikota pada 2004  menyatakan, wilayah Ba’tan sebagai kawasan konservasi. “Jadi rumah saya masuk kawasan, tapi kebun saya tidak,” kata Ayyub. “Mungkin saya disuruh berumah di kebun saja.”

Ayyub memperkirakan, lahir 1948 dan dibesarkan di To Jambu. Namun, secara administratif dalam tata kelola pemerintahan Palopo kampung ini menjadi Kelurahan Battang Barat.

Kelurahaan Battang Barat berbatasan langsung dengan Toraja Utara. Di bagian lain, dengan Kelurahan Battang dan Desa Padang Lambe. Pada masa lalu di tiga wilayah ini – Battang Barat, Battang dan Padang Lambe – dikenal dengan sebutan orang-orang Ba’tan sebagai satu kesatuan wilayah adat.

Ba’tan dikepalai tokoh adat bergelar To Makaka. Setiap wilayah diwakili seorang To Matoa. Ayyub,  To Matoa di To Jambu atau Battang Barat.

Hutan sekitar terjaga. warga yang sudah turun menurun di sana tak menjarah hutan, bahkan menjaga. Namun, belakangan, datang orang-orang, banyak di antara mereka duduk di pemerintahan membeli lahan di sana, dan mulailah terjadi pembukaan lahan. Foto: Eko Rusdianto
Hutan sekitar terjaga. warga yang sudah turun menurun di sana tak menjarah hutan, bahkan menjaga. Namun, belakangan, datang orang-orang, banyak di antara mereka duduk di pemerintahan membeli lahan di sana, dan mulailah terjadi pembukaan lahan. Foto: Eko Rusdianto

Kearifan lokal masyarakat Ba’tan

Di Ba’tan sebagian besar masyarakat menggarap lahan berkebun dan bercocok tanam. Membudidayakan tanaman jangka panjang, seperti cengkih, kopi, dan kakao. Lalu, sayur mayur  tetapi sulit karena ‘dijarah’ babi hutan.

Masyarakat mengelola lahan sesuai tradisi turun temurun. Tidak mengganggu hutan lebat dan tidak menggarap tanah miring atau terjal. Dalam pemahaman orang Ba’tan, lahan terjal (awa morrok) akan membawa petaka jika digarap.

Menurut Ayyub, masyarakat menggarap awa morrok akan kena denda pembayaran satu kerbau dan dianggap serakah.  “Jadi tak ada orang berani.”

Seiring waktu, beberapa lahan dengan hingga beratus hektar dimiliki pendatang dengan pangkat dan jabatan tinggi dalam pemerintah. Pembukaan lahan, kata Ayyub dimulai periode 1980-an. Masyarakat dipaksa melepaskan tanah dengan harga murah. “Mereka datang menenteng senjata. Mereka tak buat kekerasan, tapi orang-orang tua kami takut, lalu melepaskan,” katanya.

Akhirnya, aturan penggarapan lahan dilupakan. Awa morrok menjadi kenangan. “Coba lihat semua tempat menjadi lahan garapan. Saya bisa jamin, yang melakukan pendatang, sedikit orang Ba’tan.”

Beberapa nama pejabat disebut memiliki lahan di Ba’tan khusus To Jambu dan bersertifikat. Sementara warga yang menempati dan mengelola lahan turun temurun tak memiliki sertifikat, tetapi membayar pajak setiap tahun. “Tahun 2012, orang kehutanan datang, bilang pada kami. Rumah milik kami tapi tanah punya kawasan konservasi. Jadi kami bingung,” kata Zaenal Ahmadi, ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat .

Relokasi 

Tahun 1998, To Jambu dilanda longsor. Ruas jalan penghubung utama Toraja ke Palopo terputus. Saat inilah Dinas Kehutanan Sulawesi Selatan, mengajak masyarakat mengikuti pelatihan kader usaha tani menetap. Pelatihan dilakukan di Desa Lara, Sabbang, Luwu Utara.

Zaenal saat itu mengikuti pelatihan selama sebulan. Saat bersamaan 303 rumah ukuran sederhana dibangun di Sabbang, sesuai jumlah keluarga To Jambu. “Saat selesai, kami baru tahu tujuan pelatihan untuk bekal menetap di tempat baru.”

Tak menunggu waktu lama, relokasi berjalan dalam tiga gelombang. Zaenal ikut perpindahan gelombang ketiga. Setiap keluarga memperoleh lahan seluas , hektar termasuk rumah. Jaminan kehidupan bahan pokok selama dua tahun.

Kampung To Jambu, yang tak memiliki lagi pusat kesehatan. Warga tak boleh membangun fasilitas kesehatan di kampung--yang sempat rusak--karena masuk kawasan konservasi. Foto: Eko Rusdianto
Kampung To Jambu, yang tak memiliki lagi pusat kesehatan. Warga tak boleh membangun fasilitas kesehatan di kampung–yang sempat rusak–karena masuk kawasan konservasi. Foto: Eko Rusdianto

Namun Zaenal dan beberapa tokoh masyarakat,  membuat kesepakatan agar tidak mengosongkan rumah awal. Mereka menolak pindah. Meskipun akhirnya melunak atas bujukan kecamatan. Namun yang terjadi selama dua tahun di Desa Lara, Sabbang, perebutan lahan dengan warga lokal. “Kami dituduh menduduki tanah mereka. Jelas kami tak ingin konflik, kami kembali ke To Jambu.”

Infrastruktur minim

Tahun 2009, Pemerintah Palopo membangun pusat kesehatan kelurahan. Melalui rembug bersama, masyarakat mengusulkan bangunan di samping Kelurahan Battang Barat. Tak disetujui karena tidak strategis dengan akses kendaraan yang mendaki.

Akhirnya, pusat kesehatan didirikan di sisi jalan utama desa. Warga mengucap syukur karena tak perlu lagi menempuh perjalanan ke kelurahan tetangga, jika ada yang sakit. Malang tak dapat ditolak, tahun sama terjadi lagi longsor dan merusak bangunan kesehatan. “Sebenarnya sangat menyedihkan. Kini kami tak memiliki Puskeskel.”

Harapan muncul pada 2010. Puskeskel menjadi bahasan serius. Usulan membangun kembali mencuat. Namun pemerintah mementahkan. Warga menunjukkan lokasi di tengah kampung. “Tim pembangunan bilang, tempat harus rata. Harus selesai cepat, kalau tidak anggaran pembangunan dipindahkan ke tempat lain,” kata Ayyub.

Akhirnya, masyarakat To Jambu urunan, setiap keluarga menyumbangkan Rp50.000 dan berhasil mengumpulkan Rp10 juta. “Uang itu untuk menyewa doser selama dua hari. Tampat pun rata, dan siap.”

“Minggu pertama, tak ada berita. Minggu kedua belum ada kabar juga. Akhirnya pada minggu ketiga tim pembangunan datang dan bilang kalau tidak boleh lagi membangun bangunan baru di wilayah konservasi,” kata Ayyub.

Tahun 2013, dengan beragam persoalan, dari fasilitas umum hingga hak kelola lahan berbenturan dengan BKSDA. Zaenal bersama beberapa perwakilan warga dan pemerintah Palopo menemui Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan.

Pertemuan di salah satu ruangan Kemenhut di Jakarta. Tak banyak bahasan. Hasilnya, warga diminta kembali ke kampung dan pemerintah menentukan tata ruang hingga batas wilayah.

Apakah ada perubahan? Zaenal dan beberapa warga To Jambu mengatakan tak ada perubahan.

Masih  dalam 2013, perwakilan warga To Jambu menemui Walikota Masih Palopo, Judas Amir. Mereka meminta status lahan dan kesigapan pemerintah Palopo memberi jalan keluar. Juga meminta hak kelola lahan 400 hektar. “Saya tak bisa berbuat banyak untuk Battang Barat, karena saya takut dengan hukum,” kata Judas Amir ditirukan Ayyub.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,