,

Kala Pengrajin Tenun Ikat Sintang Kesulitan Bahan Baku Alami

Duduk selonjor kaki, Anastasia (35) tampak sibuk siang itu. Tangannya lihai “memainkan” perangkat tenun tradisional miliknya. Ibu dua anak dari Desa Umin, Kecamatan Dedai ini sangat terampil. Hari itu, ia membuat kain tenun ikat dengan motif tiang belumba.  Salah satu motif khas tenun ikat Dayak Sintang yang mendunia hingga ke Belanda.

Tidak semua pengrajin bisa membuat tenun ikat alami. Apalagi, bila bahan baku yang digunakan berasal dari alam. Selain prosesnya rumit, pembuatannya juga memerlukan waktu cukup lama. “Belajar menenun sejak umur 15 tahun. Saya keluar keringat dingin, pusing-pusing dan hampir menangis kala itu, karena prosesnya yang sulit,” ucapnya saat ditemui Mongabay di Rumah Betang Kobus, Sintang, Kalimantan Barat, 19 November lalu.

Ia menjelaskan, pembuatan tenun ikat tradisional dimulai dengan pengumpulan bahan. Bila benang sudah tersedia, yang dibutuhkan adalah bahan pewarna alami. Salah satunya kulit akar pohon mengkudu. Kulit mengkudu lazim digunakan karena mampu menghasilkan corak warna yang bagus. Biasanya merah pekat. Bisa juga mengunakan daun tarum atau indigo. “Kalau menggunakan mengkudu, kulit akarnya yang sudah dibersihkan dicampur daun emarik, ditumbuk hingga halus. Setelah itu direndam dengan minyak kelapa atau lemak binatang supaya warnanya meresap. Lalu, diamkan sehari semalam, setelah itu jemur hingga kering,” urainya.

Selesai pewarnaan, pekerjaan dilanjutkan dengan pengikatan benang, lalu pembuatan motif dan memadankan warna yang sesuai. Proses inilah yang memerlukan waktu berbulan dengan keahlian khusus. “Bila proses itu sudah dilalui, menenun hanya memerlukan waktu seminggu saja,” jelas Anastasia.

Tini (57), penenun dari Desa Umin lainnya menjelaskan, ada pantangan yang tidak boleh dilanggar ketika membuat motif tenun ikat. Yakni, membuat motif binatang yang bernyawa dan menuliskan nama di kain. “Pantangan ini seperti cerita mistis. Bila dilanggar, penenunnya akan mendapatkan musibah. Kejadian seperti ini sering terjadi.”

Mengingat proses pembuatan tenun ikat sulit dan lama, tak heran harga jualnya juga tinggi. Sehelai kain mancapai Rp 500-600 ribu, pasmina Rp 200-300 ribu, selimut Rp 800 ribu, dan syal Rp 20-25 ribu. “Ini harga langsung ke pengrajin,” bebernya.

Meski tenun ikat Sintang sudah mendunia, namun ada sejumlah persoalan yang mengganggu pengrajin. Yakni, sulitnya mendapatkan bahan baku alami: kapas dan bahan pewarna alami. Anastia menuturkan, untuk mendapatkan bahan baku alami, sejumlah warga desa terpaksa memanfaatkan pekarangan. “Yang kami tanam biasanya mengkudu.”

Sulitnya mendapatkan bahan baku alami karena lahan semakin terbatas. Selain digunakan untuk kebun karet, lahan yang ada sudah menjadi kebun sawit. “Kulit akar mengkudu yang digunakan minimal berumur 7-8 tahun. Untuk mendapatkan mengkudu berkualitas bagus, sulit bila mengharapkan dari pekarangan,” katanya.

Sejumlah hasil pengrajin tenun ikat di pamerkan di Rumah Betang Kobus saat Festival dan Lomba Tenun Ikat 18 November 2014. Foto : Yusrizal
Sejumlah hasil pengrajin tenun ikat di pamerkan di Rumah Betang Kobus saat Festival dan Lomba Tenun Ikat, 18 November 2014. Foto: Yusrizal

Kebijakan

Pengelola Koperasi Kerajinan Tenun Ikat Dayak Jasa Menenun Mandiri, Sugiman Karyaredja mengakui, pembutan tenun ikat alami memang mengalami kesulitan bahan baku. “Apalagi hutan dan lahan makin sedikit,” katanya.

Untuk mengatasinya, koperasi membina ribuan pengrajin di Desa Umin, Kecamatan Desai dan Ensaid Panjang, Kecamatan Kelam Permai untuk budi daya tanaman pewarna alami. “Kami melakukan penanaman kapas untuk bahan baku benang, karena ada permintaan yang menginginkan kain ikat betul-betul alami. Mulai dari kapas, pewarna, dan proses pembuatannya.”

Agar bahan baku yang dibudidayakan tidak habis, kata Sugiman, pihaknya memberikan pembinaan cara pengambilan bahan baku yang ditanam. “Mereka diminta tidak memotong akar tumpang, agar tanamannya tidak mati.”

Ia mengakui, pangsa pasar tenun ikat Dayak cukup tinggi. Bahkan, tenun ikat alami sangat diminati para turis. “Kami pernah mengirim pengrajin ke Meksiko, Filiphina, Brunai Darussalam dan Kuching, Malaysia.”

Sri Rosmawati, Kepala Bidang Koperasi Usaha Kecil dan Menengah Dinas Perdagangan, Perindustrian, Koperasi dan UKM Sintang mengatakan, bahan baku tenun ikat alami ada dua macam, yakni benang dan pewarna. Untuk menyediakan bahan baku tersebut diperlukan upaya komprehensif perluasan areal budi daya yang makin sedikit akibat kebun sawit.

Ia mengatakan, dirinya pernah membicarakan permasalahan ini ke Dinas Perkebunan dan sejumlah perusahaan. “Namun, belum terealisasi hingga kini.”

Untuk menampung hasil tenun perajin, Sri Rosmawati menegaskan perlunya kebijakan pemerintah daerah. Misalnya wajib menggunakan seragam kain bermotif tenun ikat minimal seminggu sekali. “Kalau hanya menggunakan batik daerah, itu belum spesifik. Karena, batik itu bisa saja menggunakan bahan kimia. Yang mendapat untung juga bukan masyarakat. Kalau menggunakan kain tenun ikat alami, yang menerima dampak para penenun dari Sintang. Kalau bukan kita yang peduli, siapa lagi?,” katanya.

Dalam kesempatan tersebut, Sri juga menyampaikan soal tenun ikat yang belum terdaftar di Hak Kekayaan Intelektual (HAKI). “Dulu pernah dilakukan, tapi belum terdaftar hingga sekarang.”

salah satu motif kerajinan tenun ikat yang dibuat dalam bentuk tas. Tenun ikat Sintang terkenal hingga mancanegara dan menjadi salah satu koleksi di museum Amsterdam, Belanda. Foto: Yusrizal
Motif kerajinan tenun ikat yang dibuat dalam bentuk tas. Tenun ikat Sintang terkenal hingga mancanegara dan menjadi salah satu koleksi di museum Amsterdam, Belanda. Foto: Yusrizal

Koleksi Museum Belanda

Asisten II Sekretariat Daerah Kabupaten Sintang, Hotler Panjaitan, mengatakan bahwa tenun ikat Sintang cukup dikenal luas masyarakat baik lokal, nasional, hingga internasional. “Tenun ikat Sintang juga ada di museum Amsterdam yang mengkoleksi tenun ikat seluruh dunia,” kata Hotler.

Hotler mengapreasiasi upaya Yayasan Kobus dan Koperasi Jasa Menenun Mandiri Sintang yang sejak lama memberikan perhatian pada pelestarian tenun ikat Sintang. “Harus ada regenerasi penenun dan pembuatan motif harus dikreasikan dengan perkembangan zaman.”

Menurut Hotler, kerajinan tenun ikat Sintang sangat membantu menggerakkan perekonomian rakyat berbasis industri rumah tangga. “Lewat kegiatan ini, ibu-ibu penenun bisa mandiri,” katanya.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,