, ,

Kala 9 Komunitas Adat di Jayapura Peroleh Pengakuan

Pieter Yanuaring mengusap peluh di wajah. Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Jayapura ini, berjalan menuju panggung penuh percaya diri, diikuti sejumlah tokoh adat lain di Jayapura.

“Saya mewakili sembilan suku masyarakat hukum adat di Kabupaten Jayapura menyampaikan ucapan terima kasih atas pengakuan keberadaan kami. Semoga hari ini di tanah ini, sejarah baru terjadi,” katanya.

Sembilan Dewan Adat Suku (DAS) di Kabupaten Jayapura, itu adalah, DAS Suku Sentani-Buyakha, DAS Imbi-Numbai, DAS Oktim, DAS Tepra, DAS Djoukari, DAS Elseng, DAS Demutru DAS Moi dan DAS Yowari.

“Masyarakat adat di negeri dianggap sudah mati. Hukum di negeri ini  bilang tanah, hutan, laut dan seluruh sumber daya alam semua milik negara. Tetapi hari ini Bupati Jayapura, Mathius Awoitouw bilang kamu masih ada, kamu masih hidup kamu punya jati diri dan harga diri.”

Jumat (24/10/14), menjadi hari penting bagi masyarakat adat di Jayapura. Ratusan orang dari sembilan komunitas adat berkumpul di halaman kantor bupati. Mereka memperingati setahun hari kebangkitan masyarakat hukum adat Papua.

Sembilan komunitas adat di Jayapura, Papua membacakan deklarasi, yang menandai pengakuan mereka melalui SK Bupati Jayapura. Foto: Wahyu Chandra
Sembilan komunitas adat di Jayapura, Papua membacakan deklarasi, yang menandai pengakuan mereka melalui SK Bupati Jayapura. Foto: Wahyu Chandra

Satu persatu komunitas adat tampil membawakan tari-tarian khas dari suku masing-masing. Iringan bunyi-bunyian alat musik dan nyanyian, disertai sentakan kaki. Tua muda berbaur menyanyi dalam kegembiraan. Tarian mereka tampak berirama, tanpa henti.

Para pejabat daerah hadir dan menjadi saksi pembacaan deklarasi komunitas dan pengesahan surat keputusan Bupati Jayapura tentang pengakuan sembilan masyarakat hukum adat Jayapura oleh sekda.

Pengakuan ini, kata Pieter, penghargaan tak bernilai bagi masyarakat Papua, melebihi triliunan rupiah anggaran pemerintah pusat melalui otonomis khusus selama ini.

“Kami tak butuh otsus plus. Kami tak butuh uang triliunan rupiah. Kami hanya perlu diakui sebagai pemiliki hak utama atas tanah, hutan dan sumber daya alam.”

Meskipun telah mendapatkan pengakuan dari pemerintahan setempat namun, kata Pieter dalam kenyataan akan menghadapi sejumlah tantangan, antara lain dari pemerintah pusat yang belum serta merta menerima.

Tari-tarian oleh warga adat di Jayapura, yang telah mendapatkan pengakuan lewat SK Bupati Jayapura. Foto: Wahyu Chandra
Tari-tarian oleh warga adat di Jayapura, yang telah mendapatkan pengakuan lewat SK Bupati Jayapura. Foto: Wahyu Chandra

Tantangan lain, internal komunitas itu yang dilemahkan konflik antara mereka. Masing-masing dipastikan menuntut berdiri sendiri dan khawatir saling menjatuhkan.

Dia menilai, komitmen pemerintah daerah mengawal kebijakan ini dengan baik menjadi tantangan tersendiri. “Jangan sampai ini hanya kata-kata tanpa isi. Jangan sampai hari ini kami memuji bapak bupati, belakang kami terpkasa harus menghujat.”

Bupati Jayapura, Mathius Awoitouw, mengatakan, peringatan hari kebangkitan masyarakat adat Papua ini momentum kebangkitan kesadaran jati diri Papua.

Mathius menilai, selama ini masyarakat Papua hampir melupakan budaya. Ketika model pembangunan berdasarkan APBD datang dengan segala hak-hak warga, ada anggapan inilah yang terbaik bagi mereka hingga cenderung melupakan budaya sendiri.

Kini, katanya, kesadaran warga Papua mulai bangkit dan makin menguat setahun terakhir. Mereka mencoba menginventarisasi struktur dan segala potensi kekayaan.

Dengan pengakuan ini, diharapkan mereka bisa hidup dan mengelola kekayaan alam tanpa gangguan. Foto: Wahyu Chandra
Dengan pengakuan ini, diharapkan mereka bisa hidup dan mengelola kekayaan alam tanpa gangguan. Foto: Wahyu Chandra

Mathius membandingkan apa yang terjadi di Jayapura, dengan di Jepang melalui Restorasi Meiji– momentum kebangkitan bangsa Jepang kembali ke akar budaya.

“Kaisar Meiji menyadari, satunya-satunya bisa bangkit dengan kembali ke akar budaya, pada nilai-nilai budaya yang mereka anut.”

Selama ini, kata Mathius,  masyarakat Papua lama hidup dalam pembiaran, tak ada demokrasi dan saluran bagi mereka menyalurkan aspirasi. “Mereka merasa tak dianggap oleh negara.”

Baru era reformasi, ada sedikit keterbukaan dan mulai muncul peluang partisipasi setelah ada UU Otonomi Daerah.

“Kita tak tahu dengan Papua yang lain. Di Jayapura tahun 2000-an sudah bisa bicara. Ada alokasi dana desa, 10 persen dari DAU APBD kabupaten dan kota. Jayapura pertama di Papua menjalankan itu.”

Sejak 2005, di Jayapura sudah perencanaan partisipatif. Pemetaan kampung-kampung sudah dilakukan meski berupa sketsa-sketsa.

“Mereka mulai memetakan situasi kampung dengan segala permasalahan, memotret diri sendiri dan potensi mereka dan bisa kelola sendiri.”

Masalah lain yang disoroti Mathius terkait program transmigrasi pemerintah yang sarat dengan masalah dan terkesan harus jalan.

Berkumpul bersama merayakan Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Papua di Jayapura. Foto: Wahyu Chandra
Berkumpul bersama merayakan Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Papua di Jayapura. Foto: Wahyu Chandra

Keberadaan otonomi khusus pemerintah juga dianggap tidak memberi soulasi tepat. Sebab, yang lebih banyak muncul hanyalah uang dibanding isi dan subtansi.

“Uang itupun banyak orang berebut. Itupun tidak jelas untuk siapa. Karena situasi belum disiapkan untuk menjalankan kebijakan-kebikana itu.”

Papua, katanya, memiliki kekhasan tersendiri terkait kepemilikan tanah. Di Papua, kepemilikan tanah hanya oleh masyarakat hukum  adat.

“Mereka bervairasi dengan latar belakang budaya masing-masing. Ada sekitar 270 bahasa di Papua yang menggambarkan budaya. Di Jayapura, ada sembilan komunitas sudah dipetakan ternyata lebih dari itu. Perlu kajian khusus mengetahui lebih lanjut,” katanya.

Mathius berharap, dengan pengakuan ini akan berbentuk peraturan daerah (perda) sebagaimana amanat UU. “Itu memang menjadi bagian dari visi dan misi saya ketika mencalonkan diri sebagai Bupati Jayapura.”

Perempuan adat Papua. Foto: Wahyu Chandra
Perempuan adat Papua. Foto: Wahyu Chandra
Dengan pengakuan ini, semoga memberikan harapan lebih baik bagi generasi muda adat ini. Foto: Wahyu Chandra
Dengan pengakuan ini, semoga memberikan harapan lebih baik bagi generasi muda adat ini. Foto: Wahyu Chandra
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,