,

Drone Kayu untuk Pemetaan DAS dan Hutan ala Swandiri Institute

Kisahnya berawal pada 2011. Kala itu, seorang warga negara Indonesia yang telah mendedikasikan dirinya sebagai staf pengajar di Fakultas Ekologi Politik Universitas Bonn, Jerman, hendak melakukan riset di Daerah Aliran Sungai (DAS) Kapuas, Kalimantan Barat. Irendra Radjawali atau dipanggil Radja adalah nama anak muda itu.

Kisah Radja, yang saat ini ada di Cologne, Jerman, seketika menjadi buah bibir lantaran teknologi pesawat tanpa awak (drone) rakitannya yang murah meriah. Radja dan tim dari Swandiri Insititute telah berhasil membawa teknologi drone ke ranah publik. Padahal sesungguhnya yang dia lakukan adalah riset yang berkaitan dengan tutupan lahan di DAS Kapuas, dari hulu hingga hilir.

Pada awalnya saat melakukan kegiatan riset tersebut, sejumlah kendala di lapangan mulai timbul. Keterbatasan infrastruktur, membatasi ruang gerak pria kelahiran kota Bandung itu dalam menjalankan risetnya. Aksesibilitas terlampau sulit. Sementara menggunakan citra satelit, tidak bisa menghasilkan detil gambar sesuai harapan.

Sadar tantangan kian berat, akhirnya Radja, dibantu tim peneliti Swandiri Institute berupaya mencari solusi guna menjawab sejumlah tantangan yang dihadapi dalam riset tersebut. Penelusuran lewat alam maya dilakukan. “Kita terinspirasi dengan pesawat tanpa awak yang sudah ada sebelumnya. Lalu kita berupaya bagaimana teknologi itu bisa disederhanakan,” kata Arif Munandar, peneliti Swandiri Institute ketika dijumpai oleh Mongabay Indonesia di Pontianak (3/12/2014).

Penelusuran kembali dipertajam melalui sejumlah jaringan. Akhirnya, Radja menemukan salah seorang sahabat lamanya di Bandung. Saling tukar informasi terjadi. Selanjutnya, teknik perakitannya pun dipelajari melalui youtube.

Radja kemudian mempelajari teknik perakitan drone di Cologne, Jerman. Improvisasi dilakukan dengan menggunakan bahan baku dari kayu. Pada 2012, dia sudah mampu merakit pesawat tanpa awak itu dengan biaya yang sangat murah. Dari harga semula yang mencapai ratusan juta rupiah, turun drastis menjadi hanya Rp10-an juta saja.

Pada 2013, dia kembali ke tanah air dan melanjutkan risetnya dengan menggunakan drone. Riset aksi yang direncanakan berjalan dari 2011-2016 ini akhirnya menyedot perhatian publik. “Kita melayani ekspektasi warga yang begitu tinggi dan tetap memegang komitmen bahwa teknologi ini harus dilarikan ke ranah publik,” kata Arif.

Multicopter rakitan Swandiri Institute saat didemonstrasikan oleh Irendra Radjawali di Kampus Universitas Tanjungpura Pontianak, 24 April 2014. FOTO: Andi Fachrizal
Multicopter rakitan Swandiri Institute saat diujicobakan di kampus Universitas Tanjungpura Pontianak, 24 April 2014. Foto: Andi Fachrizal

Teknologi Pemantauan yang Dapat Digunakan oleh Masyarakat Perdesaan

Menurut Arif, membangun kapasitas masyarakat, khususnya warga perdesaan, mutlak dilakukan agar mereka cerdas dan berdaya guna, agar dapat menggunakan teknologi drone secara mandiri.

“Sekarang kita sudah lakukan berbagai upaya yang dibutuhkan masyarakat desa. Warga diasupi ilmu sekaligus menuntun melakukan pemetaan hutan adat dan wilayah kelola mereka,” ucapnya. Teknologi drone yang digagas Swandiri saat ini sudah mulai dipakai oleh masyarakat di pedalaman Kalimantan.

Melalui drone, DAS Kapuas diketahui memiliki danau-danau hidrolik. Bukan hanya Danau Sentarum seperti diketahui publik saat ini. Selain itu, drone dapat memperkuat pemetaan partisipatif masyarakat. Sedangkan tata guna lahan bisa dipotret dengan sangat jelas, terutama tata ruangnya. Hal ini dianggap masih bersinergi dengan Undang-Undang Desa.

Lantaran animo masyarakat yang begitu tinggi, Swandiri Institute akhirnya mendirikan sekolah drone di Pontianak. “Siswanya adalah warga desa dari pedalaman Kalbar. Kita ajari teori di kelas, sekaligus praktik terbang di desa masing-masing. Tapi kita tegaskan sekali lagi, drone ini bukan tujuan. Ia hanya alat yang digunakan untuk membantu masyarakat menjawab sejumlah tantangan yang dihadapi warga di pedalaman,” jelasnya.

Arif menjelaskan bahwa sejauh ini, drone yang dirakit Swandiri Institute sudah ada dua jenis. Masing-masing multicopter dan fixed wing. Kalau menggunakan pesawat, bisa mencapai 500 hektar untuk satu jam penerbangan. Dalam sehari, bisa terbang hingga lima kali. Kalau sekadar buat land survey, drone punya kamampuan hingga 50 kilometer sekali terbang,” urainya.

Harga teknologi ini bisa ditekan hingga terjangkau lantaran hanya motor dan kameranya saja yang asli. Sedangkan spesifikasi lainnya seperti bodi pesawat, dirakit dari barang-barang bekas seperti gabus atau kayu. “Tidak mungkinlah masyarakat desa mau membeli alat ini hingga Rp300-an juta. Tapi kalau cuma Rp10 juta – Rp15 juta, mampulah,” kata Arif sambil mengumbar senyum dan pamitan melanjutkan perjalanan ke pedalaman Tayan Hilir, Kabupaten Sanggau.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,