Opini: Daerah Aliran Sungai di Bengkulu Rusak Akibat Pertambangan Terbuka

Provinsi Bengkulu memiliki luas sekitar 1.987.870 hektar, tapi aktifitas pertambangan batubara cukup marak. Tercatat 68 izin pertambangan menguasai 208.467 hektar (10 persen dari total wilayah) dengan sebanyak 24 izin eksplorasi dan 36 izin eksploitasi. Meskipun sudah banyak diprotes, aktifitas pertambangan batubara terus berjalan hingga saat ini.

Pertambangan batubara ini tidak banyak memberikan dampak positif bagi sekitar 2 juta penduduk Bengkulu, secara khusus di wilayah perdesaan. Bahkan dampak aktifitas batubara ini telah merusak lingkungan hidup, secara khusus wilayah DAS (Daerah Aliran Sungai) dan memiskinkan masyarakat.

Sebenarnya sudah banyak anak sungai di Bengkulu yang dirusak atau ditutup akibat aktifitas pertambangan batubara. Contoh terbaru adalah yang menimpa 450 kepala keluarga di Desa Kota Niur, Kabupaten Bengkulu Tengah, Bengkulu. Perusahaan PT Citra Selaras Abadi, yang menutup salah satu anak Sungai Manggis kemudian mengakibatkan ratusan hektar sawah milik masyarakat rusak atau kehilangan pasokan air. Sungai Manggis sendiri bermuara ke Sungai Air Bengkulu, sungai terbesar di Bengkulu.

Pertanyaannya kemudian, mengapa perusahaan batubara melakukan hal tersebut?

Pertambangan batubara di Propinsi Bengkulu rata-rata dilakukan dengan cara pertambangan terbuka. Lokasi konsesi banyak berada pada wialayah Daerah Aliran Sungai (DAS), seperti DAS Ketahun, DAS Air Bengkulu, dan lainnya.

Akibatnya, saat ini rata-rata sungai besar di Bengkulu mengalami kerusakan total, baik itu dalam bentuk warna, rasa, dan bentang alamnya. Ini semua atas ketidakpatuhan perusahaan tambang dalam menjaga lingkungan.

Kondisi terparah saat ini adalah Sungai Air Ketahun dan Sungai Air Bengkulu. Pemerintah Bengkulu belum menindak tegas terhadap para perusak lingkungan khususnya penghancuran sumber air  masyarakat, seperti Sungai Air Bengkulu yang merupakan sumber utama bahan baku PDAM PT Tirta Dharma di Kota Bengkulu.

Sumber air PDAM berasal dari Sungai Air Bengkulu telah tercemar, yang merupakan akibat pencucian pertambangan batubara dan juga limbah pabrik karet. Hasil penelitian Walhi Bengkulu, di hulu Sungai Air Bengkulu terdapat enam perusahaan tambang batubara yaitu PT Inti Bara Perdana, PT Bukit Sunur, PT Fetro Rejang, PT Sirat Unggul Permai, PT Kusuma Raya Utama, PT Danau Mas Hitam, dan terdapat dua pabrik CPO yaitu PT Cahaya Sawit Lestari dan PT Palma Mas Sejahtera, serta dua  pabrik karet PT Batang Hari Bengkulu dan PT Bengkulu Angkasa Makmur.

Semua perusahaan tersebut beraktifitas di sepanjang Sungai Air Bengkulu, seperti gambar di bawah ini menunjukkan bahwa tambang terbuka beroperasi dengan memutus anak-anak sungai yang ada di hulu Sungai Air Bengkulu.

Salah satu citra udara dari Google menunjukkan salah satu aliran sungai yang ditutup oleh perusahaan tambang batubara di Bengkulu. Courtesy: Google
Salah satu citra udara dari Google menunjukkan salah satu aliran sungai yang ditutup oleh perusahaan tambang batubara di Bengkulu. Courtesy: Google

Pasal 33 UUD 1945 yang Terabaikan

Dalam konteks yang lebih mendasar, salah satu mandat pasal 33 UUD 1945 terabaikan, yang isinya, “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Pasal ini merupakan salah satu prinsip mendasar bagaimana seharusnya mengelolah sumberdaya alam termasuk air harus di kedepankan bukan malah di jadikan penopang perekonomian investasi kotor yang dipraktikan perusahaan pertambangan batubara dan lain sebagainya.

Tindakan perusahaan batubara di Bengkulu sangat jelas menyalahi UU nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, sehingga wajar menerima sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana pencemaran lingkungan (termasuk air di dalamnya) yang tertuang pada pasal 59, pasal 98 sampai dengan 103.

Terhadap kondisi ini, Walhi Bengkulu bersama masyarakat  berencana menyusun laporan agar semua perusahaan pertambangan batubara yang mencemari sungai di Bengkulu, masuk dalam sengketa lingkungan hidup di Propinsi Bengkulu.

Harapannya, Pemerintah Daerah Bengkulu akan berani bertindak tegas dalam upaya penyelamatan sumberdaya alam, terutama terkait dengan sumber mata air, sehingga generasi ke depan dapat menikmati mata air yang bersih bukan mengeluarkan air mata kesedihan kekurangan air bersih.

*Beni Ardiansyah, penulis saat ini adalah Direktur Walhi Bengkulu. Artikel ini merupakan opini penulis.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,