,

Minim Ruang Terbuka Hijau, Palembang Belum Mencerminkan Kota Tertua di Indonesia

Palembang, dalam Prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan di Bukit Siguntang sebelah barat Palembang, ditafsirkan dibentuk pada 16 Juni 682 masehi. Temuan tersebut, menasbihkan Palembang sebagai kota tertua di Indonesia.

Harusnya, sebagai kota yang dilahirkan sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Sriwijaya, Palembang menjadi contoh penataan pembangunan di Indonesia, termasuk lingkungannya. Namun, julukan tersebut belum terlihat sebagaimana mestinya.

Selain ancaman banjir, ruang terbuka hijau (RTH) di kota yang luasnya mencapai 358,55 kilometer persegi dengan penduduk hampir dua juta jiwa ini juga sangat minim.

“Penyebabnya, pembangunan yang dilakukan selama ini kurang memperhatikan lingkungan. Misalnya, rawa dan sungai ditimbun atau hutan kota dihabisi untuk membangun perkantoran, rumah toko, atau pusat perbelanjaan,” kata Nurhayat Arief Permana, seorang pekerja seni dan pegiat lingkungan hidup, Senin (01/12/2014).

Mengutip data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), yang menyatakan luas rawa di Palembang dari 200 hektar tersisa 50 hektar, kata Nurhayat, kondisinya tetap terancam hingga saat ini. “Semua tahu, penimbunan rawa untuk lokasi rumah toko, perumahan, terus berlangsung,” katanya.

Upaya yang terlihat hanya penataan anak Sungai Musi. “Hilangnya 221 anak Sungai Musi, tampaknya membuat pemerintahan Palembang cemas. Mereka mencoba menata dan menjaga anak Sungai Musi yang tersisa.”

Yang justru memprihatinkan, Palembang minim ruang terbuka hijau. “Palembang terkesan seperti sebuah kota di Timur Tengah yang sedang melakukan penghijauan. Ada pohon tapi panas dan sumpek,” katanya.

Kondisi ini, berbanding terbalik dengan catatan sejarah Palembang. Di masa Kerajaan Sriwijaya, Palembang dikenal memiliki kebun buah, bunga dan tanaman yang sangat luas. Penataan sungai dan kanal juga begitu baik, sehingga wilayah rawa belum tercatat mengalami bencana banjir. Bencana banjir mulai terasa di masa pemerintahan Belanda tahun 1930-an, saat mereka melakukan penimbunan sejumlah anak Sungai Musi.

“Penataan yang kacau ini, jelas tidak mencerminkan Palembang sebagai kota tertua di Indonesia, dan wajar jika ada yang meragukan Kerajaan Sriwijaya pernah ada di sini. Sebab cerminan penataan lingkungannya tidak menunjukkan sebuah kebudayaan yang tinggi,” katanya.

Menanam pohon

Minimnya RTH diakui pemerintahan Palembang. Penanaman 20 ribu pohon yang dilakukan sejak Januari 2014,  baru mencapai 22 persen dari 30 persen yang merupakan batas minimum RTH.

“Saat ini masih jauh dari minimun, dan akan terus dikejar hingga 2018,” kata Harrey Hadi, Kepala Dinas Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (DP2K) Palembang, kepada wartawan, saat peringatan Hari Menanam Pohon Indonesia dan Bulan Menanam Nasional 2014, Senin (01/12/2014).

Solusi mengejar hal tersebut, hanya melakukan penanaman pohon. Upaya ini tidak hanya dilakukan pemerintah dan sekolah, juga pihak perumahan maupun perkantoran swasta, serta masyarakat.

“Misalnya minimal satu atau dua pohon di satu rumah,” katanya.

Sebelumnya, Wakil Walikota Palembang Harnojoyo dalam acara tersebut melakukan penanaman pohon. Pohon yang ditanam matoa di area kantor DP2K Palembang.

“Menanam pohon bukan hanya untuk keindahan, tetapi juga untuk menyelamatkan kondisi Palembang,” kata Harnojoyo. Dia pun mengajak semua pihak untuk menanam pohon, baik di lingkungan kantor, rumah, serta lembaga pendidikan.

Tepian Sungai Musi yang minim ruang terbuka hijau (RTH). Palembang, dahulunya pernah dikenal sebagai Venesia dari Timur (Venice of the East), karena banyaknya sungai yang ada di Bumi Sriwijaya ini. Foto Taufik Wijaya
Tepian Sungai Musi yang minim ruang terbuka hijau (RTH). Palembang, dahulunya pernah dikenal sebagai Venesia dari Timur (Venice of the East), karena banyaknya sungai yang ada di Bumi Sriwijaya ini. Foto Taufik Wijaya

Perda lingkungan hidup

Guna menghijaukan Palembang, bukan hanya upaya  penanaman pohon. Juga harus dilakukan upaya pencegahan penebangan dan perusakan.

“Hal ini dapat dilakukan pemerintah Palembang dengan menerapkan satu regulasi yang isinya melarang atau memberikan sanksi berat terhadap mereka yang melakukan penebangan atau perusakan pohon,” kata Dr. Tarech Rasyid, pengamat lingkungan hidup dan demokrasi dari Universitas Ida Bajumi (IBA) Palembang, Senin.

“Percuma kalau menanam ribuan pohon, jika pada saat bersamaan dilakukan penebangan secara bebas,” katanya.

“Pohon boleh ditebang, tapi untuk kepentingan publik, seperti membuat jalan atau jembatan. Itu juga diupayakan dengan penanaman pohon baru di lokasi tersebut,” kata Tarech.

Minimnya RTH di Palembang menurut Tarech merupakan pelanggaran hukum oleh penyelenggara pemerintahan. Sebab batas minimum RTH sebesar 30 persen itu merupakan kebijakan dari UU No.26 tahun 2007 tentang penataan ruang.

“Artinya pemerintah harus serius mengatasinya, bukan sebatas penanaman pohon hingga tiga tahun ke depan. Harus ada kebijakan berupa peraturan daerah mengenai lingkungan hidup di Palembang,” kata Tarech.

Perda tersebut selain mengatur soal penanaman pohon, larangan perusakan maupun penebangan pohon, juga mengatur penataan kota dengan melihat kelestarian rawa, sungai, dan hutan kota.

“Percayalah, jika tidak ada regulasi lingkungan hidup, maka sangat sulit menata lingkungan hidup di Palembang,” jelasnya.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,