,

Jokowi Diajak Blusukan ke Lokasi Kebakaran Hutan dan Gambut

Abdul Manan, warga asli Pulau Meranti, Riau membuat petisi lewat kanal Change.org. Melalui petisi itu, dia meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk blusukan atau meninjau langsung lokasi kebakaran hutan dan lahan gambut di sana.

“Orang suka bercerita, pak Jokowi dekat dengan rakyat dan betul-betul mendengar. Suka blusukan. Mau tidak pak Jokowi blusukan ke tempat kami? Langsung melihat hutan gambut, kebakaran dan asapnya. Hanya dengan begitu pak Jokowi bisa mengerti kehidupan kami sehari-hari dengan asap,” katanya dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (28/10/14).

Baru beberapa jam diluncurkan, sampai Selasa malam tercatat 4.800 orang lebih menandatangani petisi ini. Dalam petisi itu, Abdul menyinggung soal revolusi mental yang digadang-gadang Jokowi.

Menurut dia, kabut asap di Riau selama 17 tahun mengancam implementasi revolusi mental. Jika berlanjut, akan menjadi disabilitas mental. Kabut asap menimbulkan konsekuensi negatif pada kesehatan fisik, mental dan pendidikan.

Abetnego Tarigan, direktur eksekutif Walhi Nasional mengatakan, pendekatan pemerintah sebelumnya tidak menunjukkan kemajuan signifikan dalam penuntasan masalah kebaran hutan dan lahan. Hal ini karena problem mendasar tata kelola hutan dan perkebunan tidak diselesaikan menyeluruh.

“Kebakaran hutan dan lahan tidak bisa selesai jika pemerintah hanya berposisi sebagai pemadam kebakaran. Pemerintah harus lebih serius mencegah,” katanya.

Lahan gambut yang terbakar di Kabupaten Bengkalis,Riau pada Maret 2014. Pada Juli-Agustus-September sampai Oktober 2014, kebakaran bak ‘menu’ yang harus ditanggung warga. Foto: Zamzami

Dia mendorong pemerintah segera me-review berbagai regulasi yang permisif atas tindakan pembakaran hutan. Dia juga mendesak penguatan dan perbaikan regulasi mengenai tata kelola hutan dan perlindungan lahan gambut di Indonesia.

“Kalau Jokowi blusukan ke sana, bisa langsung berinteraksi dengan masyarakat. Melihgat secara langsung permasalahan lahan gambut. Sekaligus merasakan langsung beban masyarakat.”

Kesempatan sama, Longgena Ginting, kepala Greenpeace Indonesia mengatakan, Indonesia merupakan emiter gas karbon terbesar di dunia dan menjadi masalah perubahan iklim. Sebagian besar emisi dari kerusakan hutan dan kebakaran lahan gambut.

“Penanggulangan kebakaran hutan dan gambut harus menjadi prioritas utama dalam 100 hari pemerintahan Jokowi dan kabinet kerja.”

Dia mendorong Jokowi blusukan ke lokasi kebaran hutan dan lahan gambut agar bisa melihat fakta lapangan.  Pembuatan petisi itu, katanya, agar Jokowi tergerak langsung ke lapangan dalam waktu dekat. Petisi menjadi bagian dari keinginan publik agar Jokowi lebih memberikan perhatian.

“Jokowi diharapkan bisa memberikan solusi konkrit dalam mengatasi masalah kerusakan hutan dan lahan gambut. Dengan model blusukan, dia tidak sekadar mendengar laporan. Bisa tahu penyelesaian.”

Wimar Witoelar, pendiri Yayasan Perspektif Baru, mengatakan, Jokowi diharapkan menjadi babak baru penyelamatan lingkungan hidup di Indonesia. “Kami berharap Jokowi mau bersama-sama ikut blusukan ke lokasi kebakaran hutan. Lalu mengambil langkah-langkah strategis.”

Dia yakin, Jokowi akan blusukan ke lokasi kebakaran. Sebab, selama ini dia identik dengan kerja cepat. If not now, when? If not Jokowi, who

Layangkan surat ke Jokowi

Menindaklanjuti permintaan ini, Walhi Nasional, Greenpeace dan Yayasan Perspektif Baru melayangkan surat kepada Jokowi. Isi surat itu berisi ajakan kepada presiden segera meninjau lokasi kebakaran hutan dan lahan gambut. Jika Jokowi berkenan, mereka siap memfasilitasi.

Direktur Pusat Studi Bencana Universitas Riau Haris Gunawan mengatakan, jika Jokowi blusukan akan menjadi momentum baik. Publik, katanya, mengharapkan Jokowi bisa menyelesaikan permasalahan ini dengan cara tidak biasa, out of the box.

“Memang tidak mudah menyelesaikan masalah, tergantung leadership. Perlu tokoh sekelas Jokowi mengatasi permasalahan ini.”

Dia mengatakan, Jokowi seorang rimbawan. Dia berharap, hal ini memberi sinyal bagus dalam perbaikan kualitas lingkungan hidup termasuk tata kelola hutan dan lahan gambut di Indonesia.

“Dalam nomenklatur baru, tertulis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.  Lingkungan hidup disebut di awal. Ini menunjukkan ada semangat dari seorang Jokowi untuk memperbaiki kualitas  lingkungan hidup secara keseluruhan.”

Haris mengatakan, hutan gambut eksosistem paling rapuh. Indonesia memiliki luas lahan gambut terbesar dan terdalam di dunia. Rata-rata kedalaman lahan gambut di Indonesia berkisar antara 8-10 meter. Bahkan di Riau, ada sampai mencapai 17 meter.

“Pengalaman kegagalan proyek satu juta hektar lahan gambut di Kalimantan Tengah seharusnya tidak berulang lagi di Riau, Sumatera Selatan, dan Jambi. Terjadinya kebakaran berulang setiap tahun harus menjadi pengalaman dan pelajaran berharga bagi pemerintahan baru Jokowi.”

Lahan gambut habis terbakar di Kalteng pada September-Oktober 2014. Foto: Walhi Kalteng
Lahan gambut habis terbakar di Kalteng pada September-Oktober 2014. Foto: Walhi Kalteng

Kebakaran hutan di Kalimantan

Kebakaran tak hanya terjadi di Sumatera. Sejak September 2014, di Kalimantan, seperti Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan, juga terjadi kebakaran hutan dan lahan gambut. Di beberapa wilayah itu asap mulai berkurang karena hujan turun. Namun, dampak dampak kala kebakaran terjadi dan kabut asap melanda,  cukup besar. Di Kalteng, sekolah-sekolah sampai libur karena udara sudah tak sehat dan berbahaya, dan berbagai aktivitas terganggu, seperti penerbangan tertunda.

Walhi Kalteng, menemukan sebaran titik api berada di 90an perkebunan sawit. Dari pantauan satelit Modis Terra dan Aqua dari Nasa menunjukkan, sepanjang Oktober 2014, sebaran titik api mencapai 5.546 titik!  Parahnya, tak ada upaya penegakan hukum bagi perusahaan-perusahaan ini.

“Ironisnya, perusahaan ini belum satupun diproses hukum. Justru masyarakat dan petani peladang menjadi korban dari kebijakan yang tajam ke bawah namun tumpul ketika berhadapan dengan investasi,” kata Arie Rompas, direktur eksekutif Walhi Kalteng, kepada Mongabay, pekan lalu via surat elektronik, belum lama ini.

Padahal, katanya, investasi dan konversi hutan dengan aktivitas pembakaran dan pembukaan kebun sawitlah yang menyebabkan kebakaran.  Bukti ini, ucap Arie, bisa terlihat dari kosentrasi sebaran titik api. Jadi, jelas, kabut asap terhubung erat dengan  aktivitas pembukaan kebun di dalam konsensi perkebunan sawit.  “Namun, sepanjang Oktober, 106 petani petani menjadi tersangka, sedangkan perusahaan belum satupun!”

Dia heran, aturan di Kalteng juga ada yang bisa menjerat perusahaan tapi tak berjalan. Bahkan, UU Lingkungan Hidup, UU Perkebunan juga jelas menyebutkan larangan pembakaran dan sanksi hingga pencabutan izin perusahaan, “Instrumen hukum diabaikan padahal ada unsur kelalaian dan kesengajaan bisa menjerat perkebunan sawit, minimal menggunakan  titik api konsensi mereka.”

Seharusnya, titik api di konsesi bisa menjadi bukti awal aparat hukum menyelidiki karena ada klausul izin konsensi merupakan tanggung jawab hukum melekat bagi pemilik perusahaan termasuk mencegah kebakaran.

Sejak bulan lalu, asap mulai menyelimuti kabupaten dan kota di Kalteng. Warga harus menanggung  kondisi sulit karena harus menghirup udara tidak sehat karena asap  yang mengandung polutan dan mengancam kesehatan masyarakat. Udara menjadi tak sehat bahkan berbahaya, sekolah-sekolah sempat diliburkan, sampai penerbangan terhambat. Seperti indeks pencemaran udara di Palangkaraya 1-12 Oktober 2014, berada pada level tidak sehat, sangat tidak sehat dan berbahaya.

Meskipun saat ini, hujan mulai turun, dan titik api berkurang serta asappun menipis. Namun, bencana asap telah merugikan masyarakat dan lingkungan, terlebih kejadian ini terus berulang tiap tahun. “Pemerintah jangan diam dengan asap di Kalteng. Penuhi tanggung  jawab konstitusi dalam menjamin hak atas lingkungan sehat adalah hak asasi manusia.”

Sebenarnya, kata Arie, kebakaran hutan dan lahan merupakan bencana ekologis yang bisa diperkirakan asal dengan upaya pencegahan, pengendalaian  dan penanganan yang komprehensif.

Kebakaran hutan dan kabut asap, katanya, bersumber dari daya dukung lingkungan rusak. Untuk itu, perlu upaya pencegahan dari akar masalah, yaitu hentikan konversi lahan gambut dan hutan yang tidak melihat daya dukung dan fungsi ekologis.

Bagaimana caranya? Menurut Arie ada beberapa cara. Pertama, mulai mengindetifikasi wilayah titik degradasi lingkungan terutama di lahan gambut, merupakan lokasi titik api dari tahun ketahun. Lalu segera upaya pemulihan komprehensif untuk mengembalikan fungsi hidrologi dengan kembali membasahi wilayah gambut.

Kedua, proses penegakan hukum harus segera terutama menjerat para pelaku pembakaran dengan multi door hukum yang mengatur larangan dan sanksi terhadap pembakaran hutan dan lahan. Termasuk, memberikan sanksi mengembalikan biaya kerugian  ekologis dan pemulihan akibat kebakaran hutan.

Ketiga, segera evaluasi izin dan menghentikan konversi lahan gambut untuk investasi skala luas baik buat sawit dan hutan tanaman industri. Tujuannya, memastikan fungsi ekosistem gambut berjalan berkelanjutan dan memberikan manfaat ekonomi, lingkungan dan kultural bagi semua pihak.

Dia mengatakan, kondisi lingkungan di Kalteng terus terdegradasi dampak pengelolaan sumber daya alam merusak dan tidak berkelanjutan. Bencana ekologis  yang muncul pun harus ditanggung masyarakat. Sistem penguasan lahan, katanya, 78 persen wilayah Kalteng, dengan 3,1 juta hektar lahan gambut terus terdegradasi dan menjadi kebun sawit.

Data Hotspot di Perkebunan Sawit di Kalteng 1-14 Oktober 2014

Kabut asap tebal menyelimuti wilayah di Kalimantan Tengah, pada awal Oktober 2014. Foto: Walhi Kalteng
Kabut asap tebal menyelimuti wilayah di Kalimantan Tengah, pada awal Oktober 2014. Foto: Walhi Kalteng
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,