,

Perda “Asal Jadi” untuk Mengatasi Pertambangan Batubara yang Merusak Samarinda

Meskipun Samarinda, Kalimantan Timur, sudah rusak lingkungannya oleh aktivitas pertambangan batubara, namun pemerintah Samarinda dinilai tidak serius dalam mengatasinya. Ini terlihat dari Peraturan Daerah No 12 Tahun 2013 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dalam Wilayah Kota Samarinda yang dinilai asal jadi dan cacat hukum.

Perda ini dikeluarkan saat gugatan Citizen Lawsuit oleh Gerakan Samarinda Menggugat (GSM) tengah berproses di Pengadilan Negeri Samarinda.

Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kalimantan Timur menyebut Perda No 12 Tahun 2013 sebagai peraturan yang dibuat secara tidak serius, asal jadi, cacat hukum dan tidak menjawab kebutuhan masyarakat Kota Samarinda terkait dengan operasi pertambangan Batubara.

Pernyataan ini disampaikan Merah Johansyah, Dinamisator Jatam Kaltim, dalam Media Briefing Publikasi Hasil Eksaminasi Perda No 12 Tahun 2013  yang dilaksanakan di Gedung Dekanat Fakultas Hukum, Universitas Mulawarman, Senin (27/10/2014).

“Perda ini oleh tim eksaminasi dinilai kontradiktif dengan undang-undang yang lebih tinggi. Di antaranya dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 10/PUU-X/2012 mengenai Kewenangan Penetapan Wilayah Usaha Pertambangan, dan juga bertentangan dengan UU No 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara,” ujar Merah.

Eksaminasi atas Perda No 12 Tahun 2013 ini merupakan inisiatif dari Indonesian Corruption Wacth (ICW) dan Jatam Kaltim. Majelis eksaminasinya terdiri Haris Retno Susmiyati, Herdiansyah Hamzah, Rahmawati Al Hidayah, dari Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, serta Muhammad Fadly, pakar lingkungan hidup, dan Adi Supriadi, ahli konservasi sumber daya hutan dari Politeknik Pertanian Negeri Samarinda.

“Majelis eksaminasi merupakan orang yang berkompeten dalam bidangnya masing-masing,” kata Abdallah Naem, tim perumus eksaminasi dari Jatam Kaltim.

Naem menjelaskan eksaminasi atau uji publik selama ini dikenal untuk melakukan evaluasi atas keputusan hakim dalam peradilan. Namun, eksaminasi juga bisa dipakai untuk menguji produk hukum dalam bentuk regulasi atau peraturan perundang-undangan yang lebih luas.

“Perda Pertambangan Mineral dan Batubara dalam wilayah Kota Samarinda, memenuhi kriteria untuk diambil sebagai obyek eksaminasi,” jelas Naem.

Menurutnya, ada tiga kriteria yang telah dipenuhi, yakni 1) dinilai kontroversial baik dari proses pembentukannya (formil) dan/atau secara substansinya (materiil), 2) memberi dampak bagi kepentingan publik yang lebih luas, 3) peraturan perundangan tersebut membuka peluang terjadinya penyimpangan atau ada indikasi korupsi yang akan merugikan negara dan masyarakat.

Temuan Majelis Eksaminasi

Dalam paparan yang disampaikan secara bergantian oleh Rahmawati Al Hidayah dan Haris Retno Susmiyati, majelis eksaminasi menemukan sebelas kelemahan terkait dengan proses pembentukan dan substansi isinya.

Rahmawati menyebutkan Perda No 12 Tahun 2013 sebagai produk hukum yang tidak cermat dan memakai data yang kadaluwarsa. Ada inkonsistensi antara judul dan konsideran perda yang masih menggunakan dasar hukum dan sejumlah undang-undang yang sudah tidak berlaku lagi. Kelemahan lain yang ditemukan majelis eksaminasi, naskah akademik perda ini menunjukkan ketidakjelasan jangkauan, arah pengaturan dan ruang lingkup materi muatannya. “Sehingga ada yang tidak sinkron antara naskah akademik dan perdanya.”

“Ketidakcermatan juga terlihat pada batang tubuh perda termasuk kutipan data dalam naskah akademik dalam perda ini yang masih menyebut Samarinda terdiri dari enam kecamatan padahal sekarang ini sudah dimekarkan menjadi 10 kecamatan,” ujar Rahmawati.

“Perda ini juga mengandung kerancuan pola pikir yang menyebabkan pelangaran kewenangan,” imbuhnya.

Menurutnya kerancuan ditemukan pada Pasal 4 yang menyebutkan “Kewenangan pengelola usaha pertambangan umum sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat (2) dalam pelaksanaannya Walikota dapat melaksanakan kerjasama dengan pihak ketiga.”

Hutan-hutan yang dibuka di Kalimantan Timur untuk keperluan pertambangan batubara. Foto: Hendar

“Apa makna pihak ketiga? Tentu saja ini merujuk pada pihak swasta atau non-pemerintah. Ini jelas tidak amanah karena melanggar ketentuan dalam konstitusi, khususnya pada pasal 33 ayat (3) UUD 1945, dimana kewenangan secara mutlak ada di tangan pemerintah dan tidak boleh diserahkan pada pihak ketiga,” jelas Retno.

Majelis eksaminasi juga menilai perda ini bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi. Kontradiksi ini menyangkut kewenangan penetapan wilayah usaha pertambangan sebagaimana diatur UU No 4 Tahun 2009 tentang minerba. Perda ini dianggap menyalahi sejumlah pasal karena tidak mengatur mekanisme lelang wilayah pertambangan. Dengan demikian perda ini membuka celah atau peluang untuk terjadinya korupsi.

Celah untuk melakukan korupsi juga tercermin dari penggunaan SKAB (Surat Keterangan Asal Barang) yang tidak memiliki dasar hukum karena telah dicabut lewat surat edaran direktorat jenderal mineral dan batubara kementerian ESDM No 02 E/30/DJB/2012.

Terkait dengan kepentingan warga dan lingkungan hidup di Samarinda, majelis eksaminasi menilai perda ini gagal memenuhi unsur yang memuat kondisi daerah sebagaimana diatur dalam UU 12 Tahun 2012 tentang Penyusunan Perundang-undangan.

Menurut majelis eksaminasi, perda ini seharusnya menjawab problem utama menyangkut daya dukung Kota Samarinda yang sudah tak sanggup menopang kegiatan pertambangan di 71 persen wilayahnya dan jaminan keselamatan warga atas operasi pertambangan yang sudah mendekati pemukiman dan fasilitas umum.

Temuan lain sebagaimana disebutkan majelis eksaminasi, perda ini tidak mampu menjangkau ijin yang telah dikeluarkan sebelum pemberlakuan perda serta adanya sanksi pidana yang melebihi dari apa yang diperbolehkan ada dalam perda.

“Dalam UU Nomor 12 Tahun 2011, ketentuan sanksi pidana kurungan dalam perda maksimal 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), tapi muatan sanksi dalam Perda No. 12 Tahun 2013, tertulis sanksi pidana kurungan maksimal 10 (sepuluh) tahun dan denda Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah)”  jelas Retno.

Merah Johansyah menjelaskan banyaknya kelemahan Perda No 12 Tahun 2013 disebabkan proses penyusunan yang tidak partisipatif meski sebagai sebuah produk hukum, perda ini disusun dalam waktu yang sangat lama. Pembahasan perda ini dimulai sejak tahun 2010 dengan dua kali penggantian pansus.

“Ada banyak konflik kepentingan, karena anggota pansus kebanyakan pemain di sektor tambang batubara, selain itu uji publik atas perda ini juga tidak cukup memadai,” ujar Merah.

Atas dasar berbagai temuan kelemahan Perda No 12 Tahun 2013, tim eksaminasi merekomandasikan agar perda tersebut dibatalkan.

“Dari sisi proses pembentukan maupun substansi muatannya, perda ini cacat hukum dan tidak mampu menjawab persoalan pertambangan di Kota Samarinda, maka sudah selayaknya harus dicabut atau dibatalkan,” kata Merah.

Terpisah, Jasno, Ketua Badan Legislasi Daerah DPRD Kota Samarinda, menyatakan akan mempelajari permasalahan yang dipersoalkan terkait Perda No 12 Tahun 2013 itu. Pihaknya akan berkonsultasi dengan Ketua Balegda DPRD Kota Samarinda periode lalu.

“Perda ini disahkan DPRD Kota Samarinda pada periode yang lalu, tentu perlu prosedur untuk mengevaluasinya,” ujarnya.

“Ke depan kita akan mengupayakan konsultasi publik atas rancangan peraturan daerah secara memadai. Kita tidak akan berfokus pada banyaknya peraturan yang dihasilkan melainkan kualitasnya,” janji Jasno.

Penegasan serupa disampaikan Alphard Syarif, Ketua DPRD Kota Samarinda, yang menyatakan akan meninjau kembali perda itu jika memang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat Samarinda.

“Saya akan pelajari dulu. Dan untuk membuat perda berikutnya kami siap untuk melakukan uji dan evaluasi publik,” katanya.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,