,

Ritual Adat Pompaura Posunu Rumpu, Cara Suku Kaili Menjaga Lingkungan

Rabu di pertengahan Oktober 2014. Satu persatu warga di Kelurahan Lasoani, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu, mulai berkumpul di tanah lapang. Meski terik menyengat, tak menyurutkan langkah mereka. Warga menggelar terpal sebagai alas duduk dan sebagian membawa sesajen. Seorang lelaki paruh baya maju ke depan. Tak lama kemudian, sebuah permohonan diucapkan. Dengan menggunakan bahasa daerah mulutnya komat kamit. Suaranya terdengar berat.

Ya, ini adalah ritual adat Pompaura Posunu Rumpu yang dilakukan oleh Suku Kaili, suku asli di Sulawesi Tengah. Sudah tiga bulan ini, Kota Palu dan sebagian wilayah di Sulawesi Tengah mengalami musim kemarau. Hujan tak kunjung turun. Tanaman mengalami kekeringan. Sehingga, perlu dilakukan ritual adat.

Pompaura Posunu Rumpu adalah salah satu ritual adat yang dilaksanakan secara turun-temurun oleh Suku kaili. Pompaura dalam Bahasa Indonesia artinya mengembalikan. Sedangkan Posunu artinya menggeser, menyingkirkan, atau membersihkan. Dan Rumpu artinya kotoran. Pompaura Posunu Rumpu bisa diartikan menyingkirkan atau membersihkan kotoran dan mengembalikan kepada pemilik-Nya.

“Tujuannya dilakukan ritual adat ini untuk membersihkan kampung dari hal-hal buruk, tolak bala, tolak sial dan yang lainnya. Juga meminta hujan,” kata Baharuddin (74), salah seorang pemangku adat.

Selain itu, katanya, dengan ritual adat tersebut, seluruh warga kampung memohon kepada Tuhan yang mahakuasa agar dihindarkan dan dilindungi dari berbagai bencana dan bahaya.

Ritual adat seperti ini sudah lama ditinggalkan. Kalaupun ada yang melaksanakan itu hanya sebagian kecil saja. Padahal, dulu ritual adat Pompaura Posunu Rumpu dilaksanakan secara berurutan oleh setiap kampung, mulai dari komunitas yang bermukim di pegunungan sampai komunitas yang bermukim di lembah Palu.

Makko (52), salah seorang tokoh adat atau biasa disebut tolanggara menjelaskan, prosesi ritual adat ini dimulai dengan memohon izin kepada Tuhan dan para leluhur agar semua kegiatan berjalan lancar. Hal ini untuk  menghindarkan diri dari segala macam hal yang tidak diinginkan.

“Kalau kita tidak izin, yang ditakutkan nanti ada yang keteguran atau kemasukan roh jahat saat ritual adat dilaksanakan,” kata Makko.

Menurutnya, sesajen yang digunakan untuk memohon izin kepada sang pecipta dan para leluhur terdiri dari nasi ketan, satu butir telur ayam kampung yang sudah direbus, beras kuning dan sambulu gana. Sambulu gana menurut orang Palu merupakan satu rangkaian yang terdiri dari kapur, sirih pinang, gambir dan tembakau. Di Pulau Jawa biasanya dikenal dengan menginang.

“Setelah permohonan izin dilaksanakan, barulah prosesi ritual adat selanjutnya dilaksanakan.”

Mata air mebere

Bagi masyarakat Kaili, Pompaura Posunu Rumpu merupakan salah satu ritual adat  sakral yang penuh nilai-nilai spiritual. Mengawali prosesi ini, gimba atau gendang akan ditabuh. Penabuh gimba ini bisanya disebut bule. Tabuhan gendang ini juga bertujuan memanggil warga agar segera berkumpul di tempat pelaksanaan upacara. Tabuhan gendang yang khas ini bisa menggerakan warga untuk datang ke tempat pelaksanaan upacara adat.

Setelah warga berkumpul, barulah salah seorang tolanggara memercikan air dari mata air mebere kepada para warga. Air mebere yang dipercikan kepada warga ini menggunakan daun. Ritual ini disebut novemba.

Seorang tolanggara kemudian mengelilingi warga yang sudah berkumpul sebanyak tiga kali sambil memercikan air mebere. Ritual memercikan ini untuk mensucikan diri dan mengusir segala macam bentuk pengaruh buruk roh jahat.

Mata air mebere ini terletak di kelurahan Lasoani. Menurut warga, sudah ratusan tahun terus mengalir walau kemarau panjang seperti saat ini. Indra (25), salah seorang warga Lasoani mengatakan, air yang mengalir di bawah pohon beringin besar itu sering digunakan warga untuk kebutuhan air bersih dan kebutuhan rumah tangga lainnya.

“Dulu tahun 80-an mata air ini pernah hampir kering, setelah dilakukan prosesi adat barulah airnya banyak lagi. Sekarang sudah tidak pernah kering. Biasanya kalau air PDAM mati, warga banyak yang mengambil air di sini,” kata Indra.

Untuk menjaga agar air mebere tidak kering, warga dilarang menebang pohon yang menjadi penyangga kawasan tersebut. Salah seorang warga lainnya, Arwan (30), mengatakan ada sanksi adat yang diberikan jika warga atau siapapun yang kedapatan menebang pohon di wilayah dekat mata air tersebut.

“Sesuai adat, sanksi terberat yakni pelaku yang berulang melakukan pelanggaran harus menyerahkan satu ekor kambing. Jika pelaku tidak mampu membayar, warga bergotong royong diminta untuk membantu,” kata Arwan.

Menurutnya, tak hanya sanksi adat, sanksi sosial juga diberikan terhadap warga yang kedapatan mengintip para perempuan yang tengah mandi di mata air mebere ini.

Selanjutnya, sesajen yang telah siap akan diletakkan di sebuah pohon bernama vunja. Pohon vunja merupakan pohon yang dibuat dari rangkain janur kelapa yang diikat di sebuah pohon. Penganan berupa ketupat, jagung rebus dan sebagainya diikatkan di janur-janur tadi.

Dua hingga tiga orang akan memanjat pohon vunja tersebut dan menjatuhkan penganan yang diikat di janur ke kerumunan warga. Dengan iringan gendang, warga berebut mendapatkan penganan itu. Mereka berharap, ada berkah dari ritual adat ini, terlebih mereka telah mendapat percikan air mebere.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,