,

Konflik Lahan, Ramai-ramai Minta Polisi Bebaskan Petani Sinjai

Sebulan lebih sudah Bahtiar Sabang (40), petani Dusun Soppeng, Desa Turungan Baji, Kecamatan Sinjai Barat, Sinjai, Sulawesi Selatan, mendekam di tahanan. Dia ditangkap 13 Oktober lalu karena dituding “menebang pohon di kawasan hutan produksi terbatas tanpa izin pihak berwenang,” seperti tercantum dalam UU Kehutanan.

Bahtiar, tak merasa berbuat itu. Dia menyatakan, hanya memangkas pohon yang mengganggu tanaman di kebun warisan orangtua yang sudah puluhan tahun dikelola secara turun menurun. Lahan itu masih saling klaim dengan Dinas Perkebuhan dan Kehutanan Sinjai.

Aksi polisi mendapat kecaman berbagai pihak. Kontras Sulawesi menilai tindakan ini bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM) oleh Polres Sinjai.

Nasrum, Wakil Kordinator Kontras Sulawesi mengatakan, tuduhan Dinas Kehutanan Sinjai bahwa Bahtiar menebang pohon tidak memiliki legalitas sama sekali. Terlebih, katanya, sampai saat ini kawasan hutan di Sinjai belum penetapan hingga belum mengikat secara hukum.

Berdasarkan Pasal 15 UU Kehutanan, penentuan kawasan hutan melalui empat tahapan: penunjukan, tata batas, pemetaan dan penetapan.

UU Kehutanan juga sudah di-judicial review dan berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi 45, kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan pemerintah untuk dipertahankan sebagai hutan tetap.

Berdasarkan putusan MK itu, katanya, penunjukan kawasan hutan tetap berlaku, tetapi tak dapat menjadi landasan hukum dalam semua proses pemanfaatan kawasan hutan sebelum ada penetapan.

Belum lagi jika dikaitkan putusan MK 35, hutan adat bukan hutan negara. Nasrum anggota komunitas adat Turungan Baji, anggota AMAN Sulsel.

“Ini mempertegas, hutan adat merupakan hutan hak yang kewenangan pengelolaan di masyarakat adat itu,” katanya Rabu (12/11/14). Kontras, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulsel, Walhi, Anti-Corruption Committee (ACC), Kontras, Agra, LBH Makassar dan Jurnal Celebes jumpa pers bersama.

Dia menilai, dalam penangkapan pun Polres Sinjai melanggar aturan. Menurut Nasrum, aturan itu antara lain UU Kepolisian RI, Peraturan Kapolri tentang Kode Etik Kepolisian, Peraturan Kapolri tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, dan Peraturan Kapolri tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM.

Kontraspun menuntut Polda Sulselbar segera mengevaluasi dan peningkatan pengetahuan terkait kebijakan agraria khusus sektor kehutanan kepada penyidik di Polda Sulselbar. Hingga, dalam bekerja dapat bertindak profesional dan tak melanggar hukum.

Sebagian besar kawasan hutan di Desa Turungan Baji yang dulu merupakan tanah adat Turungan Baji kini diklaim pemerintah sebagai hutan lindung dan hutan produksi terbatas. Beraneka macam pohon di daerah itu ditebang dan digantikan  tanaman pinus oleh pemerintah. Foto: Wahyu Chandra
Sebagian besar kawasan hutan di Desa Turungan Baji yang dulu merupakan tanah adat Turungan Baji kini diklaim pemerintah sebagai hutan lindung dan hutan produksi terbatas. Beraneka macam pohon di daerah itu ditebang dan digantikan tanaman pinus oleh pemerintah. Foto: Wahyu Chandra

Kontras meminta Kapolres Sinjai membebaskan Bahtiar karena Dinas Kehutanan sebagai pelapor tidak memiliki legalitas.

Nursari, Kordinator Hukum AMAN Sulsel, Nursari, mengatakan, Bahtiar masih tahanan Kejaksaan Negeri Sinjai. Sebelumnya, upaya penangguhan penahanan tidak mendapat respon Polres Sinjai.

“Setiap kami tanyakan selalu dikatakan wewenang Kapolres, Kapolres tak pernah bisa kami hubungi dan cenderung menghindar.”

Kejanggalan kasus ini juga mulai terlihat dengan upaya pengembalian BAP kejaksaan kepada Polres Sinjai. Pasca pengembalian BAP, Polres berupaya membicarakan penangguhan penahanan.

Armansyah Dore, juru bicara Gerakan Rakyat Menolak Tambang Barambang Katute (Gertak), menuntut pencopotan Kapolres Sinjai dengan berbagai pertimbangan.

Pertama, hak Bahtiar mendapatkan penangguhan penahanan selalu ditolak. Polisi hanya mau menerima penjaminan uang, bukan orang atau institusi dari Gertak dan AMAN. “Ini pelecehan terhadap institusi.”

Kedua, Kapolres Sinjai tak memiliki etikat baik menyelesaikan kasus ini. “Setiap kali didatangi teman-teman Gertak selalu menolak, hanya mau menerima kuasa hukum Bahtiar. Ketika dihubungi oleh kuasa hukum tak pernah bisa, baik langsung ataupun telpon.”

Ketiga, tindakan penyidik seenaknya mengubah berita acara pemeriksaan (BAP) tanpa sepengetahuan kuasa hukum Bahtiar. Keempat, upaya penangkapan Polres hanya berdasarkan pengaduan Dinas Kehutanan dan tanpa cek di lapangan. “Ini menyalahi aturan penangkapan.”

Solidaritas meluas

Aksi solidaritas menuntut pembebasan Bahtiar meluas tidak hanya dari warga Turungan Baji, juga mahasiswa dan NGO di Sinjai dan Makassar.

Menurut Armansyah, ratusan warga ketiga komunitas adat di Sinjai, yaitu Turungan Baji, Barambang Katute dan Karampuang menyatakan sikap menolak penangkapan dan segala klaim dari Dinas Kehutanan.

“Sejumlah spanduk disiapkan warga akan dipasang di masing-masing komunitas beberapa hari mendatang.”

Aksi solidaritas juga marak di media sosial seperti Facebook. Puluhan netizen menunjukkan solidaritas dengan memasang foto Bahtiar sebagai foto profil mereka di Facebook dan memasang foto sendiri berisi tuntutan pembebasan Bahtiar.

“Bebaskan Bahtiar bin Sabang, petani dari Sinjai Barat,” tulis akun bernama Fatma Cemoet’s. Dia mahasiswa di Sinjai.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,