,

Menambang Ilegal di Boyan Tanjung, 11 Warga Tiongkok Divonis Dua Tahun Penjara

Pengadilan Negeri Pontianak memvonis dua tahun penjara bagi 11 warga Tiongkok karena melakukan penambangan ilegal di Boyon Tanjung, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, Rabu (22/10/2014). Vonis ini lebih berat dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU), yakni 10 bulan penjara. Tidak terima atas putusan ini, melalui pengacaranya, mereka menyatakan banding.

Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pontianak Torowa Daeli, selain menjatuhkan hukuman dua tahun penjara kepada 11 warga Tiongkok tersebut, memberikan denda pula masing-masing Rp1 miliar. Sebelumnya, JPU menuntut kurungan 10 bulan dan denda Rp1 miliar.

Ke-11 tenaga kerja asing ini dijerat pasal 158 UU No 4 tahun 2009 tentang Pertambangan, Mineral dan Batubara; UU No 18 tahun 2003 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan; serta UU No 32 tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup.

“Para terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana penambangan ilegal di Boyan Tanjung, sehingga semua unsur dakwaan JPU terpenuhi, dan telah terbukti melakukan tindak pidana,” kata Torowa Daeli. Hakim juga mengungkapkan hal-hal yang memberatkan dalam persidangan tersebut.

Menurut Torowa, para terdakwa secara hukum terbukti melakukan penambangan di kawasan hutan lindung, dan telah merusak lingkungan. Perbuatan para terdakwa, merugikan kekayaan alam negara yang tidak bisa diperbaharui.

“Jika denda tidak bisa dibayarkan, maka hukuman para terdakwa akan ditambah masing-masing empat bulan,” jelasnya. Hakim juga memerintahkan dua unit eksavator yang dijadikan alat bukti disita negara.

Dalam persidangan, Ketua Majelis Hakim PN Pontianak juga memerintahkan pada JPU agar berkoordinasi dengan penyidik dari Polda Kalbar untuk mengusut tuntas kasus itu. Terutama Mr Lee, pemilik PT. Cosmos Inti Persada, yang mempekerjakan sebelas WNA tersebut. Mr Lee sendiri buron, dan menjadi DPO Interpol.

Abdul Samad, Jaksa Penuntut Umum,  menyatakan, menerima putusan hakim tersebut. Dia mengatakan wajar, jika penasehat hukum para terdakwa mengajukan banding dan itu merupakan hak terdakwa yang diatur dalam perundangan-undangan. “Terkait proses terhadap Mr Lee, kami akan teruskan kepada penyidik Polri,” ungkapnya.

Bukan pertambangan

Penasehat hukum 11 terdakwa, Widi Syailendra, menyatakan hakim salah tafsir dengan fakta-fakta di persidangan. Karena, dia berani menyatakan sejak awal, kliennya bisa bebas, karena jeratan hukum lemah.

“Sejak awal yakin klien bebas. Maka setelah diputus dua tahun, secara tegas kami menolak putusan hakim, dan langsung daftar banding,” kata Widi, usai persidangan. Dia mengatakan, hakim banyak salah tafsir terhadap hal-hal yang menjadi pertimbangan.

Diantaranya, para tenaga kerja dinyatakan tidak membawa izin sewaktu kerja di lapangan. Padahal, menurut Widi, hal itu sangat wajar karena sebelas warga asing tersebut hanya tenaga lapangan. Ketika diminta untuk menunjukkan izin kerja, baru mereka sertakan.

Hal lainnya, terkait peralihan saham. Hakim menyatakan tidak sah, karena tidak diberitahukan kepada bupati, selaku pemberi izin. Namun, peralihan saham, bukan peralihan Perusahaan. Ketika jaksa menghadirkan saksi dari BKPM, saksi tersebut juga menyatakan hal itu sesuai peraturan. “Badan hukum yang bermasalah, yang bertanggung jawab direksinya. Bukan pekerja,” tambahnya.

Widi mengatakan, 11 warga ini hanya pekerja biasa. “Penahanan mereka disini, bukan hanya menahan 11 warga tetapi 11 keluarga  yang  tidak dinafkahi,” tambahnya. “Para pekerja asing tersebut tidak melakukan kegiatan penambangan. Mereka, baru mengambil sampel untuk diteliti kandungan tanahnya.”

Dalam persidangan ini, Widi didampingi Jimmy Dohar Pandapotan Sihombing, Herman Santoso, serta penerjemah Daruma Daishi. Sidang kasus itu, dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Torowa Daeli, dengan hakim anggota Sugeng Warmanto, dan Syofia Marlianti Tambunan. Sebelumnya, penasihat hukum 11 warga Tiongkok ini minta Komisi Yudisial dan Komisi Pemberantasan Korupsi agar mengawasi proses sidang kliennya di Pengadilan Negeri Pontianak.

Areal lindung

Sebagai penjelasan, warga Tiongkok tersebut ditangkap Polda Kalbar yang bekerja sama dengan Dinas Kehutanan Kalbar pada pertengahan Desember 2013. Kepala Bidang Humas Polda Kalbar, AKBP Mukson Munandar mengatakan mereka melakukan penambangan liar dengan menebang hutan lindung dan hutan produksi terbatas di Dusun Kalang, Desa Naga Betung, Kecamatan Boyan Tanjung, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.

Dalam penangkapan tersebut, petugas berhasil menyita hasil galian berupa logam, emas, dan sejumlah peralatan untuk menggali. Menurut Mukson, perusahaan tersebut diduga melakukan pelanggaran karena tidak dapat menunjukkan perizinan yang dimiliki termasuk izin pinjam pakai kawasan hutan dari Menteri Kehutanan.

Dalam operasi itu tim juga menemukan pembuatan jalan sepanjang 27.996 meter dengan lebar 10 meter. Sepanjang 18.801 meter berada di kawasan hutan produksi terbatas dan 9.195 meter di kawasan hutan lindung. Sejumlah tenaga kerja lokal juga dipekerjakan sebagai tukang masak dan membangun kamp di wilayah itu. Mukson menduga, aktivitas perusahaan tambang telah dilakukan sejak setahun.

Kepada media WWF Indonesia Program Kalimantan Barat, Albertus Tjiu, mengatakan perusahaan tambang yang hendak membuka kawasan hutan lindung harus memiliki izin yang disebut pinjam pakai kawasan. Aturan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.43/Menhut-II/2008 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan.  “Dalam aturan itu dijelaskan, pinjam pakai kawasan hutan tidak boleh mengubah status, peruntukan dan fungsi kawasan hutan tersebut. Pinjam Pakai Kawasan ini harus diajukan pada Kementerian Kehutanan sebagai institusi yang mengatur kawasan hutan lindung,” ungkapnya.

Jika hutan lindung dibuka tanpa adanya izin pinjam pakai kawasan, ini berarti  ilegal. Albert menekankan pentingnya keberadaan hutan lindung agar fungsi-fungsi ekologisnya terutama menyangkut tata air dan kesuburan tanah tetap terjaga. Secara lebih luas, kerusakan hutan lindung bisa menyebabkan bencana.

Sidang kasus ini mendapat kawalan dari Masyarakat Bala Adat Dayak. Awalnya mereka melakukan unjuk rasa kepada Kejaksaan Tinggi Kalbar, yang hanya menuntut warga Tiongkok itu 10 bulan penjara. Ketua Bala Adat Dayak Didi, mengatakan, harusnya mereka dituntut hukuman maksimal. “Mereka telah melakukan penambangan dan perambahan hutan lindung di Kapuas Hulu. Harus dijerat tiga undang-undang  yakni UU No 4/2009, UU No 18/ 2013, serta UU No 32/2009,” ujarnya.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,