, ,

Berikut Emisi Rujukan Deforestasi dan Degradasi RI

Setelah melewati penyusunan oleh tim ahli, akhirnya rancangan dokumen tingkat emisi feferensi Indonesia untuk deforestasi dan degradasi hutan (forest reference emission level/FREL) dalam kerangka REDD+ memasuki tahap final. Dokumen ini akan disampaikan pada forum conference of the parties (COP), United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) ke-20 di Lima, Peru 8 Desember 2014.

Submisi FREL ini akan dikaji secara teknis oleh UNFCCC, untuk menjadi acuan nasional pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan dalam kerangka REDD+ di Indonesia.

Nur Masripatin, Deputi Bidang Tata Kelola dan Hubungan Kelembagaan BP REDD+ mengatakan, dengan memperhatikan persyaratan penyusunan FREL/FRL dan fokus technical assessment (meliputi data, metodologi dan posedur), maka baru dua kegiatan bisa masuk FREL,  yaitu deforestasi dan degradasi hutan. Dengan satu jenis gas (CO2) dan dua carbon pools: biomas di atas tanah dan tanah untuk areal gambut.

Begitu juga data tutupan. Dengan mempertimbangkan ketersediaan data dan persyaratan skala nasional–ketersediaan, kelengkapan, transparansi, konsistensi dan-lain-lain dari data tutupan lahan dan cadangan carbon per tipe hutan–, maka dipakai data 2000-2012. Ini berasal dari beberapa sumber yaitu  BP-REDD+, Kementerian LHK, Kementan, Lapan, BIG dan sumber-sumber lain.

“Cakupan FREL menggunakan pendekatan historis pada areal yang masih memiliki tutupan hutan alam pada 2000, dengan waktu referensi antara 2000-2012,” kata Arief Darmawan, Asisten Kepala BP-REDD+ Bidang Teknologi, Sistem & Monitoring, dalam rilis kepada media, Selasa (25/11/14).

Dengan periode waktu selama 12 tahun ini, telah mencukupi untuk menangkap dinamika kebijakan dan pemicu deforestasi dan degradasi hutan.

Dari hasil penghitungan dan analisis, didapatkan laju deforestasi historis (2000-2012) sebesar 671,420 hektar per tahun. Ia berasal dari lahan mineral 525,516 hektar dan lahan gambut 145,904 hektar per tahun. Sedangkan laju degradasi hutan 425,296 hektar per tahun, berasal dari lahan mineral 409,073 hektar dan lahan gambut 16,223 hektar per tahun.

Rata-rata emisi historis (2000-2012) dari deforestasi 210 MtCO2e per tahun, berasal dari lahan mineral 169 MtCO2e dan lahan gambut 41 MtCO2e per tahun. Ada juga tambahan emisi dari dekomposisi gambut akibat deforestasi dari 3,3 MtCO2e per tahun (2000–2001) menjadi 61.7 MtCO2e per tahun (2011 – 2012).

Dari degradasi hutan, emisi historis (2000-2012) sebesar 57.2 MtCO2e per tahun, berasal dari lahan mineral 55.4 MtCO2e dan lahan gambut 1.8 MtCO2e per tahun. Emisi tambahan dari dekomposisi gambut akibat degradasi hutan 97 MtCO2e per tahun (2000 – 2001) menjadi 75 MtCO2e per tahun (2011 – 2012).

Dengan proyeksi sederhana, emisi dari deforestasi dan degradasi hutan sampai tahun 2020,  sama dengan rata-rata per tahun emisi historis 2000-2012 dan emisi dari dekomposisi gambut yang memasukkan inherited emissions, maka FREL untuk deforestasi dan degradasi hutan Indonesia pada 2020 sebesar 439 MtCO2e per tahun.

Nur mengatakan, submisi pertama ini,  masih fokus FREL-deforestasi dan degradasi hutan, belum memasukkan tiga kegiatan REDD+ lain yaitu konservasi, pengelolaan hutan lestari, dan peningkatan cadangan carbon. Sebab,  data yang tersedia belum bisa memenuhi persyaratan untuk keperluan penilaian teknis sesuai arahan COP.

Data kegiatan konservasi, pengelolaan hutan lestari, dan peningkatan cadangan carbon melalui tanam-menanam, katanya, akan masuk dalam update dua tahunan tentang inventarisasi gas rumah kaca seluruh sektor.

Ruanda Sugardiman, Direktur Inventarisasi dan Sumberdaya Hutan Kementerian LHK, mengatakan, definisi hutan mengacu pada definisi resmi Permenhut tentang Tata Cara A/R CDM dan Standar Nasional Indonesia (SNI) 8033:2014.  Yakni, metode penghitungan perubahan tutupan hutan berdasarkan hasil penafsiran citra penginderaan jauh optik secara visual.

Pemakaian data tutupan lahan dan hutan mengacu pada hasil pencermatan Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan. Lalu, data gambut mengacu pada peta sebaran gambut oleh Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian, Kementan.

Untuk metode penghitungan deforestasi dan degradasi, kata Arief,  menggunakan stock different. Data untuk menyusun FREL ini, katanya, perlu konsisten dengan data emisi dan serapan (removals) dalam Sistem Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional (SIGN) yang menggunakan metodologi loss and gain.

Sedangkan,  data faktor emisi mengacu pada nilai biomasa berdasarkan data permanent/temporary sample plot (PSP/TSP) inventarisasi hutan nasional Kementerian Kehutanan.

Draf submisi FREL Indonesia ini disusun bersama-sama BP-REDD+, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Pertanian, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan). Juga, Badan Informasi Geospasial (BIG), Center for International Forestry Research (CIFOR), Institut Pertanian Bogor (IPB), United Nations Office for REDD+ Coordination in Indonesia (UNORCID) dan The Nature Conservation (TNC).

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,