,

Empat Tahun Dicueki Perusahaan Batubara, Haruskah Warga Dusun Durung Terus Tuntut Kompensasi?

Penambangan batubara di Kabupaten Kutai Kartanegara sudah berlangsung dari masa kolonial Belanda, tepatnya sejak 1888. Salah satu tandanya adalah Loa Kulu yang merupakan kantor dan dermaga batubara, yang dikelola perusahaan Steenkolen Maatschappij Oost Borneo (SMO) dan dilanjutkan Oost Borneo Maatschappij (OBM). Loa Kulu kini menjadi sebuah kecamatan.

Saat ini, eksplorasi batubara di Loa Kulu berlangsung di Dusun Durung, yang masuk Desa Jembayan. Sejak 2009 warga di dusun ini menghirup debu dari pertambangan batubara di wilayahnya, tepatnya dari aktivitas pengangkutan batubara melalui Jalan Hauling yang melintas pemukiman warga. Jalan Hauling sendiri posisinya lebih tinggi dari pemukiman warga. Banyak warga mengalami penyakit saluran pernapasan, meskipun sampai saat ini belum ada data pastinya.

Dusun Durung sendiri terbentuk sejak 1992. Warga membangun dusun itu untuk bertani dan berkebun. Tapi, kehidupan mereka mulai terusik sejak beroperasinya tiga perusahaan: PT. Beringin Jaya Abadi, PT. Asta Minindo, dan PT. Bara Kumala Sakti (BKS).

Selain harus menghirup debu, warga juga kesulitan air bersih. Guna memenuhi kebutuhan air bersih, warga terpaksa membeli air isi ulang atau kemasan galon untuk minum dan memasak. Dikarenakan, sumur mereka telah tercemar dan kondisi Sungai Lebang yang tidak dapat digunakan lagi airnya.

Rita Lebang, Warga Dusun Durung mengatakan, debu batubara bukan hanya mengganggu aktivitas warga, namun juga berdampak terhadap hasil panen tanaman sayuran.

Ironinya, meskipun banyak menghasilkan batubara sebagai sumber energi, tapi masyarakat Dusun Durung hingga kini belum menikmati aliran listrik. “Selama ini, kami tidak mendapat perhatian pemerintah terhadap apa yang kami alami.”

Setahun yang lalu, tepatnya 9 Oktober 2013, puluhan warga Dusun Durung yang mayoritas para ibu mengadukan nasib mereka ke kantor DPRD Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. DPRD Kutai Kartanegara memfasilitasi pertemuan antara warga dengan pihak perusahaan dan pemerintah. Sayangnya, dalam pertemuan itu, tiga perusahaan tersebut tidak mengirimkan utusannya.

Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kutai Kartanegara, dalam pertemuan tersebut menyebutkan, tahun 2012 pihaknya melakukan verifikasi lapangan terkait keluhan masyarakat. Hasilnya, ditemukan polusi debu akibat aktivitas di Jalan Hauling. BLH Kutai Kartanegara kemudian memberikan teguran ke pihak perusahaan. Tapi, teguran tersebut tampaknya diabaikan, sebab polusi debu masih berlangsung di Dusun Durung.

Kondisi Jalan Hauling yang berdebu akibat pengangkutan batubara yang melintasi permukiman warga. Foto: Gerakan Kukar Menggugat
Kondisi Jalan Hauling yang berdebu akibat pengangkutan batubara yang melintasi permukiman warga. Foto: Gerakan Kukar Menggugat

Ganti rugi

Saat konsolidasi bersama Gerakan Kukar Menggugat (GKM) pada 6 November 2014 lalu, Rita mengatakan, “Kalau bisa, kerugian kami selama perusahaan itu beroperasi diganti. Setelah itu, tutup saja atau pindahkan jalan untuk angkutannya, agar hidup kami tenang dan sehat,” katanya.

Marrani, tetua Dusun Durung mempertegas pernyataan Rita. “Sumur dan sungai kami tercemar, tanaman banyak mati dan banyak warga menderita penyakit infeksi saluran pernafasan akut, serta gatal-gatal di kulit,” katanya sambil menunjukkan kulit tangannya yang terkena penyakit kulit.

Kurang lebih empat tahun warga Dusun Durung memperjuangkan nasib mereka. Selama ini warga berjuang untuk memperoleh kompensasi dari perusahaan yang lazim disebut dengan “uang debu”. Namun, perjuangan warga menemui jalan buntu meski telah bertemu dengan petinggi pemerintahan di Kabupaten Kutai Kartanegara

Saiduani Nyuk, Koordinator Gerakan Kukar Menggugat (GKM) mengatakan, mekanisme ganti rugi bukan langkah yang tepat dalam penyelesaian permasalahan yang dihadapi warga Dusun Durung. “Jalan Hauling yang menjadi penyebab debu harus dipindahkan,” katanya.

Saiduani menambahkan, “Jika sampai 29 November 2014 tidak ada niat baik dan respon dari pemerintah untuk menindaklanjuti masalah warga, GKM bersama masyarakat akan kembali melakukan unjuk rasa.”

Koordinator JATAM Kaltim, Merah Johansyah menilai pemerintah selama ini belum mampu menjadi fasilitator terhadap berbagai konflik pertambangan. “Pemerintah cenderung diam saja, ini adalah bentuk kegagalan. Mendiamkan sebuah persoalan adalah kejahatan,” ujar Merah.

Kami menantang badan perizinan terpadu, Dinas Pertambangan dan Badan Lingkungan Hidup Daerah untuk menjadi ujung tombak dalam penyelesaian kasus warga,” katanya.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,