, , ,

Foto: Festival Desa, dari Pangan Lokal Organik sampai Produk Daur Ulang

Petani tergusur dari lahan, 59 orang per jam. Lahan pangan menghilang 12,7 hektar per jam. Respect protect, fulfill. 100 persen pangan lokal.” Poster ini terpasang di papan berbentuk petani menyambut pengunjung kala datang ke Festival Desa 2014 di Perkemahan Ragunan, Jakarta, pada 24-26 Oktober 2014.

Ya, dalam tiga hari itu beragam suguhan bertajuk pangan lokal dan produk-produk organik ada di sana. Ada nasi kuning Ambon, Manado sampai  empek-empek Palembang. Ada suvenir terbuat dari koran-koran dan kertas bekas. Tak ketinggalan beragam kripik singkong, ganyong, ubi ungu sampai abon ayam, daging dan ikan.

Beragam produk kerajinan yang dibuat dari bahan bekas pakai, seperti koran-koran bekas. Foto: Sapariah Saturi
Beragam produk kerajinan yang dibuat dari bahan bekas pakai, seperti koran-koran bekas. Foto: Sapariah Saturi

Ada kopi organik dari berbagai daerah, seperti Flores dan Toraja hasil budidaya warga. Anak-anak juga mendapatkan kegiatan menyenangkan dengan membuat bentuk-bentuk satwa dari kertas dan koran bekas. Gula nira dari Pangandaran yang dibuat dengan cara-cara alami juga ada. Yayasan Kehati juga menyediakan buku-buku gratis dan beragam krupuk serta sayur mayur organik. Beragam pangan dari mangrove juga tersedia.

Dalam kegiatan ini ada beragam workshop, dari pembuatan tempe, rajutan sampai pangan lokal. Save Our Snake tak ketinggalan. Ia merupakan komunitas yang mengkampanyekan agar tak membunuh ular sebagai bagian dari kekayaan fauna Indonesia. Mereka juga membuka klinik bagi orang-orang yang phobia ular.

Anak-anak Pesantren Ekologi Ath-Thaariq bersama beragam produk organik dari teh herbal sampai bibit-bibit tanaman. Foto: Sapariah Saturi
Beragam produk dari Pesantren Ekologi Ath-Thaariq  dari teh herbal sampai bibit-bibit tanaman. Foto: Sapariah Saturi

Aneka ragam bibit lokal organik juga tampil, seperti dari Pesantren Ekologi Ath-Thaariq Garut. Di stan ini,  bisa ditemukan beragam herbal (dari rosela, kunyit, jahe, mint) sampai bibit-bibit lokal seperti kacang koro. Semua organik.

Ada juga Gita Pertiwi dengan biji-biji kacang lokal, tempe koro, kecap koro, kue-kue sampai batik. Semua hasil dari perempuan-perempuan petani dan perajin di Solo raya.

Poster-poster yang mengingatkan pentingnya mengembangkan pangan lokal dan mempertahankan kehidupan petani di Festival Desa. Foto: Sapariah Saturi
Poster-poster yang mengingatkan pentingnya mengembangkan pangan lokal dan mempertahankan kehidupan petani di Festival Desa. Foto: Sapariah Saturi

Untuk pasar batik berjaringan, Gita Pertiwi bekerja sama dengan mitra. “Kebetulan ada bagian kami berkonsultansi dengan Indonesia Timur. Kami biasa share, di sana juga ada model pengelolaan ATBM. Kita coba kombinasikan dengan produk-produk dari Jawa. Itu populer. Sayangnya populer di luar negeri belum di dalam negeri,” kata kata Nunik Sulistiyani  koordinator program Gita Pertiwi kepada Mongabay, Sabtu (25/10/14).

Untuk biji-bijian lokal ini dikembangkan para petani perempuan untuk ekonomi mereka, sekaligus konservasi lahan.

Nunik Sulistiyani dari Gita Pertiwi bersama  Christiana Retnaningsih, kepala program Nutrisi dan Teknologi Kuliner Fakultas Teknologi Pertanian, Unika, memperlihatkan produk kecap gude yang masih tahap penelitian. Foto: Sapariah Saturi
Nunik Sulistiyani dari Gita Pertiwi bersama Christiana Retnaningsih, kepala program Nutrisi dan Teknologi Kuliner Fakultas Teknologi Pertanian, Unika, memperlihatkan produk kecap gude yang masih tahap penelitian. Foto: Sapariah Saturi

Dia mengatakan, petani perempuan di Solo menanam kacang-kacang lokal, seperti koro, gude dan lain-lain. Tujuannya, agar tak tergantung kedelai yang sebagian besar impor dan produk transgenik.

“Selama ini masyarakat tergantung kedelai. Kedelai impor sebagian besar transgenik. Ini yang mengkhawatirkan.”

Upaya ini, katanya,  bagian dari menggali potensi lokal yang cukup banyak tersedia. “Dan tak kalah kalau bicara sumber protein sekaligus bagian dari konservasi lahan.”

Rempah-rempah dari alam, produksi petani di Indonesia. Foto: Sapariah Saturi
Rempah-rempah dari alam, produksi petani di Indonesia. Foto: Sapariah Saturi

Pertanian ini bagian konservasi lahan, katanya, karena koro, misal,  merupakan tanaman leguminosae. Tanaman jenis ini,  sebagai pengikat netrogen dari udara untuk dikelola menjadi sumber nutrisi lahan. “Wilayah Wonogiri, lahan kritis. Dengan tanaman ini menjadi sangat bagus sekali. Produksi luar biasa di musim kemarau panjang. Kalau musim paceklik tidak ada panen, sumber penghidupan petani dari koro ini,” ucap Nunik.

Gita Pertiwi, bekerja sama dengan Unika Soegijapranata, untuk mengembangkan kacang-kacangan ini menjadi aneka ragam pangan seperti tempe, kecap dan snack.

Pangan alami, ada kerupuk ganyong sampai mie aren. Foto: Sapariah Saturi
Pangan alami, ada kerupuk ganyong sampai mie aren. Foto: Sapariah Saturi

Kini, mereka tengah mengembangkan—masih tahap penelitian–kecap dari gude dan koro. Sedang dari proses fermentasi dan penepungan, katanya, dibuat aneka snack. “Ini juga dari tepung gude. Ini masih tahap penelitian nanti bisa dikelola secara home industry. Ini bagian dari uji rasa. Belum produk massal,” ucap dia. Saya mencicipi kecap manis dan snack dari gude dan koro. Enak!

Festival Desa 2014, ajang tahunan yang menampilkan beragam produk lokal dan bersahabat dengan alam. Foto: Sapariah Saturi
Festival Desa 2014, ajang tahunan yang menampilkan beragam produk lokal dan bersahabat dengan alam. Foto: Sapariah Saturi
Anak-anak diajak bermain sambil belajar membuat dan mewarnai beragam bentuk binatang yang terbuat dari kertas dan koran bekas. Foto: Sapariah Saturi
Anak-anak diajak bermain sambil belajar membuat dan mewarnai beragam bentuk binatang yang terbuat dari kertas dan koran bekas. Foto: Sapariah Saturi

fe12-IMG_8195Tempe dari koro, yang dibuat para perajin perempuan dari Solo raya. Foto: Sapariah Saturi

Poster yang mengajak kita mencintai buah-buah lokal. Foto: Sapariah Saturi
Poster yang mengajak kita mencintai buah-buah lokal. Foto: Sapariah Saturi
Workshop yang diadakan di Festival Desa. Foto: Sapariah Saturi
Workshop yang diadakan di Festival Desa. Foto: Sapariah Saturi
Tempe dari koro, yang dibuat para perajin perempuan dari Solo raya. Foto: Sapariah Saturi
Kecap manis dari koro, yang dibuat para perajin perempuan dari Solo raya. Foto: Sapariah Saturi
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,