,

Belajar Kearifan Lokal dari Kampung Bu Susi: Bertambak Udang Sembari Menjaga Lingkungan

Berdasarkan catatan sejarah, hubungan masyarakat Sumatera Selatan dengan Jawa Barat sudah terbangun sejak puluhan abad lalu. Hubungan ini ditandai dengan pernikahan Sobakancana, putri kedua Suryawarman, penguasa terakhir Kerajaan Tarumanegara, dengan Dapunta Gyang Sri Janayasa, yang mendirikan Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7 Masehi.

Pada abad pertengahan, hubungan ini ditandai kehadiran keturunan Kerajaan Demak yang berasal dari Cirebon. Mereka ini menjadi bagian dari pendirian Kerajaan Palembang dan Kesultanan Palembang Darussalam.

Hubungan ini yang menyebabkan tradisi kesenian, kuliner, pertanian dan perikanan kedua wilayah tersebut terus terhubung hingga saat ini. Begitu pula ketika pertambakan udang melanda Jawa Barat, pertambakan udang ini pun berkembang di wilayah Sumatera Selatan, khususnya di pesisir timur.

Meskipun perkembangan informasi dan teknologi lebih maju dari masa lalu, ternyata transformasi pertanian dan perikanan dari wilayah Jawa Barat ke pesisir timur Sumsel berjalan lamban. “Mereka hanya menangkap usahanya, tidak dibarengi dengan transformasi pengetahuan dan teknologinya,” kata Najib Asmani, dari REDD+ Sumatera Selatan, bersama tim dari pemerintahan Sumatera Selatan dan Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), saat studi banding ke Pangandaran, Jawa Barat, 3-6 Desember 2014.

“Kunjungan ini sebagai upaya mempercepat proses tranformasi pengetahuan dan teknologi yang berkembang di masyarakat petani dan nelayan di Jawa Barat ke Sumatera Selatan,” ujarnya.

Mengapa Pangandaran? Dijelaskan Najib, ada beberapa alasannya dipilihnya Pangandaran. Pertama, kampung Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, itu sukses dalam pengembangan pertambakan udang, dan pengolahan hasil laut lainnya. “Tidak heran kesuksesan tersebut melahirkan tokoh nasional seperti Ibu Susi,” katanya.

Kedua, ternyata pengaruh pertambakan udang windu di wilayah pesisir timur Sumatera Selatan karena adanya aktivitas pertambakan udang windu di Pangandaran. “Bahkan bibit udang yang dibeli petambak udang pesisir timur dari Lampung, sebetulnya berasal dari Pangandaran,” ujarnya.

Ketiga, tata kelola lingkungan pesisir juga lebih baik dibandingkan di wilayah pesisir timur. Misalnya sukses melakukan konservasi penyu, dan merehabilitasi pantai dan lahan gambut.

Di sisi lain, pertanian, khususnya sawah, juga dapat dipelajari dari wilayah yang tidak jauh dari pantai, seperti di Ciamis. Persawahan yang dipelajari terkait sawah ramah lingkungan, yakni sawah organik. “Sawah organik sangat cocok di wilayah pesisir timur Sumatera Selatan, karena di sana juga terdapat kerbau dan sapi, yang kotorannya dapat dijadikan pupuk. Juga, hasil dari sawah organik ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan sawah menggunakan pupuk buatan atau sistem bakar (sonor) yang biasa dilakukan masyarakat di pesisir timur,” ujarnya.

Lahan gambut di Parigi, Pangandaran, Jawa Barat, yang direhabilitasi dengan penanaman mangrove dan nyamplung. Foto: Taufik Wijaya
Lahan gambut di Parigi, Pangandaran, Jawa Barat, yang direhabilitasi dengan penanaman mangrove dan nyamplung. Foto: Taufik Wijaya

Tambak udang

Terkait pembenuran dan pembesaran udang windu, Najib dan rombongan melakukan kunjungan ke kelompok petambak udang di Desa Cibenda, Kecamatan Parigi, Kabupaten Pangandaran.

Para petambak di lokasi tersebut tidak membutuhkan lahan yang luas seperti petambak udang windu di pesisir timur Kabupaten OKI, Sumatera Selatan, seperti di Tulung Selapan, Cengal, Mesuji, maupun Air Sugihan. “Kalau di OKI satu tambak luasnya rata-rata satu hektar. Di sini cukup 100 meter persegi,” kata Najib.

“Akibat membutuhkan lahan yang luas, akibatnya banyak lahan gambut yang dibuka masyarakat untuk tambak udang. Lahan gambut pun menjadi rusak,” katanya.

Tambak udang milik masyarakat di Pangandaran tidak lagi tradisional seperti di pesisir timur Sumatera Selatan, sudah semi modern dan modern. Sehingga hasilnya lebih banyak. Misalnya, satu hektar tambak udang tradisional di Tulung Selapan hanya menghasilkan 300 kilogram per tahun, maka di Pangandaran hasilnya dapat mencapai 1,5 ton.

Bahkan, ada tambak yang menggunakan plastik atau tidak menggali tanah. Tambak menggunakan plastik lebih memudahkan petambak melakukan pembersihan dan menghindari hama.

Pembenuran udang windu di Desa Cibenda juga sangat sederhana. Mereka menggunakan bak yang ditutupi dengan atap nipah, berdinding gedek dan plastik. “Ini artinya dapat dilakukan masyarakat petambak secara mandiri di mana pun tempat,” kata Najib.

Hanya, guna memoderenkan para petambak tradisional di pesisir timur Kabupaten OKI, sedikit terhambat karena minimnya penyediaan energi listrik. Energi listrik digunakan untuk penyedotan air yang disalurkan ke kolam. “Soal ilmu mengenai pembenuran udang windu dan teknik pertambakan di pesisir timur, mungkin dapat disalurkan dari sejumlah petambak di sini. Tapi persoalan yang terpenting adalah listrik. Jadi harus ada sumber listrik yang di wilayah pesisir guna mengembangkan pertambakan udang menjadi modern,” kata Najib.

Nyamplung dan konservasi penyu

Salah satu ancaman dari pertambakan udang yakni kerusakan lahan gambut dan pantai, serta terancamnya sejumlah biota laut, seperti penyu. Pangandaran pernah merasakan hal tersebut. Pantai dan lahan gambut mereka rusak akibat pertambakan tradisional. Termasuk pula penyu yang terancam akibat telurnya yang diburu masyarakat.

Guna merehabilitasi lahan gambut dan pantai, sepanjang pantai Pangandaran ditanami mangrove dan pohon nyamplung. Misalnya yang dilakukan di Desa Babakan. Lahan seluas delapan hektar, ditanami nyamplung bersama tanaman lainnya seperti kelapa.

Tanaman yang buahnya dapat dijadikan bahan bakar solar, dan limbahnya dapat dijadikan sabun cuci ini, ternyata tumbuh cukup baik di pantai Pandaran yang minim dengan unsur hara.

“Saya pikir kalau nyamplung ditanam di wilayah pesisir timur Sumsel, akan tumbuh lebih baik dibandingkan di sini. Sebab di sana unsur hara lahannya masih bagus,” kata Iwa, penanggungjawab rehabilitasi pantai di Desa Babakan.

Lahan gambut dan pantai di Desa Babakan, Pangandaran, yang ditanami mangrove dan nyamplung. Foto: Taufik Wijaya
Lahan gambut dan pantai di Desa Babakan, Pangandaran, yang ditanami mangrove dan nyamplung. Foto: Taufik Wijaya

Junaidi, dari Dinas Kehutanan Kabupaten OKI, membenarkan rencana pemerintah Kabupaten OKI merehabilitasi lahan gambut yang berada di pesisir timur dengan penanaman pohon nyamplung.

“Salah satu langkah mencegah kebakaran hutan dan memperbaiki lahan kritis, yakni melakukan penanaman pohon yang memiliki potensi ekonomi yang baik bagi masyarakat, tanpa harus melakukan penebangan tanaman tersebut. Nyamplung menurut saya sangat benar untuk merehabilitasi lahan kritis di wilayah pesisir OKI. Selain dapat mengembalikan lahan menjadi hijau, juga memberikan pendapatan bagi masyarakat tanpa merusak lingkungan,” ujarnya.

Dikatakan Junaidi, saat ini sekitar 21.000 hektar lahan kritis yang ada di pesisir timur Kabupaten OKI. Lahan kritis ini sebagai akibat pembalakan, kebakaran hutan, serta pertambakan udang tradisional.

Pangandaran juga melakukan konservasi penyu. Sebab, keberadaan penyu di wilayah tersebut menjadi buruan para nelayan dan masyarakat. Konservasi penyu ini seperti dilakukan Kelompok Penangkaran Biota Laut Batu Hiu di Desa Ciliang, Kecamatan Parigi. Di tempat ini, telur-telur penyu yang didapatkan di pantai, ditetaskan dan dibesarkan. “Jika sudah berusia lima tahun, penyu-penyu ini dilepaskan kembali ke laut,” kata Jajat Sudrajat, seorang penggiat lingkungan hidup di Pangandaran.

Wilayah pesisir timur Kabupaten OKI, tepatnya di Pulau Maspari, merupakan tempat penyu sisik bertelur dan menetas. Sejumlah pihak mengkhawatirkan penyu ini akan musnah dengan meningkatnya aktivitas pertambakan maupun kegiatan ekonomi lainnya.

“Saya kira di sana dapat dilakukan konservasi penyu sisik. Konservasi ini dapat dilakukan secara sederhana. Yang terpenting, lokasi tempat penyu sisik bertelur harus terjaga dari cahaya dan suara. Sebab penyu sangat sensitif dengan cahaya dan suara, jika mereka ingin bertelur. Selama wilayah tersebut terjaga, penyu sisik dapat dijaga keberadaannya,” kata Jajat.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,