,

Sentra Bibit Udang Windu di Pulau Maspari Dikhawatirkan Ganggu Habitat Penyu Sisik. Benarkah?

Keinginan pemerintah Sumatera Selatan dan Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) menjadikan Pulau Maspari sebagai sentra pembibitan udang windu dan ikan bandeng, tampaknya akan berbenturan dengan keinginan penggiat lingkungan hidup untuk menjadikan pulau tersebut sebagai kawasan konservasi penyu sisik.

Keinginan Pulau Maspari untuk dijadikan kawasan konservasi penyu sisik ini diungkapkan Dr. Mohammad Rasyid Ridho dari Universitas Sriwijaya, yang pernah melakukan penelitian penyu sisik pada 2007-2008 di pulau tersebut.

Dikatakannya, saat ini perhatian pemerintah terhadap Pulau Maspari sangat kurang. “Padahal wisata ilmiah, wisata alam, wisata konservasi penyu bisa dikembangkan di pulau tersebut. Pulau Maspari memiliki keunikan tersendiri berupa hamparan pasir putih yang menjorok memanjang ke arah laut serupa bagian ekor ikan pari,” kata Ridho saat ditemui di kampus Pascasarjana Universitas Sriwijaya, Bukitbesar, Palembang, Sabtu (22/11/2014) lalu.

Dari penelitian yang dilakukan Ridho, terdapat 24 ekor penyu sisik yang bertelur dan menetaskan anaknya di pulau tersebut di garis pantai putih sepanjang 1,5 kilometer. Tanaman yang ada di Pulau Maspari seperti ketapang (Terminalia catappa), pandan laut (Pandanus tectorius), serta jambu monyet (Anacardium occidentale). Kemudian tanaman mangrove jenis bakau minyak (Rhizopora apiculata) dan apple mangrove (Sonneratia alba).

Ridho menuturkan, berdasarkan informasi yang didapatnya, ancaman terhadap penyu sisik berupa perburuan telur penyu tersebut. “Saya tidak tahu, telur itu diburu untuk makan atau dijual. Yang jelas mengancam keberlangsungan penyu sisik,” katanya.

Selain itu, adanya para pencari batu alam di pulau yang luas daratan sekitar 25 hektar tersebut. Para pencari batu alam merusak keindahan pulau. “Mereka mendongkel tebing-tebing bebatuan dengan linggis dan peralatan lainnya,” kata Ridho.

Selanjutnya Ridho mengkhawatirkan ekosistem Pulau Maspari dengan rencana PT. OKI Pulp & Paper Mills yang akan membangun dermaga di Tanjung Tapah, Kecamatan Air Sugihan. Menurut Ridho, di daerah tersebut kemungkinan sedimentasinya cukup besar, dan dapat mengancam keberadaan Pulau Maspari.

“Saya tidak mengatakan menolak rencana tersebut. Namun, harus ada kajian ilmiah dari pihak yang independen mengenai pengaruh dari pembangunan dermaga tersebut. Kalau tidak ada masalah, ya tidak masalah. Kalau ada, dampaknya seperti apa dan bagaimana penanganannya. Tetapi selama tidak ada data pendukung bahwa ini ada pengaruhnya atau tidak, ini harus hati-hati,” ujarnya.

Gagasan Ridho agar Pulau Maspari dijadikan kawasan konservasi penyu sisik mendapat dukungan Nurhayat Arief Permana, pekerja seni Palembang yang senang melakukan perjalanan budaya. “Saya rasa dengan kekayaan hayati dan sejarahnya, Pulau Maspari dapat dikatakan sebagai lokai wisata alam dan sejarah. Pemerintah harus menjaga kelestariannya. Ini merupakan aset satu-satunya milik Sumatera Selatan berupa pulau,” katanya.

Penyu sisik ini bertelur dan menetaskan anaknya di Pulau Maspari. Foto: Wikipedia

Bukti peradaban masa lalu 

Nurhadi Rangkuti, kepala Balai Arkeologi (Balar) Palembang, memperkirakan Pulau Maspari menjadi persinggahan para pelaut sejak masa Kerajaan Sriwijaya, sebelum kapal menuju wilayah pesisir timur Sumatera Selatan.

Selain karena posisinya dekat pesisir timur Sumatera Selatan, juga di pulau ini ditemukan sumber air tawar, serta hutan yang ditumbuhi beragam jenis tanaman yang menjadi sumber pangan. “Tak lupa di pulau terdapat bukit, yang dijadikan para pelaut untuk memantau kapal-kapal yang lewat,” katanya, Selasa (25/11/2014).

Pernyataan Nurhadi dibuktikan adanya pemakaman tua di pulau tersebut. Termasuk pula adanya tanah lapang seperti bekas pemukiman penduduk. “Saya kira, hingga masa Kesultanan Palembang pulau ini didiami penduduk,” katanya.

“Saya percaya pulau ini banyak meninggalkan bukti-bukti kebudayaan masa lampau. Termasuk sejumlah kapal karam yang berada di sekitarnya. Hanya, apakah bukti-bukti tersebut masih tersisa atau sudah habis dijarah para pemburu harta karun,” kata Nurhadi.

Menurut Nurhadi, sebelum pulau tersebut dimanfaatkan sebagai sentra pembibitan udang windu dan ikan bandeng, sebaiknya dilakukan penelitian arkeologi. “Sehingga bukti-bukti sejarah yang ditemukan dapat terlindungi,” ujarnya.

Tidak akan merusak habitat penyu 

Junaidi dari Dinas Kehutanan Kabupaten OKI, berpendapat apa yang diinginkan Ridho menjadikan Pulau Maspari sebagai konservasi penyu sisik justru akan terwujud jika pulau tersebut difungsikan sebagai sentra pembibitan udang windu dan ikan bandeng.

Teorinya, kata Junaidi, aktivitas pembibitan udang windu dan ikan bandeng tersebut tidak menggunakan laut dan pantai tempat penyu hidup dan berkembang biak. Pembibitan dilakukan di puluhan bak buatan yang berada di darat.

Bersamaan dengan aktivitas tersebut, para pengelola pembibitan dapat ditugaskan menjaga habitat penyu sisik. Termasuk berfungsi mengembalikan penghijauan pulau dan penjagaan situs budaya di pulau seperti yang diinginkan Nurhadi.

“Saat ini karena tidak ada aktivitas, semuanya menjadi terancam. Kalau hanya menjadikan objek wisata, saya kira terlalu mahal, sebab biaya transportasi ke pulau tersebut sangat mahal. Kalau ada aktivitas pembibitan udang windu tersebut mungkin angkutan menjadi ramai, dan biaya transportasi menjadi lebuh murah,” kata Junaidi, Selasa (25/11/2014).

Terkait soal rencana pembangunan dermaga di Tanjung Tapah, kata Junaidi, jika dikaitkan dengan terganggunya Pulau Maspari sangatlah kecil. “Sebab jarak Tanjung Tapah dengan Pulau Maspari sangat jauh, bisa mencapai 150 kilometer jaraknya. Tanjung Tapah di utara dan Pulau Maspari di selatan dari Selat Bangka. Tapi ada baiknya dilakukan penelitian yang mendalam mengenai hal tersebut,” katanya.

Wajah pertambakan tradisional di Hutan Lindung Pantai Sungai Lumpur dan Sungai Mesuji di pesisir timur OKI, Sumatera Selatan. Warga menambak udang windu dan ikan bandeng. Foto Junaidi

Akses ekonomi masyarakat

Faisal dari LSM Bakau, yang selama ini melakukan pendampingan terhadap para nelayan dan petambak di Kabupaten OKI, mendukung semua langkah positif terkait Pulau Maspari. “Prinsipnya memberikan dampak positif secara ekonomi bagi masyarakat, dan tidak merusak lingkungan. Kalau hidup makmur tapi merusak lingkungan jelas bukan langkah yang baik. Lingkungan terjaga, tapi rakyat hidup miskin itu pun bukan solusi yang diharapkan masyarakat,” katanya.

Anwar Sadat dari Serikat Petani Sriwijaya (SPS) lebih menekankan akses ekonomi masyarakat terhadap Pulau Maspari. “Jika pulau tersebut hanya dijadikan konservasi penyu sisik, tampaknya sulit membuat masyarakat menjadi sejahtera dengan memanfaatkan pulau tersebut. Justru akan menimbulkan konflik antara masyarakat dengan penyu sisik. Kenapa? Saat ini kehidupan para nelayan di pesisir timur Sumsel belum begitu sejahtera. Apa pun yang dapat dijadikan sumber pendapatan, termasuk menjual penyu dan telur sangat mungkin terjadi,” katanya.

Keberadaan Pulau Maspari, kata Sadat, merupakan potensi yang harus didorong manfaatnya bagi kesejahteraan masyarakat. Meskipun demikian, Sadat pun sadar pelestarian terhadap kekayaan hayati dan budaya yang ada di Pulau Maspari harus terjaga.

Solusinya? “Pulau Maspari diupayakan sebagai lokasi kegiatan ekonomi, yang tidak merusak lingkungan. Tapi kegiatan ekonomi yang sejalan dengan perilaku sosial masyarakat sekitarnya, dan berkarakter ramah lingkungan. Soal kegiatan ekonomi tersebut, saya kira dapat dikaji bersama, yang tujuannya menjamin akses ekonomi masyarakat dan menjaga kelestarian lingkungan,” katanya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,