, , ,

Rusak Parah, Ramai-ramai Selamatkan Mangrove Muara Majene

Muara Sungai Majene terletak di Desa Kasano, Kecamatan Baras, Kabupaten Mamuju Utara (Matra), Sulawesi Barat, rusak parah. Hasil kajian dan inventarisasi kerusakan dari Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Matra menunjukkan, kerusakan mangrove seluas 711,7 hektar.

Inilah yang mendorong inisiatif BLHD Matra bersama sejumlah pihak menguupayakan penanaman mangrove di sini. Inisiatif ini mereka namakan ‘kolaborasi’.

Pada Kamis (13/11/14), pukul 09.00,  kami berkumpul di dermaga kecil di bawah jembatan Majene. Ada lima perahu kecil yang akan mengangkut puluhan orang menuju lokasi penanaman.

Sesuai nama, kegiatan ini melibatkan banyak pihak. “Kami mengajak perusahaan dan masyarakat. Masyarakat perlu dilibatkan agar merasa memiliki dan bertanggungjawab menjaga,” kata Muh. Tauhid, BLHD Matra.

Dukungan warga sangat besar dan swadaya. Tidak hanya orang dewasa, anak belasan tahun terlibat dan seizin sekolah.“Kompensasi bagi warga, mereka bisa memanfaatkan hutan mangrove sebagai sumber mata pencaharian. Mereka prihatin dengan kondisi hutan mangrove yang habis.”

Perusahaan, PT Unggul Wisya Teknologi Lestari menyiapkan 20.000 bibit mangrove berbagai jenis, BLHD 3.500 bintangor, yang memiliki akar dan pohon kuat dan diyakini mampu melindungi pantai dari abrasi.

Kala kami mendekati muara sungai, makin jelas kerusakan mangrove. Sepanjang mata memandang, hamparan tambak tak terurus, mangrove telah dibabat habis.

Menurut Direktur eLSAB, Mawardi, dulu kawasan itu hendak jadi tambak, karena dianggap tidak ekonomis, mangrove sudah dicabuti dengan alat berat ditinggalkan begitu saja.“Bertahun-tahun kawasan itu dibiarkan terbengkalai.”

Menurut dia, konversi lahan mangrove menjadi tambak dimulai sejak 1990-an, ketika pemerintah mengintensifkan transmigrasi dan pembukaan kawasan di Mamuju—dulu masuk Sulsel.

Warga mulai menanami mangrove di Muara Majene. Foto: Wahyu Chandra
Warga mulai menanami mangrove di Muara Majene. Foto: Wahyu Chandra

Warga dari berbagai daerah pesisir Sulsel, seperti Pangkajene Kepulauan, Pinrang dan Takalar,  mulai berdatangan dan mulai membuka lahan untuk tambak. Sayangnya, ketika tambak-tambak tidak produktif langsung ditinggalkan dan membuka lahan di tempat lain.

Albar Tajuma, warga yang ikut menanam mengatakan, kerusakan parah karena tinggi penebangan liaroleh oknum warga beberapa tahun terakhir. “Habis semua tanaman ditebang. Tak ada lagi yang bisa menahan laju pendangkalan.”

Mawardi membenarkan, ada penebangan liar untuk komersial di sana. Keadaan sekarang rusak parah. Dia memperkirakan, perbaikan kawasan seperti semula memerlukan sampai 10 tahun. “Itupun kalau dikerjakan serius, terus menerus dan melibatkan banyak pihak.”

Sekretaris Desa Kasano, Dais, terkejut dengan kondisi muara Majene jauh lebih parah dari perkiraan. Ini pertama kali dia datang. Dia mengaku, sering mendapat laporan ada penebangan liar di sini tetapi tak mampu berbuat banyak. “Saya dengar pelaku dari desa sebelah. Sudah sering ditangkap polisi tapi tetap saja.”

Menurut Tauhid, penanaman mangrove memiliki arti penting guna perlindungan lingkungan dan memperbaiki taraf hidup masyarakat. Apalagi, sebagian besar kawasan rusak itu termasuk hutan lindung.

“Mangrove tempat hidup sejumlah biota laut seperti ikan, udang dan kepiting, yang bisa menjadi sumber penghasilan masyarakat.”

Perbaikan kawasan itu diharapkan berdampak pada perlindungan sejumlah fauna seperti penyu dan maleo.“Saya ingat dulu di tempat ini masih banyak maleo. Kini paling satu dua yang kelihatan,” katanya.

Dulu, ada kebiasan warga mengambil telur penyu yang banyak bertebaran di pantai. “Ini makin mengurangi populasi penyu di sini.”

Menurut Mawardi, penanaman di Muara Majene ini hanya salah satu. Konservasi kawasan pesisir melalui pola kemitraan ini sudah 100 hektar dengan bibit mangrove sekitar 1 juta.

Daerah lain, seperti Desa Paporong (Kecamatan Sarasa), Desa Dodda (Kecamatan Sarudu), Desa Bulu Parigi (Kecamatan Baras), dan Desa Bamba Koro (Kecamatan Lariang). Lalu, Desa Tikke (Kecamatan Tikke), Desa Malei (Kecamatan Padongga), Desa Pangeang (Kecamatan Bambalamotu), dan Desa Sarjo (Kecamatan Sarjo).

Tak hanya orang dewasa, anak-anak juga ikut tanam mangrove di Muara Majene. Foto: Wahyu Chandra
Tak hanya orang dewasa, anak-anak juga ikut tanam mangrove di Muara Majene. Foto: Wahyu Chandra

Namun, dia menilai keberhasilan konservasi belum efektif karena perkiraan bibit tumbuh hanya 30%. Kendalanya, antara lain waktu tanam musim ombak tinggi, akhir-akhir tahun.

“Selama ini penanaman akhir-akhir tahun, seperti November-Desember, potensi gagal besar. Karena rata-rata anggaran penanaman baru cair akhir tahun. Saya sudah sampaikan ini di sejumlah forum.”

Masa penanaman mangrove efektif, kata Mawardi, seharusnya antara April-Agustus. “Itu musim teduh, tepat menanam mangrove.”

Ekspansi tambak meluas

Fenomena ekspansi petambak Sulsel ke daerah lain diakui peneliti Mangrove Action Project (MAP), Yusran Nurdin Massa. Para petambak datang ke daerah baru membeli lahan dan memetakan kawasan.

“Mereka mendekati tokoh masyarakat atau tokoh adat. Ketika sudah diterima masyarakat mereka segera membuat tambak.”

Ekspansi ini, telah menyasar ke daerah pesisir di Indonesia, bagian utara Sulawesi, Kalimantan, Sumatera hingga Nusa Tenggara. Hanya Papua yang tak tersentuh karena faktor alam.

“Papua ombak tinggi, bisa sampai tiga meter. Percobaan pembuatan tambak di Papua selalu gagal.”

Di Papua, kata Yusran, ancaman mangrove dari ekspansi sawit. Daerah ini memiliki luasan mangrove 60% dari populasi di Indonesia.

Dulu di kawasan ini adalah hutan mangrove, tetapi dibabat untuk pembuatan tambak.  "Tambak' ditinggalkan terbengkalai kala bisnis dinilai tak ekonomis. Foto: Wahyu Chandra
Dulu di kawasan ini adalah hutan mangrove, tetapi dibabat untuk pembuatan tambak. “Tambak’ ditinggalkan terbengkalai kala bisnis dinilai tak ekonomis. Foto: Wahyu Chandra
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,