Jurus Capai Swasembada Pangan ala Jokowi

Sejak pagi, Desa Tallumae terletak di Jalan poros Sidrap–Palopo begitu ramai, rombongan orang mulai, kepolisan, TNI,  pejabat pemerintahan, dan ratusan petani. Lalu lintas kendaraan padat bahkan macet hingga puluhan kilometer.

Desa Tallumae terletak sekitar delapan kilometer dari pusat Kota Pangkajene, Sidrap. Di desa itu, ada saluran irigasi yang menghubungkan dari Pinrang menuju Wajo. Irigasi di Tallumae adalah saluran air sekunder, hanya memiliki dua pintu pengatur dengan luas kanal sekitar empat meter. Di tempat itulah Presiden Joko Widodo (Jokowi) meresmikan perbaikan irigasi.

Di sana, Jokowi menyampaikan, target swasembada pangan dan menghentikan impor beras dalam tiga tahun. “Perkiraan kita, dua tahun ke depan impor tidak ada lagi,” katanya, saat peresmian perbaikan talud irigasi di Desa Tallumae, Kelurahaan Bendoro, Kecamatan Wattang Sidenreng, Kabupaten Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan, Senin (5/10/14).

Untuk mewujudkan target itu, katanya, pemeliharaan, perbaikan, dan pembangunan irigasi pertanian menjadi prioritas. Dalam lima tahun ini, pemerintah menargetkan membangun 25-30 waduk dan sarana pendukung pertanian lain.

Rinciannya, kata Jokowi, Januari dan Februari  2015, membangun lima waduk di Aceh, Banten, Kudus, Sulawesi Utara, dan Nusa Tenggara Timur. Pada Juli-Agustus membangun enam waduk lagi. Untuk pembangunan irigasi,  pemerintah menganggarkan sekitar Rp15 triliun dan Rp8,2 tirliun untuk waduk.

Menurut Presiden, irigasi merupakan syarat utama meningkatkan produksi pertanian. Selama ini, di seluruh Indonesia, 52% irigasi dan sarana pendukung utama pertanian rusak, terutama karena termakan usia. “Misal irigasi di Sidrap usia 25 tahun dan tak pernah perbaikan,” katanya.

Pemerintnah, kata Jokowi, akan subsidi bahan bakar minyak (BBM) untuk  pembangunan waduk, subsidi pupuk, pemberian benih unggul kepada petani. “Inilah skala prioritas kita. Kita tak bicara yang lain.”

Sarana irigasi di Sidrap yang sudah berusia 25 tahun tanpa pernah perbaikan. Kini, kemarau, petani kesuitan air hingga terlambat tanam. Dengan perbaikan ini diharapkan bisa menyediakan air terus menerus bagi petani. Foto: Eko Rusdianto
Sarana irigasi di Sidrap yang sudah berusia 25 tahun tanpa pernah perbaikan. Kini, kemarau, petani kesuitan air hingga terlambat tanam. Dengan perbaikan ini diharapkan bisa menyediakan air terus menerus bagi petani. Foto: Eko Rusdianto

Pada 2013, BPS mencatat luas lahan pertanian,  persawahan 13.835.252 hektar dan produksi 71.279.709 ton. Kontribusi pertanian untuk PDB periode 2003-2013 turun dari 15,5% menjadi 14,43%.

Periode sama, terjadi penurunan rumah tangga pertanian 16,23% dari 31,23 juta menjadi 26,14 juta rumah tangga pada 2013. Ironisnya impor pangan makin melonjak dari US$3,34 miliar 2003 menjadi US$14,9 miliar pada 2003.

Kekurangan air

“Presiden datang dan semoga pengairan menjadi lebih baik,” kata Amal. Amal adalah petani penggarap, mengolah lahan seluas satu hektar.

Setiap hektar lahan pertanian di Sidrap memerlukan sekitar enam kuintal pupuk urea, pelangi dan Z36. Sistem pemupukan dua tahap, saat padi berusia 15 hari dan 35 hari. “Untuk pembasmi hama itu beda lagi. Saya tak bisa hitung berapa botol racun.”

Saat panen, setiap hektar lahan menghasilkan sekitar 7-8 ton gabah. Tahun ini, harga gabah basah Rp4.000 per kilogram dan gabah kering Rp4.500. Harga kelas medium Rp7.500 dan kualitas terbaik Rp8.000 per kilogram. Panen dua kali setahun, yakni Februari-Maret dan Agustus-September.

“Seharusnya bulan 11 (November) kita sudah menanam. Karena kemarau dan air kurang, maka tertunda,” kata Lukman, petani lain.

Saluran irigasi Desa Tallumae, debit air sangat sedikit dan dangkal. “Dulu kalau kemarau, warga terlanjur menanam, air dibagi bergiliran dengan desa lain. Setiap desa mendapat jatah tiga hari setiap minggu. Sekarang, biar dipaksakan tidak bisa juga karena air boleh dikata tidak ada.”

Di Sidrap, sekitar 50.000 keluarga sebagai petani sawah. “Sekarang lagi kemarau. Suplai air Sungai Sa’dan yang hulunya dari Toraja sangat sedikit, jadi kita tak bisa berbuat apa-apa,” kata Dollah Mando, Wakil Bupati Sidrap.

Lahan pertanian di Sidrap mencapai 45.000 hektar. Dengan rata-rata produksi 500 ribu ton gabah kering giling dan menjadi penyumbang pangan beras 25% dari kebutuhan Sulsel. Sekitar 35.000 hektar sawah irigasi memerlukan pasokan air.

Dalam perhitungan, jaringan irigasi yang baik adalah mampu mengalirkan air satu liter per detik untuk setiap hektar lahan sawah. Jadi aliran sungai harus memiliki debit air minimum pada kemarau adalah dua meter kubik per detik hingga mampu mengairi sawah seluas 2000 hektar. Kondisi Sulsel, sawah tadah hujan sangat besar sekitar 200.000 hektar.

Masalah lain, pemupukan skala besar dan berlebihan menjadikan lahan pertanian jenuh dan menurunkan produksi pertanian. Padahal, katanya, jika petani menerapkan teknologi pertanian dengan baik, bukan tidak mungkin setiap hektar produksi lebih 10 ton.

Penyuluhan dan pendampingan, kata Dollah, sebagian besar diberikan pada petani penggarap, bukan pemilik lahan. “Di Sidrap, inilah kendala jika petani penggarap mempraktikkan cara dan budidaya pertanian baik, mereka harus menanggung biaya produksi. Pemilik lahan tak ingin menanggung. Ini dimasukkan dalam kalusul pembagian hasil panen nanti.” 

Presiden Joko Widodo, kala meletakkan batu pertama perbaikan irigasi di Sidrap. Foto: Eko Rusdianto
Presiden Joko Widodo, kala meletakkan batu pertama perbaikan irigasi di Sidrap. Foto: Eko Rusdianto
Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,