,

Masyarakat Bakal Lebih Dilibatkan Kelola Hutan di Sumbar

Sumatera Barat (Sumbar) masih memiliki kawasan hutan yang luas. Akan tetapi, tingginya tekanan kawasan hutan terhadap aktifitas penebangan liar dan peladangan berpindah mempercepat penurunan kualitas hutan. Ditambah lagi dengan keterbatasan personel dari Dinas Kehutanan (Dishut) dalam melakukan pengawasan di lapangan membuat ancaman serius terhadap keberlanjutan dan kelestarian hutan kedepan.

Oleh karena itu, Pemprov Sumbar melalui Dishut menginisiasi pembentuk rancangan peraturan daerah tentang pengamanan dan perlindungan hutan. Peraturan ini bertujuan untuk membuat payung hukum dalam memberikan ruang pada masyarakat untuk dapat berperan aktif dalam melakukan perlindungan hutan. Untuk pengamanan hutan, masyarakt dapat berperan sesuai dengan kearifan lokal yang dimilikinya.

Pengaturan pengelolaan hutan perlu ditegaskan, karena merujuk pada dokumen Status Lingkungan Hidup Daerah (SLHD) Sumbar tahun 2013, laju kerusakan hutan cenderung meningkat setiap tahunnya. Penyebab kerusakan hutan tersebut diantaranya akibat kebakaran, ladang berpindah, penebangan liar dan perambahan hutan.

Pada tahun 2011 laju kerusakan hutan mencapai 127.125 hektar, pada tahun 2012 mencapai 62.481,12 hektar dan pada tahun 2013 meningkat menjadi 66.369,95 hektar. Tingginya peningkatan kerusakan hutan, didominani aktifitas penebangan liar yang terjadi di beberapa kabupaten/kota yang memiliki tutupan kawasan hutan yang cukup luas, diantaranya Kabupaten Pasaman Barat dan Padang Pariaman.

Aktifitas penebangan liar yang terjadi pada tahun 2012 menyebabkan kerusakan hutan seluas 4.888,31 hektar, sementara di tahun 2013 meningkat menjadi 10.343,05 hektar.

Kawasan hutan Sumbar mencapai 56,3 persen dari total luas propinsi seluas 4.229.730 hektar. Tercatat seluas 2.380.058 telah ditunjuk sebagai kawasan hutan, sedangkan 43,713 persen atau seuas 1.848.939 juta hektar digunakan untuk kegiatan lainnya dalam bentuk Areal Pengguaan Lain (APL).

Wilayah Sumbar didominasi oleh perbukitan, sekitar 39,08 persen wilayahnya berada pada kemiringan lebih dari 40 persen, sehingga sebagian besar kawasan hutan di Sumbar berstatus lindung. Terdapat 606 sungai besar dan kecil, diantaranya 27 sungai lintas provinsi, 81 sungai lintas kabupaten/kota, dan 238 danau/embung dan telaga.

Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Sumatera Barat

No

Fungsi Kawasan

SK.No:422/

1999 (Ha)

SK.No:304/ 2011(Ha)

SK.No:35/

2013 (Ha)

1

Kawasan Suaka Alam (KSA/KPA)

846.175

757.993

806.939

2

Hutan Lindung (HL)

910.533

910.530

791.671

3

Hutan Produksi Terbatas (HPT)

246.383

246.384

233.211

4

Hutan Produksi Tetap (HP)

407.849

407.849

360.608

5

Hutan Produksi yang dapat di Konversi (HPK)

189.346

188.348

187.629

6

APL

1.629.444

1.717.626

1.849.673

Jumlah

4.229.730

4.229.730

4.229.730

Sumber : WALHI Sumatera Barat, 2014

Pada kabupaten/kota tertentu, luas kawasan budidaya sangat terbatas, akibatnya banyak munculnya kasus-kasus perambahan hutan, alih fungsi kawasan hutan dan tumpang tindih pengunaan kawasan hutan. Akhirnya laju kerusakan hutan tinggi setiap tahunnya.

Pelibatan masyarakat

Kepala Dinas Kehutanan Pemprov Sumbar Hendri Octavia, dalam lokakarya rancangan perda perlindungan hutan di Padang, pada minggu kemarin,  mengatakan kawasan hutan Sumbar sangat luas, sementara kegiatan untuk pengawasan dan perlindungan yang dilakukan oleh personel satuan pengamanan polisi kehutanan (polhut) sangat terbatas.

Jumlah polhut sangat terbesar, yaitu 10-15 orang di tiap kabupaten/kota, dengan rasio satu polhut mengawasi 9.200 hektar hutan (setelah dikurangi dengan luas kawasan hutan konservasi). Ini hal yang mustahil untuk dilakukan.

“Dibutuhkan peraturan yang mengayomi sinergisitas masyarakat dan pemerintah dalam melakukan pengamanan dan perlindungan hutan secara optimal,” kata Hendri.

Oleh karena itu, Dishut Sumbar membentuk kelompok perlindungan dan pengamanan hutan berbasis nagari (PPHBN) serta mendorong pengelolaan hutan berbasis masyarakat dalam skema yang ada diantaranya melalui hutan nagari (desa), hutan adat, hutan kemasyarakatan (Hkm) bersama masyarakat yang berada di sekitar kawasan hutan. Dengan dikelolanya hutan, masyarakat akan merasa memiliki sehingga kegiatan pengawasan dan pengamanan hutan pun meningkat, tambahnya. Hendri mengatakan luasnya tutupan hutan Sumbar semestinya menjadi peluang untuk melakukan pengembangan program-program pengelolaan hutan.

Kearifan lokal pengelolaan hutan juga masih terjaga. Adanya penetapan hutan adat dengan aturan adat seperti rimbo larangan, dan prosesi-prosesi adat yang menyangkut dengan keberlanjutan pengelolaan sumber daya hutan.

Hendri mengatakan kearifan lokal tersebut perlu didukung demi keberlanjutan sumber daya hutan.

Sementara itu, Epi Radisman Dt. Paduko Alam, salah seorang ninik mamak dari lembaga kerapatan adat Kabupaten Sijunjung mengatakan peran adat perlu dikuatkan seperti penindakan di lapangan untuk pengamanan dan perlindungan hutan. Hutan merupakan bagian dari ulayat, sehingga peranan ninik mamak sangat diperlukan.

Pengelolaan hutan di nagari mempunyai fungsi ekonomi, ekologi sosial, dan budaya. Masyarakat lokal sudah menjaga dan melestarikan hutan secara turun temurun karena hidup mereka tergantung dari hutan.

Sehingga peningkatan kehidupan masyarakat secara berkelanjutan di kawasan hutan dilakukan dengan cara melakukan pengelolaan, seperti membuat perencanaan kerja, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, melakukan rehabilitasi terhadap kawasan kritis dan melakukan pengamanan terhadap aktifitas yang berpotensi merusak hutan.

Hamparan sawah masyarakat yang berdampingan dengan kawasan hutan di Nagari Kajai, Kabupaten Pasaman Barat, Sumbar. Foto : Riko Coubut
Hamparan sawah masyarakat yang berdampingan dengan kawasan hutan di Nagari Kajai, Kabupaten Pasaman Barat, Sumbar. Foto : Riko Coubut

Direktur Perkumpulan Qbar, Mora Dingin menyambut baik atas inisiasi peraturan ini karena masyarakat diberi ruang dalam menjaga kekayaan sumberdaya hutannya. Peraturan itu hendaknya juga memuat mengenai kewajiban masyarakat dalam melakukan perlindungan hutan, misalnya; aktif dalam memberikan informasi, mengelola hutan sesuai dengan aturan, meningkatkan kesadaran diri tentang pentingnya menjaga kelestarian hutan dan sebagainya. Jika masyarakat merasa memiliki terhadap sumberdaya hutannya mereka akan mampu melakukan perlindungan.

Dalam pertemuan itu, Prof. Dr. Afrizal, MA selaku tim teknis penyusunan naskah akademik rancangan peraturan daerah ini, mengaku sangat banyak mendapat masukan nilai-nilai kearifan lokal masyarakat yang dapat disadur dan dituangkan dalam peraturan. Masukan-masukan mengenai hak dan peranan masyarakat dalam melakukan pengamanan dan perlindungan hutan ini akan segera disusun menjadi draf Perda, untuk kemudian dikritisi bersama.

Lokakarya ini diikuti oleh perwakilan ninik mamak dari lembaga kerapatan adat nagari seluruh kabupaten/kota, dinas kehutanan, akademisi, dan lembaga pemerhati lingkungan di Sumbar.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,