,

Jokowi Diminta Tindak Mafia Pembakar Hutan dan Lahan di Sumatera Selatan

Kebakaran hutan dan lahan di Sumatera Selatan terjadi setiap tahun. Presiden Jokowi pun diminta untuk menindak tegas mafia pembakar hutan dan lahan.

Dr. Tarech Rasyid, pengamat lingkungan hidup dan politik dari Universitas Ida Bajumi (IBA) Palembang menyatakan, dampak yang harus ditanggung akibat kebakaran hutan dan lahan sangat besar. Mulai dari kesehatan, ekonomi, transportasi, hingga lingkungan itu sendiri. Perusahaan hutan tanaman industri (HTI) dan perkebunan yang terbukti melanggar harus ditindak, dicabut izinnya.

“Tidak berlebihan kalau sejumlah pihak, baik di Sumatera Selatan (Sumsel), Riau, Jambi, dan Kalimantan, serta daerah lain di Indonesia meminta Presiden Jokowi blusukan. Turun langsung melihat kondisi di lapangan, agar pelaku pembakaran hutan dan lahan ditindak tegas sehingga tahun depan tidak terjadi kebakaran hutan dan lahan lagi,” ujarnya kepada Mongabay Indonesia, Rabu (12/11/2014).

Ahmad Muhaimin, peneliti lingkungan di Sumatera Selatan mengatakan, rapat koordinasi pemadaman kebakaran hutan dan lahan (5/11/2014) antara Pemprov Sumatera Selatan dan 17 perusahaan, baik HTI dan perkebunan yang digelar tertutup membuat berbagai pihak mulai meragukan komitmen pemerintah daerah. Terutama, dalam hal menindak perusahaan pelaku pembakaran hutan dan lahan.

Sebelumnya, Hadi Jatmiko, Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumsel, melalui rilisnya (9/11/2014) mengatakan, sikap lemah Pemerintah Sumsel di depan perusahaan pelaku kejahatan lingkungan hidup, menunjukan pemerintah tidak memiliki keberpihakan terhadap lingkungan hidup. Jutaan rakyat yang menjadi korban bencana ekologis kabut asap.

Adapun proses hukum yang diharapkan oleh rakyat untuk dilakukan pemerintah adalah mempidanakan pemilik perusahaan, ganti rugi, mencabut izin dan menyita seluruh aset yang dimiliki perusahaan, guna menganti semua kerugian yang dialami pemerintah, rakyat dan lingkungan hidup. Baik kerugian langsung maupun tidak langsung.

Menurut Hadi, pemerintah seharusnya memproses secara hukum perusahaan penjahat lingkungan hidup sesuai Undang-undang Lingkungan Hidup (UU 32 Tahun 2009) dan undang-undang sektoral lainnya, baik UU No 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan dan UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Berdasarkan kajian Walhi Sumsel, hampir semua perizinan di sektor sumber daya alam seperti HTI (penyumbang asap kebakaran hutan dan lahan) semuanya dilakukan menjelang prosesi pergantian kepala daerah. Yang artinya, jika dugaan ini benar maka wajar jika pemerintah tidak akan melakukan tindakan represif terhadap perusahaan perusahaan ini. Ada Istilah “jeruk tidak akan makan jeruk.”

Hadi mengatakan, Walhi Sumsel mendorong upaya cepat dan tegas dari pemerintah pusat untuk mengisi absennya penegakan hukum oleh pemerintah provinsi dan daerah saat berhadapan dengan perusahaan pembakar hutan dan lahan di Sumsel.

Untuk itu, Walhi Sumsel mengajukan tiga tuntutan. Pertama, kepada Presiden yang baru, Bapak Jokowi untuk blusukan dan melakukan penegakan hukum terhadap perusahaan pembakar hutan dan lahan yang menyebabkan bencana ekologis kabut asap di Sumsel. Walhi menilai, Pemerintah Daerah Sumsel absen dalam menjalankan mandat penegakan hukum terhadap perusahaan pelaku kejahatan lingkungan hidup.

Kedua, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan pemantauan atas kasus kebakaran hutan dan lahan yang dilakukan oleh perusahaan serta proyek-proyek pemadaman kebakaran hutan dan lahan di Sumsel. Walhi menduga ada proses pembiaran yang dilakukan pemerintah agar anggaran puluhan miliar untuk proyek pemadaman dan tindakan lainnya dapat terus dikeluarkan dari Negara (APBD dan APBN). Walhi juga mengingatkan bahwa kebakaran hutan dan lahan yang menyebabkan kabut asap adalah bencana ekologis bukan bencana alam sehingga pertanggungjawaban ada di perusahaan pembakar lahan.

Ketiga, Pemerintah Sumsel dan semua instansi terkait diminta membuka semua informasi tentang kebakaran hutan dan lahan kepada publik. Khususnya, rapat koordinasi tentang kebakaran hutan dan lahan yang diselenggarakan pemerintah dengan perusahaan pembakar hutan dan lahan sesuai dengan ketentuan Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik. Secara teknis, hal ini dapat dilakukan dengan menyiarkannya melalui televisi, radio, atau video streaming dan media sosial.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,