,

Kabut Asap Hilang, Giliran Banjir Mengancam Palembang

Masyarakat Palembang tampaknya tiada henti mengalami bencana alam. Setelah kabut asap berlalu, kini giliran ancaman bajir yang menghantui.

Hujan yang turun sepekan terakhir membuat air Sungai Musi merangkat naik. Begitu juga dengan sejumlah permukiman di Palembang yang mulai tergenang air. Meskipun, genangan tersebut surut dalam hitungan jam.

Terkait ancaman banjir ini, Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin telah mengingatkan masyarakat di Palembang, Sabtu (15/11/2014). “Kemarau panjang lalu menyebabkan kabut asap yang mengganggu kegiatan masyarakat. Kini musim hujan tiba, dan biasanya ada daerah yang terkena banjir,” katanya.

Selain menyiapkan berbagai langkah antisipasi, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumsel bersama Taruna Siaga Bencana (Tagana) pun disiapkan untuk tanggap banjir jika terjadi.

Guna mencegah banjir, Alex juga meminta masyarakat untuk tidak membuang sampah ke selokan maupun sungai. “Ada baiknya, sebelum bencana terjadi, masyarakat gotong-royong membersihkan lingkungannya.”

Pelatihan SAR bagi warga

Melanjutkan apa yang dikatakan Alex Noerdin, SAR (Search and Rescue) Palembang melakukan antisipasi bencana banjir dengan memberikan pelatihan kepada puluhan warga Palembang yang menetap di tepi Sungai Musi, Senin (24/11/2014). Pesertanya warga dari Kecamatan Plaju dan Seberang Ulu II Palembang.

Kepala Kantor SAR Palembang, Jumaril mengatakan, pelatihan SAR terhadap warga di tepian Sungai Musi sangat penting. Tujuannya agar mereka mampu menyelamatkan diri bagi dirinya, keluarganya, serta warga di lingkungannya apabila terjadi banjir.

Selain memberikan pelatihan, SAR Palembang juga menyiagakan personil yang bekerja 24 jam dan Rescue Boat sepanjang 36 meter dan 12 meter, beserta sejumlah perahu karet dan kendaaran darat.

Hentikan penimbunan rawa

Sebagaimana kabut asap, bencana banjir merupakan dampak dari kerusakan lingkungan hidup. Kerusakan ini akibat perilaku buruk dari pelaku usaha.

“Palembang merupakan daerah resapan air. Dipenuhi rawa dan sungai. Banjir mulai melanda Palembang saat pemerintahan Belanda melakukan penimbunan sejumlah sungai. Ternyata, perilaku buruk atau kesalahan Belanda ini diteruskan pemerintahan Indonesia. Anak sungai berkurang jumlahnya, dan daerah rawa ditimbun. Makanya, setiap tahun pasti banjir melanda Palembang,” kata Hadi Jatmiko, Direktur Walhi Sumsel.

Guna mengantisipasinya, kata Hadi, hentikan semua pembangunan dengan menimbun rawa. Saat ini, dari 200 hektar rawa di Palembang tersisa 50 hektar. Contoh wilayah rawa yang habis ditimbun adalah Jakabaring, yang kini dijadikan wilayah sarana olahraga, pemukiman, dan perkantoran. Kemudian kawasan Polygon, yang ditimbun untuk perumahan mewah, Jalan Soekarno-Hatta, dan perkantoran.

Belum lagi penimbunan rawa untuk perumahan, rumah toko, dan pabrik, seperti di Kecamatan Kalidoni, Kenten, Borang, dan Sako.

“Untuk membongkar bangunan yang sudah ada dan mengembalikan rawa itu sangat tidak mungkin. Jadi harus dihentikan semua penimbunan rawa yang ada. Jaga yang masih tersisa,” ujar Hadi.

Yang mungkin dapat dilakukan yakni revitalisasi anak Sungai Musi, sebab saat ini ada ratusan anak Sungai Musi yang hilang. Caranya, sejumlah anak sungai yang menyempit diperlebarkan lagi, yang mendangkal didalamkan lagi.

Faktor lain untuk mengatasi banjir, kata Hadi, semua aktivitas yang merusak hutan, seperti perkebunan dan pertambangan batubara harus dihentikan. Akibat habisnya hutan, air dari huluan yang masuk ke Sungai Musi volumenya terus meningkat. Dikatakan Hadi, dari 3,7 juta hektar luas hutan di Sumsel, yang tersisa 800 hektar yang merupakan hutan tutupan.

“Intinya persoalan banjir di Palembang tidak dapat diselesaikan dengan adanya tenaga SAR atau gotong-royong membersihkan sampah semata. Diperlukan langkah lebih maju mengenai penataan lingkungan hidup dan tata ruang kota,” ujarnya.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,