,

Maspari, Pulau Tempat Penyu Sisik Bertelur yang “Sendirian”

Jantung saya berdetak lebih cepat, saat pembantu serang speed bord mesin tempel 150 PK yang saya tumpangi mengabarkan kompas miliknya terjatuh ke laut. Sekitar 15 menit speed bord mengarah ke utara Selat Bangka, Pulau Maspari belum juga terlihat. Pandangan serang maupun penumpang terhalang oleh hujan deras yang membasahi lautan.

Semua mata penumpang mencari Pulau Maspari. “Itu! Itu! Maspari,” teriak Karnawi Baridun, Kepala Desa Simpang Tiga Makmur, yang duduk di bagian depan.

Saya pun lega, mungkin dirasakan penumpang lainnya. Pulau Maspari pun mulai terlihat wujudnya. Bentuknya mirip “ikan pari”, yang buntutnya mengarah ke pesisir timur Sumatera Selatan dan kepalanya ke arah Pulau Bangka.

Dari jauh terlihat bukit di sebelah kiri pulau. Di atas bukit itu terdapat sebuah tower rambu suar sebagai pemandu kapal-kapal laut yang lewat melintasi Selat Bangka. Kian dekat kami melihat sebuah jembatan dermaga, tapi speed bord memilih berlabuh di sampingnya di dekat sebuah kapal motor yang terdampar. Ternyata jembatan tersebut putus.

Perjalanan memakan waktu sekitar 1 satu jam 15 menit. Pasir putih menyambut saya. Saya melihat sejumlah bangunan milik Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Selatan yang tidak terawat. Dindingnya ditulis nomor telepon dengan cat. Tidak jelas maksud pemilik nomor telepon tersebut. Mungkin ingin dikenal.

“Inilah bangunan yang dulunya mau dijadikan pusat pembibitan udang windu dan ikan bandeng. Sempat berjalan, tapi karena kendala listrik, bibit yang sudah jadi mati, dan kegiatan pun dihentikan sambil menunggu solusi persoalan listrik,” kata Najib Asmani, staf ahli lingkungan hidup Gubernur Sumsel.

Tiba-tiba Najib terperanga melihat sejumlah hutan di pulau tersebut terbakar. “Lho, kok terbakar. Siapa yang bakar?” tanya Najib, yang juga aktif di REDD+ Sumsel ini.

Kami mencari Udin, pegawai honor Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Selatan. Rumah tempat tinggalnya terkunci. Hujan turun kian deras. “Mungkin ke darat membeli bekal,” kata Karnawi.

Apakah di masa lalu pulau ini didiami masyarakat? Pertanyaan itu langsung dijawab Karnawi, yang sering berkunjung ke Maspari, dengan menunjukkan sumur air tawar. Adanya air tawar ini memungkinkan masyarakat dapat hidup di wilayah ini.

“Ada tiga sumur air tawar di sini. Selama musim kemarau kemarin, ada warga kita maupun dari Sungai Lumpur mengambil air di sini. Termasuk pula nelayan yang melaut kehabisan air, pasti mengambil ke sini,” kata Karnawi.

Di dekat sumur itu terdapat tanah datar yang hanya ditumbuhi rumput, sekitar satu hektar. Perkiraan saya, dulunya mungkin merupakan wilayah permukiman penduduk.

Tak jauh dari sumur terdapat sebuah pohon besar. Karnawi tidak tahu jenis pohon tersebut. Tapi warganya menyebut “pohon are”. Di bawah pohon ini terdapat dua makam yang diberi tanda papan, dan tampak semen yang baru dibuat seseorang.

Pohon are, pohon terbesar yang ada di Pulau Maspari. Di bawahnya terdapat dua makam tua. Foto Taufik Wijaya
Pohon are, pohon terbesar yang ada di Pulau Maspari. Di bawahnya terdapat dua makam tua. Foto Taufik Wijaya

Saya bergegas ke arah selatan dan barat Pulau Maspari. Di dalam hutan yang sebagian terbakar, ditemukan pula sebuah makam. Kemungkinan makam orang muslim, jika dilihat dari batu nisannya.

Beberapa langkah kemudian, setelah menerobos pohon bakau, saya menemukan pantai. Ombak cukup besar menghantam pantai. Ada tiga kali saya nyaris terjatuh akibat hantaman ombak.

Saya ke pantai berpasir putih, yang dari jauh terlihat seperti “ekor” ikan pari. Harapan saya menemukan penyu sisik tidak terwujud. Saya menemukan berbagai lubang yang kemungkinan tempat telur penyu yang sudah digali seseorang.

Pulau Maspari secara administratif berada di Desa Simpang Tiga Jaya, Kecamatan Tulung Selapan, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan. Pulau Maspari satu-satunya pulau yang dimiliki Sumatera Selatan. Letaknya berada di Selat Bangka, jaraknya berkisar 90-100 kilometer dari pesisir timur Sumatera Selatan.

“Sudah ada yang mengambil telurnya,” kata Sadin, warga Desa Simpang Tiga Makmur, sambil mengais lubang galian di pantai yang dipenuhi sampah plastik.

“Setiap lubang berisi sekitar 200 telur. Dijual harganya Rp500 per butir. Harga pasarannya Rp1.000 per butir,” kata Sadin, memberi alasan kenapa telur penyu sisik di Pulau Maspari diburu orang.

Benarkah penyu sisik? Penjelasannya dapat dilihat dari artikel yang ditulis Agus Sulaiman, seorang penyelam dan pamong saka bahari daerah Sumsel LANAL Palembang, yang melakukan survei ke Pulau Maspari tahun 2011.  “Kami pun menemukan ratusan telur dalam satu lubang yang siap menetas, di saat yang bersamaan tanpa diduga ternyata ada satu butir telur yang telah menetas sehingga dapat segera saya kenali bahwa itu adalah tukik jenis penyu sisik yang keberadaannya sangat dilindungi karena sudah cukup langka di muka bumi ini,” tulisnya.

Selain penyu, kata Sadin, di sekitar Pulau Maspari ini banyak terdapat ikan pari. “Banyak nelayan yang menangkap dan memancing ikan pari di sekitar pulau ini.”

Bentuk mulut yang khas dari penyu sisik yang menyerupai paruh burung elang, membuatnya dinamai hawksbill turtle. Foto: Wikipedia

Persebaran

Penyu sisik (Eretmochelys imbricato) tergolong dalam familia Cheloniidae. Jenis penyu ini terancam punah, meskipun sebarannya di seluruh dunia. Secara umum, penampilan penyu sisik mirip dengan penyu lainnya. Tubuh penyu sisik datar, dilindungi sebuah karapkas, serta sirip seperti lengan yang beradaptasi untuk berenang.

Dikutip dari tulisan Jay Fajar berjudul Penyu Sisik, Penyu Pengembara yang Terancam Punah” saat ini di dunia, hanya terdapat tujuh jenis kura-kura laut yang masih bertahan hidup, yaitu penyu hijau (Chelonia mydas), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu lekang (Lepidochelys olivacea), penyu belimbing (Dermochelys coriacea), penyu pipih (Natator depressus), penyu tempayan (Caretta caretta) dan penyu kemp’s ridley (Lepidochelys kempi).  Hanya penyu kemp’s ridley yang tercatat tidak pernah ditemukan di perairan Indonesia.

Semua jenis penyu tersebut, kecuali penyu pipih, dimasukkan dalam hewan yang dilindungi baik oleh peraturan nasional maupun internasional. Badan konservasi dunia (IUCN) memasukkan penyu belimbing, penyu kemp’s ridley dan penyu sisik sebagai satwa sangat terancam punah (critically endangered). Sementara penyu hijau, penyu lekang dan penyu tempayan digolongkan sebagai terancam punah (endangered).

Penyu sisik dewasa biasanya ditemukan di terumbu karang tropis, beristirahat di gua-gua dan sekitaran terumbu karang sepanjang hari. Sebagai spesies yang bermigrasi sangat jauh, mereka dapat mendiami berbagai habitat, dari samudra terbuka sampai laguna dan rawa hutan bakau di muara. Seperti penyu muda lainnya, mereka digolongkan sebagai pelagik sempurna, yang tetap berada di laut sampai masa dewasa.

Dari gambaran ini, kian menguatkan penyu sisik hidup di sekitar Pulau Maspari. Sebab pulau tersebut satu-satunya pulau terdekat dari pesisir timur Sumatera Selatan yang berhutan bakau, dan di sekitar pulau tersebut terdapat terumbu karang tropis.

Berapa jumlah penyu sisik di Pulau Maspari? Berdasarkan penelitian yang dilakukan Dr. Moh. Rasyid Ridho, guru besar dari Fakultas MIPA Universitas Sriwijaya pada 2007, terdapat 24 ekor penyu sisik yang naik ke Pulau Maspari untuk bertelur. Telur yang ditemukan sekitar 3.060 butir dengan diameter tiga centimeter. Penelitian Ridho menyebutkan luas perairan di sekitar Pulau Maspari 14,8 hektar, darat seluas 6,1 hektar, terumbu karang 10,3 hektar, dan pasir 11,1 hektar.

Belum adanya pihak yang melakukan perlindungan penyu sisik di Pulau Maspari dibenarkan Karnawi. “Setahu saya belum ada lembaga yang melakukan perlindungan penyu sisik di sini. Kalau ada yang melindungi, pasti tidak ada pencurian telur penyu tersebut,” katanya.

Pantai Pulau Maspari yang dari jauh terlihat seperti buntut ikan pari. Secara administratif pulau ini berada di Desa Simpang Tiga Jaya, Kecamatan Tulung Selapan, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan. Foto Taufik Wijaya
Pantai Pulau Maspari yang dari jauh terlihat seperti buntut ikan pari. Secara administratif pulau ini berada di Desa Simpang Tiga Jaya, Kecamatan Tulung Selapan, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan. Foto Taufik Wijaya

Kajian mendalam

Keinginan menjadikan Pulau Maspari sebagai sentra pembibitan udang windu dan ikan bandeng, menimbulkan kekhawatiran sejumlah pihak mengenai keberadaan penyu sisik di pulau tersebut.

“Saya kira gagasan tersebut baik, sebab memang para petambak di wilayah pesisir timur Sumatera Selatan sangat membutuhkan bibit udang yang murah dan berkualitas baik. Tapi semoga keberadaan pembibitan tersebut tidak merusak lingkungan di Pulasu Maspari,” kata Faisal dari LSM Bakau, Selasa (18/11/2014).

Dewi Satriani, manager Kampanye WWF Indonesia, kepada Mongabay Indonesia, mengatakan jika memang Pulau Maspari merupakan lokasi tempat bertelur penyu sisik, maka sudah seharusnya dilindungi. “Mereka yang mencuri telur penyu sisik maupun penyu sisiknya harus ditangkap,” katanya.

Terkait soal rencana menjadikan Pulau Maspari sebagai sentra pembibitan udang windu dan ikan bandeng harus dimulai dari studi yang mendalam. Meskipun lokasi pembibitan tidak dilakukan di pantai, yakni di lokasi daratan, tapi yang harus diperhitungkan mengenai limbah dari sistem pembibitan tersebut.

“Harus dipertimbangkan limbah tersebut tidak merusak terumbu karang tempat penyu sisik hidup. Sehingga limbah tidak merusak terumbu karang maupun makanan penyu sisik,” katanya.

Najib Asmani berkeyakinan, sentra pembibitan udang windu dan ikan bandeng diyakini tidak akan merusak keberadaan penyu sisik. “Justru selama ini karena tidak ada kegiatan di pulau tersebut, banyak terjadi pencurian telur penyu sisik. Tidak ada yang mengontrol atau memantaunya. Jika ada kegiatan di Pulau Maspari, maka lokasi pantai yang menjadi tempat penyu sisik bertelur akan dilindungi, dikonservasi. Ada yang memantau,” katanya.

“Tepatnya para pengelola pembibitan udang windu dan ikan bandeng, juga berfungsi melindungi penyu sisik,” ujarnya.

Najib sepakat jika dibutuhkan studi yang mendalam mengenai Pulau Maspari, terkait soal rencana pembangunan sentra pembibitan udang windu dan ikan bandeng di sana. “Jika memang lebih banyak mengancam lingkungan, ya, dibatalkan saja. Tapi menurut saya tidak merusak, sejauh dilakukan dengan benar. Sebab dampak pembibitan ini akan meningkatkan kesejahteraan para petambak udang windu dan ikan bandeng di sepanjang pesisir timur Sumatera Selatan,” ujar akademisi dari Universitas Sriwijaya ini.

Hutan bakau dan pasir putih tempat penyu bertelur di Pulau Maspari. Foto Taufik Wijaya
Hutan bakau dan pasir putih tempat penyu bertelur di Pulau Maspari. Foto Taufik Wijaya

Pulang

Siang, perut mulai terasa lapar. Bekal berupa gorengan dan kopi dari istri Karnawi cukup mengganjal perut. Hujan belum juga berhenti. Cemas cuaca akan memburuk, kami memutuskan pulang lebih cepat.

Benar, sepanjang perjalanan gelombang mulai membesar. Jalur pun mulai ramai oleh speed bord dari Sungai Lumpur ke Pulau Bangka. Sebagian penumpang menundukan kepala, dan mengaku pusing. Perjalanan sejauh 90-100 kilometer itu akhirnya memberikan kelegaan saat pantai pesisir timur mulai terlihat.

“Mabuk laut langsung hilang setelah melihat hutan mangrove,” kata Hasanuddin, Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI). Para penumpang tertawa, meskipun angin kencang dan hujan menerpa seluruh tubuh.

Saat di rumah Karnawi rasa penat pun hilang. Apalagi setelah melahap pidang ikan kakap putih, pindang udang windu, bersama sambal terasi dengan buah kemang, yang dihidangkan istri Karnawi.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,