, ,

Inilah Nasib Manggabai, Ikan Endemik Danau Limboto

Hujan baru usai, berganti panas terik. Hamid Yunus, baru pulang menjala ikan di Danau Limboto.  Menjadi nelayan merupakan pekerjaan sampingan pemuda 20 tahunan ini,  kala orderan buruh bangunan sepi.

Pada Senin (17/11/14) siang, Hamid mendapatkan ikan meskipun kecil-kecil. Ikan ini di Gorontalo dinamai manggabai (Glossogobius giuris). Manggabai, salah satu ikan terkenal di Danau Limboto, payangga (Ophiocora porocephala), atau tawes (Puntius javanicus).

“Kalau dijual, satu piring kecil, manggabai Rp15.000-Rp20.000,” katanya kepada Mongabay.

Sejak pukul 10.00-14.00, Hamid menangkap manggabai menggunakan pukat tak jauh dari pesisir.

Tak jauh dari tempat menjala Hamid, dulu banyak ditumbuhi eceng gondok. Kini, pengerukan danau berlangsung. Alat berat banyak merapat di bibir danau. Truk lalu lalang memuat sedimen-sedimen danau.   “Sejak Danau Limboto dikeruk, lumayanlah. Kami mencari ikan tak perlu jauh-jauh.”

Yosep Yusuf, pedagang manggabai di pinggiran Limboto mengatakan, meski sudah dikeruk, nelayan masih kesulitan mencari ikan Limboto.

“Banyak nelayan seperti saya beralih. Ada jadi buruh, abang bentor, atau pedagang ikan seperti saya.”

Nelayan  Limboto mencari ikan. Danau makin dangkal, kini  pengerukan berlangsung. Foto: Christopel Paino
Nelayan Limboto mencari ikan. Danau makin dangkal, kini pengerukan berlangsung. Foto: Christopel Paino

Ikan danau seperti manggabai, katanya, susah dicari dan harga mahal. Langganan kebanyakan pejabat-pejabat. Manggabai dan payangga menjadi ikan paling banyak dibeli.

“Manggabai Rp50.000 tiga tusuk. Satu tusuk empat sampai lima ekor,” katanya.

Bagi masyarakat Gorontalo, ini dianggap mahal karena ikan di pasaran hanya Rp10.000-Rp20.000. Dulu, manggabai melimpah.

Hasyim, akademisi Universitas Negeri Gorontalo (UNG) juga peneliti Danau Limboto mengatakan, dilihat dari populasi dan ukuran manggabai memberikan indikasi tengah memasuki ambang kepunahan.

“Saat ini susah cari ikan-ikan besar di Limboto. Danau ini, stadium kerusakan sangat tinggi.”

Dia mengatakan, manusia mempercepat kerusakan. Kerusakan non-teknis karena kebijakan pengelolaan danau dan pengelolaan sumber daya alam oleh pemerintah daerah. Kini danau dikeruk. Dia menilai, tidak akan menyelesaikan masalah danau Limboto, karena di hulu, hutan tidak diperbaiki.

Belum lagi pemerintah sedang gencar-gencar menarik investor sawit di daerah hulu Limboto.

“Belum ada sawit danau rusak, apalagi ada sawit. Danau Limboto sakit karena kegiatan di sekitar, bukan semata aktivitas di dalamnya,” kata Hasyim.

Sedimentasi di Danau Limboto, telah sampai ke sungai-sungai. Sedang peraturan daerah (Perda) tentang Danau Limboto tidak berjalan efektif. Bahkan meskipun regulasi dibuat sangat bagus, jika tidak terimplemetasi, percuma juga.

Menurut dia, hutan dan danau rusak karena sabuk masyarakat tidak diberdayakan, misal, masyarakat menangkap menggunakan alat tak merusak.

Pada musim kemarau, sekitar Agustus-Oktober, dia menemukan banyak ikan nelayan Limboto dipelihara di keramba mati massal.

“Kalau ikan mati 10-15 ekor, bisa jadi hanyalah penyakit. Kalau kematian massal, berarti kualitas air danau tidak baik lagi.”

Penyebabnya, karena banyak bahan-bahan organik, misal dulu sampah menjadi lapuk, ketika perubahan suhu, ia ke atas dan menjadi racun hingga ikan mati.

Hasil tangkapan manggabai kecil-kecil. Menurut peneliti, salah satu indikasi habitat ikan terganggu. Foto: Christopel Paino
Hasil tangkapan manggabai kecil-kecil. Menurut peneliti, salah satu indikasi habitat ikan terganggu. Foto: Christopel Paino

Farida G. Sitepu, guru besar Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanudin (Unhas) Makassar, tahun 2010-2011 meneliti aspek biologi reproduksi manggabai di Limboto.

Penelitian itu menjelaskan, manggabai salah satu ikan primadona banyak digemari masyarakat Gorontalo dengan harga relatif mahal. Populasi manggabai dulu melimpah, tetapi mulai sulit.

“Indikasi kuat telah mengalami kelebihan tangkap atau over exploitasion.” 

Catatan Dinas Kelautan Perikanan Gorontalo tiga tahun sebelumnya, pada 2005 tangkapan 84,70 ton per tahun, pada 2007 mencapai 19 ton per tahun, 2008 mencapai 13,6 ton per tahun.

Selain itu, pendangkalan dan penyusutan danau menyebabkan habitat rusak hingga populasi manggabai bisa punah. Untuk itu, demi menjaga kelestarian manggabai perlu pelestarian dengan pengaturan penangkapan dan memproduksi massal, antara lain usaha restoking (penambahan stok ikan) dan pembudidaya manggabai secara intensif.

Luas areal Limboto berada pada dua wilayah, 30% Kota Gorontalo, dan  70% Kabupaten Gorontalo serta menjangkau enam kecamatan di 24 kelurahan atau desa.

Menurut data Badan Lingkungan Hidup Riset dan Teknologi Gorontalo, pada 1932 luas Limboto 8.000 hektar dengan kedalaman 30 meter. Tahun 1970 mencapai 4.500 hektar,  kedalaman 15 meter. Tahun 2003, luas 3.054,8 hektar, kedalaman jadi  empat meter. Tahun 2010, luas 2.537,2 hektar, kedalaman tinggal 2-2,5 meter. Pada 2012, luas Limboto tersisa 2.500 hektar dengan kedalaman 1,876-2,5 meter.

“Dengan kondisi ini, banyak memperkirakan Limboto akan hilang pada 2025,” kata Ahmad Bahsoan, Direktur Jaring Advokasi Pengelolaan Sumber Daya Alam (Japesda) Gorontalo.

Jika tak segera ada upaya pelestarian, dengan menyeimbangkan pemanfaatan dan pengembangbiakan ikan, manggabai terancam punah. Foto: Christopel Paino
Jika tak segera ada upaya pelestarian, dengan menyeimbangkan pemanfaatan dan pengembangbiakan ikan, manggabai terancam punah. Foto: Christopel Paino
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,