,

Fokus Liputan: Gurat Hitam Tambang Batubara di Wajah Peradaban Megalitikum

Ardo (9) menatap kosong ke depan. Pandanganya hampa, entah apa yang ada dibenaknya. Dari jauh, dia seperti patung, nyaris tanpa reaksi meski namanya disebut berulang. “Ardo… Ardo… Ardo…” Bahkan, dari jarak aman lima meter pun, ketika kami menyebut namanya, ia tetap dingin. Tidak bergeming.

Posisinya tetap tegak di bawah pohon. Hanya kerlingan matanya yang sesekali beradu pandang dengan kami. Apakah Ardo malu, karena ia merupakan pendatang baru? Atau, Ardo yang kedua gadingnya dipotong itu, takut melihat kami yang mungkin dalam pandangannya adalah makhluk asing?

Ardo memang baru sepuluh hari di Pusat Latihan Gajah (PLG) Bukit Serelo, Desa Padang Baru, Kecamatan Merapi, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan. Dia dibawa dari Hutan Margasatwa Padang Sugihan Sebokor, Banyuasin, Sumatera Selatan. Selain masih malu, makanannya berupa rumput gajah, yang dua kali sehari itu masih dicarikan.

“Setiap pagi atau sore, Ardo beserta gajah lainnya akan dibawa ke Sungai Milang untuk dimandikan,” kata Amir Hamzah, perawat gajah yang mengurus Ardo, pertengahan September 2014.

Ardo merupakan satu-satunya gajah jantan penghuni ke-13 yang ada di pusat latihan ini. Tidak sulit menandainya, karena semua data gajah terpampang jelas di Kantor Pusat Latihan Gajah Bukit Serelo ini. Dari mulai nama, jenis kelamin, umur, hingga nama perawatnya yang berjumlah 46 orang.

Nama-nama gajah betina yang sebagian besar hasil penangkapan di Kabupaten Banyuasin, dan satu ekor dari Lampung Barat ini juga menarik hati. Ada Elvi (24), Lusi (24), Kalangi (24), Nensi (38), Korina (29), Tira (24), Tiara (23), Yuni (40), Mayang (18), Linda (24), Sipon (24), dan Tika (21). Uniknya, ke-12 gajah betina ini statusnya ada yang sebagai gajah pekerja maupun gajah atraksi.

Gajah atraksi? Ya. Menurut Amir yang telah menjadi perawat gajah sejak 2004 ini, kemampuan dasar yang dilatih adalah duduk, hormat, dan angkat kaki. “Bila sudah mahir, mereka nantinya bisa diajak main bola.”

Namun, meski di pusat pelatihan ini disebutkan ada 13 gajah, kami hanya menemukan tiga ekor saja. Satu gajah berada di seberang Sungai Milang yang masih di areal perkantoran, satu ekor hanya kami tandai dari suaranya yang melengking dari dalam hutan, dan seekornya adalah Ardo. “Gajah lainnya lagi di hutan. Mereka mencari makan dan mandi di tepi sungai,” tutur lelaki berpangkat Juru Muda ini.

Argumen Amir memang masuk akal. Karena, PLG Bukit Serelo yang letaknya di kawasan Taman Wisata Alam Bukit Serelo ini memiliki luas 200 hektar. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor  953/Kpts-II/1992 tanggal 3 Oktober 1992, pusat latihan gajah ini hanya dibatasi oleh dua sungai yaitu Sungai Binjai dan Sungai Milang.

Kawasannya juga berupa perbukitan dan hutan. Salah satu bukitnya yang paling terkenal adalah bukit yang menyerupai jempol atau telunjuk tangan sehingga disebut “Bukit Jempol atau Bukit Telunjuk”.

Bagaimana dengan flora dan fauna? Tanaman yang mendominasi di sini adalah  puspa (Schima wallichii) dan sungkai (Peronema canescens). Ada juga alang-alang dan beberapa jenis tumbuhan yang disukai gajah seperti asam payo, jenis bambu-bambuan, serta rumput. Sementara hewannya, selain gajah, ada juga monyet ekor panjang, beruang madu, kancil, kijang, babi, rusa, dan ayam hutan.

PLG Bukit Serelo sendiri didirikan pada 1992-1993. Proyek ini merupakan pemindahan dari sekolah gajah sebelumnya yang berada di Suaka Margasatwa Padang Sugihan Sebokor. Salah satu alasan pemindahannya adalah karena sulitnya akses menuju Padang Sugihan yang harus melalui sungai dan kanal. Arealnya juga becek karena dipengaruhi pasang-surut sungai dan sebagian besar merupakan rawa.

“Saat itu, banyak wisatawan yang berkunjung ke sini. Mereka menyaksikan atraksi yang ditampilkan gajah, termasuk bermain sepakbola,” kata Ramlan, perawat gajah yang sudah bekerja selama 21 tahun di PLG Bukit Serelo ini.

Lalu, mengapa sekarang sepi? Ramlan hanya tersenyum. Sementara kami yang bertanya, tidak mengerti apa makna senyuman itu. Senyum yang bagi kami mangundang seribu pertanyaan.

Berdasarkan data Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI) April 2014, Bukit Serelo merupakan habitat gajah yang kondisinya kritis. Di kawasan ini diperkirakan hanya tersisa empat ekor saja. Padahal, idealnya, dalam habitat ini terdapat 30-60 gajah.

Apakah ini, makna senyuman Ramlan?

Bukit Jempol, bukit yang begitu terkenal di Lahat yang mengundang keingintahuan sejumlah peneliti. Foto: Rahmadi Rahmad
Bukit Jempol, bukit yang begitu terkenal di Lahat yang mengundang keingintahuan sejumlah peneliti. Foto: Rahmadi Rahmad

Sekitar 120 tahun lalu, hutan di sekitar Bukit Serelo merupakan lokasi yang sering dikunjungi gajah. “Sehingga masyarakat menyebutnya subahan gajah atau kubangan gajah,” kata Ramlan, yang merupakan penduduk asli Perangai, Kecamatan Merapi Selatan, Kabupaten Lahat.

Pernyataan Ramlan ini, jika ditelisik, ada benang merahnya dengan sejarah masa lalu. Ribuan tahun lalu, di masa peradaban megalitik Pasemah, manusia moderen pertama yang hidup dan berkembang di Lahat, telah memberikan tanda adanya hubungan yang erat antara manusia dengan gajah maupun hewan lainnya.

Peradaban megalitik Pasemah merupakan sebuah peradaban megalitik yang berkembang sekitar 2.000 tahun lalu di Bukit Barisan. Cakupannya adalah Sumatera Selatan (Sumsel), Bengkulu, Lampung, dan Jambi. Di Sumsel peninggalan terbanyaknya berada di Lahat dan Pagaralam.

Peradaban megalitikum sering disebut juga dengan zaman batu besar karena manusia saat itu sudah dapat menghasilkan kebudayaannya melalui batu yang berukuran besar.

Tidak jauh dari Bukit Serelo, tepatnya di Desa Tanjung Telang, Kecamatan Merapi Barat, terdapat sebuah arca manusia yang tengah memeluk gajah. Arca yang kini berada di halaman Sekolah SMPN 2 Merapi Barat ini dinilai sebagai simbol hubungan yang harmonis antara manusia dengan hewan, khususnya gajah. Guratannya begitu kental dan jelas terlihat dari belalainya.

“Di masa lalu manusia begitu akrab dengan hewan. Sejumlah hewan, seperti gajah dapat dikatakan sebagai hewan suci yang harus dijaga,” kata budayawan Palembang Erwan Suryanegara saat mengisi Workshop Jurnalisme Lingkungan di Kampus Universitas Indo Global Mandiri (IGM) Palembang, di penghujung Agustus 2014.

Mengutip pendapat Haris Suhendar, pakar megalitik, patung atau arca megalitik di Pasemah berbeda dengan patung megalitik lainnya. Artinya, tidak ada yang dapat dijadikan objek pembanding bagi patung megalitik Pasemah tersebut.

Patung, lukisan, maupun artefak-artefak megalitik lainnya merupakan media yang diyakini sebagai penghubung dengan arwah leluhur yang mereka puja. Terkait image atau wujud yang mereka visualkan, baik yang dipahatkan berupa patung maupun lukisan yang mereka gambarkan, seperti orang berpelukan dengan gajah, orang memangku harimau, orang menunggang kerbau, atau orang dibelit ular semua ada maknanya. “Semuanya mengandung pesan (message) bahwa hidup itu bersahabat dengan alam,” tegas Erwan.

Artinya, berdasarkan ungkap rupa, masyarakat di Pasemah kala itu sesungguhnya menjunjung konsep kosmosentris atau adanya keseimbangan antara unsur mikrokosmos, makrokosmos, dan metakosmos, “Tepatnya menyatu dan bersahabat dengan alam. Jadi bukan perilaku hidup merusak, mencemarkan lingkungan hidup atau mengeksploitasi alam, yang egois-individualistik.”

Mario, pegiat pariwisata dan budaya di Lahat, mencatat saat ini ada empat patung atau arca yang menghubungkan manusia dengan gajah. Selain arca di Tanjung Telang; ada juga arca di situs Pulau Panggung, Kecamatan Pajarbulan; arca di situs Tinggihari, Kecamatan Gumay Ulu; serta arca di situs Gunung Megang, Kecamatan Jarai.

“Ini menunjukan atau membuktikan adanya hubungan yang harmonis antara manusia dengan hewan, khususnya gajah,” kata Mario, yang telah melakukan pendataan megalitik di Lahat sejak 2008.

Arca manusia memeluk gajah di halaman Sekolah SMPN 2 Merapi Barat, Lahat, sebagai simbol keharmonisan hidup manusia dengan satwa, terutama gajah. Foto: Rahmadi Rahmad
Arca manusia memeluk gajah di halaman Sekolah SMPN 2 Merapi Barat, Lahat, sebagai simbol keharmonisan hidup manusia dengan satwa, terutama gajah. Foto: Rahmadi Rahmad

Meski tidak menjelaskan kenapa PLG Bukit Serelo tidak seramai sebelumnya, yang dipenuhi pengunjung dan selalu menampilkan atraksi gajah, Ramlan antusias kala diajak bicara aktivitas pertambangan batubara di Bukit Serelo. Aktivitas ekstraktif yang dimulai sejak 2012, yang jaraknya hanya lima kilometer dari pusat pelatihan gajah ini.

“Akibat penambangan batubara di bagian hulu, tepatnya di dekat Bukit Telunjuk, air Sungai Milang menjadi keruh. Hujan maupun kemarau airnya keruh. Perusahaan yang menambang di sana PT. SCG (Sarana Cipta Gemilang),” kata Ramlan.

Kalau musim penghujan, air sungai sangat keruh. Lumpur dan limbah bercampur, sehingga airnya tidak mau diminum gajah. “Kami terpaksa mengangkut air dari sumber yang lebih bersih dari anak sungai.”

Pada musim kemarau seperti sekarang ini, yang dikhawatirkan adalah air sungai menjadi kering. “Kalau sungai kering gajah jelas terganggu. Mereka bisa marah karena kehausan. Gajah sangat bergantung dengan air sungai,” ujar Ramlan. Selain itu, akibat sungai yang tercemar menyebabkan sejumlah jenis ikan sulit didapat, seperti ikan lampan dan betutu.

Tambang batubara ini memang akan kita temui dahulu saat menuju pusat pelatihan gajah. Karena memang satu lintasan. Jaraknya, sekitar 17 kilometer atau setangah jam perjalanan dari Jembatan Merapi di Jalan Raya Lintas Sumatera, Lahat.

Hutan yang terbuka akibat penambangan batubara juga menyebabkan konflik antara gajah dan kerbau masyarakat. Konflik ini berupa perebutan sumber makanan. “Gajah kesulitan mencari makan seperti rumput, karena sudah banyak dimakan kerbau,” ujarnya.

Pun dengan Amir yang harus mengganti tanaman sawit warga yang dirusak gajah karena berebut makan dengan kerbau. “Harga gantinya sesuai dengan tingkat kerusakan. Kadang bisa mencapai 500 ribu rupiah, seperti yang pernah saya alami. Ini dikarenakan, perawat gajah harus bertanggung jawab dengan gajah yang dirawatnya,” tuturnya.

Dampak lainnya, suhu udara di Bukit Serelo menjadi panas. Terutama pada siang hari. Persawahan dan kebun masyarakat menjadi terganggu karena diserang babi hutan yang habitatnya terganggu. “Pokoknya kita menderita, orang lain hidup makmur,” ujar Ramlan.

Senada dengan Ramlan, Jurai, petani Desa Sukamerindu, juga mengeluhkan keberadaan pertambangan batubara tersebut. “Pohon kopi dide (tidak) lebat lagi seperti dulu. Ini akibat suhu panas dari penambangan batubara yang banyak membuka hutan,” katanya.

Ya, sekitar 127.195 jiwa menetap di sembilan desa yang masuk Kecamatan Merapi Selatan dengan luasan 4.361,83 kilometer persegi ini. Sembilan desa itu adalah Padangbaru, Padanglama, Tanjungmenang, Talangakar, Lubuk Bedaro, Suka Merindu, Lebuk Betung, Perangai, dan Geramat. Mayoritas masyarakatnya bertani padi serta berkebun kopi dan tembakau.

Tercatat, ada empat perusahaan pertambangan batubara yang eksis di Merapi Selatan ini. Tiga perusahaan telah berproduksi yaitu PT. Dianrana Petrojasa, PT. Era Energi Mandiri, dan PT. Sarana Cipta Gemilang. Satu lagi, PT. Bima Putra Abadi Citranusa, yang baru mendapatkan izin eksplorasi tapi ajaibnya perusahaan ini sudah melakukan penambangan.

Walhi Sumsel mensinyalir, dua perusahaan telah melakukan pencemaran terhadap Sungai Suban yang merupakan sumber air bersih warga di enam desa yakni Desa Padangbaru, Padanglama, Tanjungmenang, Talangakar, Lubuk Bedaro, dan Suka Merindu. Kedua perusahaan itu adalah PT. Dianrana Petrojasa dan PT. Era Energi Mandiri.

Kegiatan pertambangan di sekitar Gunung Serelo terus berlangsung hingga saat ini. Foto: Muhammad Hairul Sobri
Kegiatan pertambangan di sekitar Gunung Serelo terus berlangsung hingga saat ini. Foto: Muhammad Hairul Sobri

Sumatera Selatan yang dikenal dengan sebutan Bumi Sriwijaya, secara administratif terdiri atas 11 Pemerintah Kabupaten dan 4 Pemerintah Kota. Saat ini, Sumatera Selatan dipimpin oleh Alex Nurdin (Gubernur) dan Ishak Mekki (Wakil), yang akan menjabat hingga 2018.

Cadangan batubara di provinsi ini diperkirakan sebesar 18,13 miliar ton atau 60% dari cadangan batubara nasional. Mutu cadangan batubara pada umumnya berjenis lignit dengan kandungan kalori antara 4800-5400 Kcal/kg. Cadangan batubara tersebut baru dikelola PT. Bukit Asam dan PT. Bukit Kendi pada lokasi Kabupaten Muara Enim. Sedangkan cadangan sebanyak 13,07 miliar ton belum dikelola sama sekali.

Meski begitu, pertambangan batubara di Sumatera Selatan memang merupakan kegiatan ekonomi yang paling banyak menggunakan lahan. Dari 8,7 juta hektar luas Sumatera Selatan, sekitar 2,7 juta hektar nya diperuntukan bagi perusahaan batubara yang jumlahnya 300-an. Sebarannya ada di Kabupaten Musi Banyuasin, Musirawas, Lahat, dan Muara Enim.

Mengapa bisa sebanyak itu? Bila dicermati, banyaknya perizinan batubara yang dikeluarkan pemerintah Sumatera Selatan terjadi setelah pemilihan kepala daerah Gubernur pada 2008 yang kala itu dimenangkan pasangan Alex Noerdin-Eddy Yusuf.

Betapa tidak, tahun 2009 saja ada sekitar 1,2 juta hektar lahan diberikan izin penambangan batubara. Selanjutnya, 2010 seluas 928.700 hektar; 2011 seluas 483.881 hektar; dan 2012-2013 seluas 205.000 hektar. Meski begitu, ledakan perizinan batubara ini sebenarnya dimulai dari kampanye “Lumbung Energi” yang dilakukan Gubernur Sumsel Syahrial Oesman (2003-2008).

Terkait batubara ini, Alex Nurdin pernah mengeluhkan dana bagi hasil pertambangan, minyak, dan gas untuk daerah di Sumatera Selatan, Kamis (10/7/2014). Setiap tahun, Sumsel hanya mendapatkan Rp600 miliar dari royalti batubara. Sementara, batubara yang dihasilkan mencapai Rp6 triliun.

Menurut Alex, royalti tersebut tidak sesuai dengan kerusakan lingkungan sebagai dampak aktivitas industri tambang. Revisi besaran anggaran dana bagi hasil pusat telah dilakukan, yang sebelumnya 15 persen menjadi 25 persen. Penjelasan ini diucapkan Alex di Palembang 10 Juli 2014 lalu

Walhi Sumsel sendiri meminta agar aktivitas penambangan batubara dihentikan karena  merupakan industri kotor dan merusak lingkungan. Ada indikasi juga terjadinya korupsi dalam pemberiaan izin maupun pengemplangan pajak, dan yang paling mencemaskan adalah korban jiwa akibat kecelakaan.

Sementara, JJ Polong dari Spora Institute mengusulkan sebaiknya Pemerintah Sumatera Selatan tidak bergantung pada batubara dengan mengembangkan pertanian dan perkebunan yang belum dimaksimalkan.

Polong menilai, Sumatera Selatan juga memiliki potensi mengembangkan pariwisata budaya seperti artefak Pasemah, peninggalan Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Palembang, hingga Kesultanan Palembang Darussalam.

Aksi ribuan truk pengangkut batubara di kantor Gubernur Sumsel awal 2013 lalu. Mereka protes peraturan yang melarang truk melintas di jalan umum. Foto: Taufik Wijaya

Meski aktivitas penambangan batubara saat ini belum merusak situs megalitik di Lahat, namun sejumlah pekerja budaya sudah wanti-wanti. Pemerintah dan masyarakat diminta pula menjaga keberadaan situs megalitik dari ancaman tambang batubara maupun tambang lainnya. Termasuk, perkebunan.

“Sampai saat ini, belum ada pertambangan batubara yang mengganggu situs megalitik. Tapi jika tidak dijaga, bisa saja akan mengganggu atau merusak,” kata Mario.

Hal senada disampaikan Kristantina Indriastuti dari Balai Arkeologi Palembang. “Sampai saat ini, petambangan batubara memang belum menyentuh wilayah situs yang sudah ditemukan. Tapi, kita tetap harus hati-hati, sebab banyak wilayah yang belum dilakukan penggalian.”

”Saya berharap masyarakat dapat berperan dalam penjagaan situs megalitik ini,” ujarnya.

Kristantina menjelaskan, umumnya situs-situs yang ditemukan di Kabupaten Lahat berada di persawahan, ladang-ladang atau kebun kopi dan bahkan berada di pekarangan rumah.

Beberapa situs yang telah diidentifikasi adalah; Lubuk Tabun, Pajar Bulan, Tanjung Telang, Karang Dalam, Lesung Batu, Pagaralam, Tinggihari, Sawah Jemaring, Gunung Megang, Kampung Bakti, Pajar Bulan, Muara Danau, Muara Dua, Gunung Kaya, Rambai Kaca, Pulau Panggung, Kotaraya Lembak, Sinjar Bulan, Tebat Sibentur, Tegurwangi, Tanjungsirih, Air Purah, Geramat, Tanjung Beringin, Muara Payang, Karang Dalam, Rindu Hati, Muara Danau, dan Nanding.

Ancaman tersebut dikarenakan potensi batubara di Kabupaten Lahat bukan hanya berada di kawasan Merapi. Diduga, potensi batubara tersebut juga ada di wilayah Gumay, Kikim dan Pulau Pinang, yang hingga kini masih ditemukan berbagai situs megalitik dan peninggalan prasejarah lainnya.

Marwan Mansyur, Wakil Bupati Lahat, saat menjabat Asisten I Kabupaten Lahat, Sabtu (23/02/2013) mengatakan, potensi batu bara di Lahat, selain di Kecamatan Merapi Barat,  terdapat juga di Merapi Timur, Kota Lahat, Pulau Pinang, Kikim Barat, Gumay Talang, serta Kikim Timur, yang potensinya sebesar 2,9 miliar ton.

Arca ini dinamakan arca manusia. Arca ini menggambarkan tokoh yang menggunakan topi di Komplek Megalitik Tinggi Hari III, Lahat. Foto: Rahmadi Rahmad

Inilah arca manusia. Arca ini menggambarkan tokoh yang menggunakan topi dengan tubuh yang kekar dan posisi kepala agak kedepan. Arca ini berada di Komplek Megalitik Tinggi Hari III, Lahat. Foto: Rahmadi Rahmad

Berdasarkan penelusuran Mongabay Indonesia, Gumay merupakan wilayah yang banyak ditemukan situs megalitik. Seperti di Tinggi Hari, yang memiliki tiga lokasi situs (Tinggi Hari I, II dan III). Kemudian di halaman Camat Gumay Ulu, serta di Desa Tanjung Raja (Komplek Megalit Tanjung Raya) yang baru ditemukan. “Kemungkinan akan lebih banyak lagi ditemukan. Sebab wilayah itu sangat ideal sebagai lokasi permukiman manusia di masa lalu,” ujar Kristantina.

Bagaimana menjaga keberadaan situs megalitik tersebut? Menurut Mario, Pemerintah Kabupaten Lahat  harus menetapkan situs megalitik tersebut sebagai cagar budaya. “Jika sudah ditetapkan sebagai cagar budaya, selanjutnya dilakukan penjagaan misalnya menjadikan situs megalitik tersebut sebagai objek wisata.”

Pada 2012 lalu, MURI memberikan rekor kepada Kabupaten Lahat sebagai daerah yang paling banyak tinggalan megalitik. Sebanyak 1.027 tinggalan megalitik pada 41 situs.

Erwan Suryanegara lebih jauh lagi memandang. Dia berharap Kabupaten Lahat membangun museum dan miniatur megalitik Pasemah. “Jika menjadi objek wisata dan ilmu pengetahuan, maka situs-situs tersebut akan terjaga.”

Itu situs megalitik. Bagaimana dengan gajah? “Ya, hentikan semua aktivitas penambangan batubara, sehingga alam di sini kembali nyaman bagi gajah dan satwa lainnya. Hutan yang rusak ditanami lagi,” kata Ramlan.

Hadi Jatmiko dari Walhi Sumsel, menilai selama kegiatan tambang batubara berlangsung di Kabupaten Lahat dan kabupaten lainnya, maka keberadaan satwa seperti gajah akan terancam. Solusinya dengan melakukan moratorium izin tambang batubara.

Langkah berikutnya, me-review perizinan, menyelesaian konflik dengan mendorong pembentukan lembaga penyelesaian konflik, serta menegakkan hukum atas pelanggaran hukum yang dilakukan perusahaan.

“Gajah merupakan satu persoalan satwa. Belum lagi harimau sumatera. Persoalan ini bercampur dengan persoalan lingkungan lainnya, termasuk pula menciptakan kemiskinan bagi masyarakat,” ujarnya.

Sementara REDD+ yang beberapa waktu lalu menandatangani kerjasama dengan pemerintah Sumsel akan melakukan proyek reklamasi pasca-tambang batubara, konservasi, dan restorasi catchment area di Kabupaten Lahat.

Pengelola program ini melibatkan perusahaan batubara dan Perda Jasa Ekosistem. Hal yang sama juga dilakukan di Kabupaten Muara Enim, yang melibatkan PT. Batubara Bukit Asam.

“Ini langkah yang diambil REDD+ dan Pemerintah Sumsel guna mengatasi persoalan lingkungan hidup akibat aktivitas pertambangan batubara di Sumsel,” kata Najib Asmani, staf ahli lingkungan hidup dan perubahan iklim Gubernur Sumsel.

Arca seorang ibu menyusui anaknya. Arca ini berada di Komplek Megalitik Tinggi Hari II, Lahat. Foto: Rahmadi Rahmad
Arca seorang ibu menyusui anaknya. Arca ini berada di Komplek Megalitik Tinggi Hari II, Lahat. Foto: Rahmadi Rahmad

Banyak persoalan yang dilahirkan akibat aktivitas tambang batubara. Selain terancamnya satwa, alam dan situs megalitik, batubara juga membawa persoalan pelik bagi kelancaran transportasi di Sumsel. Jalan umum menjadi tidak aman dan nyaman bagi masyarakat, sebab setiap hari ribuan truk melintas.

Diperkirakan, setiap hari sekitar 4.000-an truk lalu-lalang mengangkut batubara dari Lahat menuju Muara Enim. Adapun jalan umum, baik jalan negara, kabupaten, kota maupun provinsi, yang digunakan jaraknya sepanjang 669 kilometer.

Rutenya adalah Lahat-Kotabumi sepanjang 383 kilometer, Lahat-Palembang sepanjang 276 kilometer, serta Palembang-Tanjung Api-api yang melintasi wilayah jalan umum di Palembang sepanjang 10 kilometer.

Dampaknya sungguh luar biasa, kemacetan lalu-lintas. Kemacetan yang sering terjadi berada di sepanjang jalan Indralaya-Palembang. Ini dikarenakan truk pengangkut batubara bertemu dengan kendaraan umum dari Jalan Lintas Timur Sumatera.

Terkait permasalahan ini, memang Gubernur Sumatera Selatan telah mengeluarkan surat keputusan tentang larangan angkutan batubara melintasi jalan umum, terhitung 1 April 2012. Sampai saat ini keputusannya masih berlaku. Namun, truk tetap melintasi jalan raya setiap hari. Alasannya, Jalan khusus yang disediakan, seperti Jalan Servo yang menghubungkan Lahat-Muara Enim, dinilai tidak layak.

Kepala Dinas Perhubungan Sumsel Musni Wijaya, awal Mei 2014, juga pernah mengatakan akan melakukan tilang di tempat terhadap truk angkutan batubara yang tertangkap melintasi jalan umum. Baik itu jalan nasional maupun jalan provinsi. Suratnya juga telah dikirimkan ke pengadilan untuk dibuatkan draf maupun kisaran denda. Namun, hingga kini belum ada kabar kelanjutannya.

Sebaliknya, protes maupun penolakan sudah disampaikan masyarakat dan organisasi lingkungan hidup. Tapi protes dan penolakan tersebut seperti “angin lalu” bagi pemerintah maupun perusahaan.

Ada apakah gerangan? Kemungkinan besar aktivitas batubara menjadi ajang korupsi yang paling empuk. Berdasarkan telaah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), di Sumsel hingga 2014 terdapat 359 izin usaha pertambangan (IUP). Dari jumlah tersebut, 31 pelaku usaha tidak memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP). Data Direktorat Jenderal Pajak (April 2014) pun menyebutkan, dari 241 wajib pajak, hanya 18 yang melakukan pelaporan penghitungan pajak.

“Fakta tersebut mengindikasikan ada kemungkinan tindak korupsi dalam usaha pertambangan batubara di Sumsel,” kata Dr. Tarech Rasyid, dalam sebuah diskusi di Palembang, pertengahan September 2014.

Tarech pun berteori. Sumber korupsi di pemerintahan daerah ada dua yakni perizinan dan APBD. Perizinan ini dapat disebut politik perizinan yang berhubungan dengan kekuasaan. Dalam konteks ini, ruang praktik korupsi, suap menyuap, dan gratifikasi terbuka.

“Politik perizinan dalam pertambangan batubara, termasuk perkebunan dan sebagainya, selalu terbuka untuk memungkinkan praktik korupsi. Apakah perizinan itu terkait dengan suksesi kepala daerah, terutama incumbent? Jawabnya sangat mungkin karena pilkada membutuhkan biaya politik yang cukup besar,” lanjutnya.

Boleh jadi, kebijakan regulasi yang diinisiasi pemerintah daerah (pemda) dan DPRD yang berkaitan dengan perizinan sudah dirancang untuk dijarah atau dikorup. Artinya, korupsi itu sudah ada dalam pikiran. Selanjutnya, dibuatlah regulasi berkaitan APBD.

Apa yang harus dilakukan? “Diperlukan gerakan masyarakat sipil. Masyarakat harus mengambil peran sebagai pemantau. Masyarakat tidak bergantung pada lembaga penegakan hukum, meskipun eksekusi hanya dapat dilakukan lembaga penegak hukum tersebut,” katanya.

Hal senada dipaparkan Hadi Jatmiko. “Peran aktif masyarakat diperlukan untuk mengawasi setiap izin maupun operasional pertambangan tersebut. Termasuk pula aktif mengkampanyekan berbagai persoalan lingkungan yang ditimbulkannya, sehingga moratorium izin pertambangan batubara akan berjalan. Dalam hal ini dapat pula mendorong review perizinan pertambangan batubara, serta menyelesaikan berbagai konflik yang ditimbulkannya.

Sementara pemerintah, diharapkan terbuka mengenai perizinan batubara seperti yang dimandatkan Undang-undang No 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. “KPK dan aparat penegak hukum harus melakukan penegakan hukum terhadap perusahaan pelaku kejahatan hutan dan lingkungan hidup serta mengawasi setiap pemberian izin di daerah,” kata Hadi.

Inilah peta tumpang tindih konsesi pertambangan dengan kawasan lindung. Sumber: Walhi Sumsel

Kamis, (18/09/2014), Anwar Sadat, Mantan Direktur Walhi Sumsel dan kini memimpin organisasi tani Serikat Petani Sriwijaya (SPS) terpilih menjadi ketua Forum Masyarakat Pemantau Batubara (For Batu). For Batu merupakan perwujudan dari rekomendasi focus group discussion (FGD) yang diadakan 9 September 2014 di Palembang dengan judul “Politik Batubara dan Peranan Masyarakat Sipil di Sumatera Selatan.”

Forum ini dibentuk atas keprihatinan masyarakat sipil terhadap pemerintah yang dianggap tidak menghiraukan kelestarian lingkungan akibat kegiatan pertambangan batubara. Melalui forum ini nantinya kegiatan pemantauan dan advokasi terhadap batubara yang jelas-jelas tidak berpihak kepada masyarakat dan lingkungan hidup di Sumatera Selatan akan terus dilakukan.

Menurut Anwar Sadat, langkah konkrit yang akan dijalankan For Batu adalah dengan melihat segala perizinan batubara yang telah dikeluarkan pemerintah. Ini terkait dengan kapan izin diberikan, dimana lokasinya, termasuk apakah wilayahnya masuk dalam kawasan hutan lindung, suaka marga satwa, taman nasional, bahkan situs budaya.

Langkah berikutnya adalah mencatat dampak negatif yang dihasilkan dari kegiatan tambang tersebut. Ini bisa dicermati dari kondisi tutupan hutan, pencemaran yang ditimbulkan baik air maupun udara, konflik lahan dengan masyarakat, flora dan fauna yang berkurang, situs budaya yang rusak, serta dampak buruk sosial ekonomi yang harus diterima masyarakat, baik masyarakat setempat maupun masyarakat Sumatera Selatan keseluruhan.

Anwar Sadat juga tidak menafikkan bila langkah hukum harus ditempuh andai protes yang dilakukan yang tentunya disertai bukti nyata tidak mengubah kondisi yang ada.

Kolam batubara di Lahat, Sumsel. Eksploitasi batubara diduga merupakan faktor pendorong alih fungsi kawasan hutan. Foto: Walhi Sumatera Selatan

Hadirnya For Batu memang sudah ditunggu. Hadi Jatmiko, Walhi Sumsel, menyatakan ada sinyalemen bahwa pemerintah Sumatera Selatan akan lebih giat lagi mengambil batubara. Ini terlihat dari ucapan Alex Nurdin, saat tahun pertama periode kedua terpilih, yang mengatakan bahwa lima tahun kedepan, harga batubara akan tidak ada apa-apanya sehingga harus dipercepat pengambilannya.

Sebagai gambaran, berdasarkan data Walhi Sumsel, sekitar 801.160 hektar tambang batubara dari luasan 2,7 juta hektar, berada di kawasan hutan. Rinciannya adalah 6.293 hektar di hutan konservasi (12 unit), 67.298 hektar di hutan lindung (21 unit), dan 727.569 hektar di hutan produksi (158 unit). Sisanya sekitar 1.985.862 hektar atau sebanyak 245 unit berada di areal penggunaan lain.

Sekitar 359 perusahaan memegang luasan konsesi tersebut. Namun, setelah didata, baru sekitar 264 perusahaan pemegang IUP yang sudah beroperasi, sedangkan 23 perusahaan atau sekitar 8,7 persen belum teridentifikasi.

Kekhawatiran masyarakat Sumatera Selatan akan rusaknya lingkungan akibat tambang batubara memang beralasan. Nurhadi Rangkuti, Kepala Balai Arkeologi Palembang, usai membuka Sekolah Lapangan Arkeologi atau Archaeological Fieldschool di Palembang (6/10/2014), menyatakan bahwa upaya pelestarian cagar budaya terkait erat dengan kondisi lingkungan.

Nurhadi menyitir UU Nomor 5 Tahun 1992 yang menyebutkan bahwa semua benda cagar budaya dikuasai negara dan pengelolaan benda cagar budaya dan situs adalah tanggung jawab pemerintah. “Ancaman yang datang dalam upaya pelestarian cagar budaya dapat berupa alih lahan untuk kegiatan ekonomi, agribisnis, industri, permukiman, hingga pertambangan.

Sebagai analogi, situs Air Sugihan yang berada di Kecamatan Air Sugihan, Kabupaten Ogan Komering ilir (OKI) dan Banyuasin memiliki benda situs arkeologi yang berada di aliran sungai yang telah mati akibat pembuatan jalur air guna mendukung daerah transmigrasi semasa Orde Baru. Situs tersebut, saat ini sebagian besar berubah menjadi lahan transmigrasi.

Bagaimana MP3EI? Proyek Masterplan Percepatan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia yang dicanangkan sejak 2011 ini juga mengancam keberadaan lingkungan hidup dan situs arkeologi.

Sumatera Selatan yang masuk koridor MP3EI menyebabkan lima juta hektar lahannya diperuntukkan untuk perkebunan dan pertambangan batubara. Kegiatan batubara ini tentunya sedikit banyaknya akan mengancam situs megalitik yang tersebar di Lahat. Mengingat, situs dengan cita rasa sejarah yang tinggi itu berada di wilayah yang memiliki potensi batubara yang begitu besar.

Arca manusia bersujud di Komplek Megalit Tanjung Raya, Lahat, berada di tengah perkebunan masyarakat. Foto: Rahmadi Rahmad
Arca manusia bersujud di Komplek Megalit Tanjung Raya, Lahat, berada di tengah perkebunan masyarakat. Foto: Rahmadi Rahmad

Siang masih menyelimuti Pusat Latihan Gajah (PLG) Bukit Serelo. Terik mentari begitu perkasa memancarkan sinarnya. Dari kandang makan yang juga berfungsi sebagai rumah gajah itu, kami menerawang sekeliling sekolah gajah ini.

Ada Ardo, yang tetap mematung di bawah pohon. Ada sungai Milang yang setia mengalir meski airnya keruh. Ada juga Bukit Jempol yang sekilas seperti bangunan candi. Ya, bukit yang sampai saat ini masih diteliti, apakah bawaan alam atau buatan manusia? Terlepas dari kontroversi itu semua, sebagai pemandangan alam yang menawarkan keajaiban, bukit ini akan terasa sulit untuk tidak dikenang.

Sementara, lima kilometer dari sekolah gajah ini, berdiri gagah perusahaan tambang yang terus mengeruk isi bumi, menanduskan alam sekitar, dan memuntahkan limbahnya dalam bentuk polusi air maupun udara ke lingkungan sekitar.

Padahal, wilayah bersejarah ini, dahulunya tempat berkumpul gajah dan merupakan daerah peradaban tinggi megalitikum di Bukit Barisan.

Pusat Latihan Gajah (PLG) Bukit Serelo, Desa Padang Baru, Kecamatan Merapi, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan. Berdasarkan data PLG Serelo, ada 13 gajah sumatera di sekolah ini. Foto: Rahmadi Rahmad
Pusat Latihan Gajah (PLG) Bukit Serelo, Desa Padang Baru, Kecamatan Merapi, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan. Berdasarkan data PLG Bukit Serelo, ada 13 gajah sumatera yang berada di sekolah ini. Foto: Rahmadi Rahmad

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,