, ,

Memprihatinkan, Gajah Sumatera Diambang Kepunahan

Sedikitnya 45 ekor gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) mati dalam periode 2011-2014. Kematian tersebut disebabkan karena perburuan dan konflik dengan manusia yang terjadi di Aceh, Riau, Jambi, Bengkulu dan Lampung.

Kematian gajah yang terakhir terjadi adalah di Alue Meuraksa, Kecamatan Teunom, Kabupaten Aceh Jaya, Aceh, pada Selasa (18/11/2014), seekor gajah betina yang diperkirakan berumur 12 tahun diketemukan mati.

Sehari sebelumnya, pada Senin (17/11/2014), Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi mendapat laporan dari warga Desa Tanjung,  Kecamatan VII Koto, Kabupaten Tebo, Jambi mengenai temuan bangkai 2 ekor gajah Sumatera di kebun sawit plasma PT. Sumbar Andalas Kencana (SAK), perkebunan sawit milik grup Incasi Raya, perusahaan perkebunan sawit dan produsen CPO yang berkantor pusat di Sumatera Barat.

Kasus kematian gajah akhir-akhir ini disebabkan oleh 2 faktor utama, yaitu perburuan dan konflik dengan manusia. Orang memburu gajah untuk diambil gadingnya yang nilainya cukup tinggi di pasar gelap.  Informasi tersebut dipaparkan oleh Krismanko Padang, Ketua Forum Komunikasi Gajah Indonesia (FKGI).

“Angka tersebut merupakan angka yang tercatat oleh para praktisi dan pemerhati konservasi gajah di Indonesia. Bisa jadi angka sebenarnya lebih dari yang kami ketahui,”jelas Krismanko kepada Mongabay, Senin (24/11/2014).

Konflik gajah sumatera dengan manusia mengalami peningkatan yang cukup signifikan akhir-akhir ini. Deforestasi menjadi sebab utama timbulnya konflik karena kawasan yang tadinya menjadi habitat gajah telah berubah menjadi kawasan produksi ataupun pemukiman. Tak ayal, peluang bertemunya gajah dengan manusia semakin tinggi.

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh FKGI, hanya 15 persen habitat gajah yang berstatus kawasan konservasi. 85 persen merupakan kawasan yang berupa hutan lindung, hutan tanaman, perkebunan sawit dan kawasan produksi lainnya.

Kondisi ini menyebabkan kantong-kantong habitat gajah semakin menghilang dari hari ke hari. Lebih lanjut, Krismanko menyampaikan bahwa 13 dan 56 kantong habitat gajah diketahui telah hilang. Dari 43 yang tersisa, 11 di antaranya diketahui dalam kondisi kritis dan 2 kantong habitat dinyatakan berada di ambang kritis.

“Ada beberapa kantong habitat yang teramati hanya terdapat 2 sampai 3 ekor. Kondisi demikian sangat mengkhawatirkan bagi kelestarian sub populasi gajah di kawasan tersebut,” jelas Krismanko yang sehari-harinya bertugas sebagai staf BKSDA Jambi ini.

Pemerintah Tindak Tegas Pembunuh Gajah Sumatera

Menanggapi maraknya kasus kematian gajah sumatera akhir-akhir ini, Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati, Direktorat Jenderal PHKA Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Bambang Dahono Adji menyampaikan bahwa pemerintah serius dalam menangani kasus kematian gajah. Penyebab kematian gajah harus dapat disimpulkan secara tepat apakah akibat penyakit di alam atau dibunuh secara sengaja, karena akan berpengaruh terhadap penanganan selanjutnya. Hal ini disampaikan dalam rapat koordinasi dengan forum konservasi spesies, Senin (24/11/2014) lalu di Bogor.

Bangkai gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) tanpa kepala terlihat di areal perkebunan sawit plasma di Desa Tanjung, Kecamatan VII Koto, Kabupaten Tebo, Jambi, Rabu (18/11). Gajah jantan ini diduga kuat korban dari perburuan liar untuk mengambil gadingnya.  Foto: Andreas Sarwono/FKGI
Bangkai gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) tanpa kepala
terlihat di areal perkebunan sawit plasma di Desa Tanjung, Kecamatan
VII Koto, Kabupaten Tebo, Jambi, Rabu (18/11). Gajah jantan ini diduga
kuat korban dari perburuan liar untuk mengambil gadingnya. Foto: Andreas Sarwono/FKGI

Untuk kasus pembunuhan gajah, Bambang menjelaskan bahwa PHKA sudah bekerjasama dengan Bareskrim POLRI untuk mengusut tuntas kasus-kasus perburuan gajah yang terjadi. Kasus-kasus yang ada saat ini sedang dalam penyelidikan lanjutan untuk mengungkap para pelaku dan jaringannya.

“Penyelidikan terhadap pembunuhan gajah akan kami pantau terus sampai pelakunya tertangkap. Kami akan tidak tegas setiap pelaku pembunuhan gajah, siapapun orangnya ,” jelasnya lebih lanjut.

Pembinaan Habitat Kunci Keberhasilan Konservasi Gajah

Habitat gajah saat ini berkurang secara signifikan akibat perubahan tata ruang yang tadinya berupa hutan alam diubah menjadi kawasan produksi. Perubahan tersebut membuat gajah seringkali terlibat konflik dengan manusia, karena gajah memiliki homerange yang sangat luas antara 32 sampai 170 kilometer persegi. Selain itu, perilaku menjelajah mengikuti jalur yang tetap dalam satu siklus seringkali menyebabkan masalah di sepanjang jalur perlintasannya.

Terkait dengan habitat yang 85 persen di luar kawasan konservasi, Krismanko menyampaikan pentingnya peran berbagai pihak untuk bersama-sama melakukan pembinaan populasi dan habitat gajah sumatera. Selama ini, terbangun pemahaman bahwa masalah yang terkait dengan perlindungan satwa merupakan domain pemerintah pusat saja. Padahal, peran pemerintah daerah dan pihak lainnya sangat penting untuk bersama-sama menyelamatkan populasi gajah yang ada.

Salah satu upaya pembinaan habitat gajah sumatera adalah membuat koridor habitat gajah. Ruang jelajah gajah harus diketahui dan dijadikan dasar penyusunan tata ruang. Selain itu, fungsi koridor juga sebagai penghubung antara kantong populasi yang satu dengan yang lainnya agar pertukaran gen antar populasi dapat terjadi.

“Saat ini banyak habitat gajah yang menjadi hutan tanaman ataupun perkebunan sawit. Peran aktif swasta dalam  pelestarian gajah juga sangat penting dalam membangun koridor tersebut. Oleh karena itu, peran forum konservasi gajah kami pandang sangat penting untuk dapat menyatukan aksi berbagai pihak,” jelas Krismano lebih lanjut.

Menurut data FKGI, populasi gajah sumatera saat ini berkisar antara 1400 sampai 1700 individu. Angka tersebut diperoleh dari riset yang dilaksanakan hingga bulan Maret 2014 yang lalu. Aceh merupakan daerah dengan populasi gajah tertinggi karena kawasan hutannya masih sangat luas.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,