Dalam Dua Pekan, Ratusan Kali Gempa Guncang Sulut

Gempa bumi berkekuatan 6,8 Skala Ritcher (SR) mengguncang Sulawesi Utara (Sulut), pada Rabu (26/11/14). Pusat gempa pada koordinat 1,99 LU – 126,50 BT, dengan kedalaman 10 Km. Ini gempa susulan, setelah Sabtu (15/11/20), masyarakat Sulut dikagetkan gempa berkekuatan 7,3 SR. BMKG mencatat, sejak Sabtu, terjadi hingga 190 kali aktivitas gempa.

Sandy Nur Eko, staff Operasional Stasiun Geofisika Manado, mengatakan, gempa terjadi karena subduksi ganda di Laut Maluku. Subduksi itu retakan di lempeng pasifik yang menekan lempeng Filipina, kemudian kembali menekan lempeng Halmahera. Gerakan relatif ke arah barat.

Lempeng laut Sulawesi,  katanya, relatif menekan ke arah yang menyebabkan busur Sangihe otomatis menekan ke timur dan tenggara. “Jadi, laut Maluku ditekan dari dua arah, lempeng Halmahera ke arah barat dan busur Sangihe ke timur. Kebetulan sudah lama dipendam. Begitu lepas jadi berkekuatan 7,3 SR,” katanya, Kamis (27/11/14).

Di Indonesia, Sulut termasuk daerah rawan gempa dengan kondisi tektonik paling komplek. Ini bisa dilihat dari aktivitas gempa terjadi hingga 700-800 kali setahun. “Tiap detik selalu bergerak dengan kecepatan enam cm per tahun, di laut Halmahera dan dua sampai tiga cm di busur Sangihe.”

Namun, sejak gempa 7,3 SR, pada Sabtu terjadi 190 kali gempa, dengan pusat sama. “Biasa, aktivitas gempa satu kali sebulan. Dalam dua minggu belakangan bisa merasakan enam sampai tujuh kali gempa.”

Secara statistik setelah gempa berkekuatan 7,3 SR, misal, potensi gempa dengan kekuatan serupa atau lebih membutuhkan waktu lama. Hingga, potensi tsunami dalam waktu dekat kecil kemungkinan.

Gempa susulan sebagai fenomena alamiah. Sejak gempa berkekuatan 7,3 SR lempengan pada posisi tidak seimbang. Upaya mencari keseimbangan dengan melepas gempa-gempa susulan, termasuk fenomena gempa berkekuatan 6,8 SR baru-baru ini. Dia menduga, hingga beberapa hari kedepan masih terjadi gempa susulan dengan kekuatan lebih kecil.

Sandy menyarankan, sejumlah lokasi yang dekat titik gempa tidak perlu menunggu informasi dari BMKG, karena kemampuan teknologi hanya mencapai taraf tertentu. Saat gempa, BMKG langsung menganalisa memerlukan waktu tiga sampai empat menit, setelah itu ada warning yang sering terhambat karena tidak semua orang bisa mengakses.

“Jadi perlu kearifan lokal daerah yang dekat dengan titik gempa. Misal, yang baru-baru ini Bitung dan Kema paling dekat dengan laut Maluku. Di Kema, tsunami hanya butuh waktu 12 menit dari saat gempa.”

“Ketika merasakan gempa yang membuat orang tidak bisa berdiri, tidak usah tunggu warning dari BMKG, langsung cari lokasi aman,” kata Sandy.

Sejarah gempa-tsunami Malut dan Sulut
Menurut catatan Dr. Daryono, Kepala Bidang Mitigasi Gempabumi dan Tsunami BMKG, sejarah menunjukkan, kawasan Maluku Utara-Sulut sudah beberapa kali terjadi gempa bumi merusak.

Di Sulut, gempa bumi Sangir, 1 April 1936, paling dahsyat di zona ini. Guncangan mencapai VIII-IX MMI menyebabkan 127 rumah rusak. Gempa Siau pada 27 Februari 1974 memicu longsoran dan kerusakan rumah di berbagai tempat.

“Terakhir gempa Sangihe-Talaud 22 Oktober 1983 yang merusak beberapa rumah,” tulisnya di situs resmi BMKG.

Zona sumber gempa Maluku Utara-Sangihe juga memiliki beberapa catatan sejarah tsunami merusak. Menurut Daryono, tsunami merusak di Malut dan sekitar sempat terjadi beberapa kali. Pertama, tsunami Banggai-Sangihe, 1858 menyebabkan pantai timur Sulawesi, Banggai, dan Sangihe tsunami.

Kedua, tsunami Banggai dan Ternate 1859, mengakibatkan banyak rumah di pesisir pantai disapu tsunami. Ketiga, tsunami Kema-Minahasa 1859, dilaporkan memicu gelombang tsunami hingga atap rumah.

Keempat, tsunami Gorontalo 1871, juga menerjang sepanjang pesisir Pantai Gorontalo. Kelima, tsunami dahsyat Tahuna 1889, menerjang pesisir pantai hingga kenaikan air laut sekitar 1,5 meter.

Keenam, tsunami Kepulauan Talaud 1907, menerjang kawasan pantai hingga ketinggian mencapai empat meter. Ketujuh, tsunami Pulau Salebabu 1936, dilaporkan menerjang pantai dengan ketinggian tiga meter.

“Gambaran kerangka tektonik, kegempaan, dan catatan sejarah tsunami cukup untuk menyimpulkan Malut dan sekitar memang merupakan zona rawan gempabumi dan tsunami.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,